Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

IACS:Saat Kesenian Indonesia Rekat di Tubuh para Bule

17 September 2013   19:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:45 327 0

Malam itu, 15 September 2013, sejak pukul 19.00 WIB, Unair Convention Centre, Surabaya, dipadati lebih dari 3000 penonton (menurut hitungan saya berdasarkan kursi, belum penonton yang di tribun).Sebanyak 69 peserta dari 42 negara mementaskan 12 tarian tradisional Indonesia.

Malam itu adalah puncak kegiatan IACS 2013 (Indonesian Arts and Culture Scholarsip 2013) yang diadakan oleh Kementrian Luar Negeri RI. Program ini sudah ke-13 kalinya, yang diadakan setiap tahun. Hanya memang saya baru tahu sekarang. Konsep acara ini, selama 3 bulan peserta yang mewakili negaranya (setelah diseleksi), tinggal di sanggar.. Kali ini di Sanggar Tari Soeryo Sumirat (Solo), UPN Veteran (Yogyakarta), Studio TYDIF (Surabaya), Sanggar Seni Samarandana (Bali), Saung Angklung Mang Udjo (Bandung), dan Rumah Budaya Ramata (Makasar). Mereka belajar menari, musik, dan keseharian masyarakat setempat yang dipentaskan dengan tema ‘Nusantara dalam Satu Cinta Indonesia’.

Bulan Agustus silam,Mbak Lena (Mutiara Marthalena Nauli), art director dari pementasan ini menyampaikan tema tersebut. Saya diminta bantuannya untuk menuliskan skripnya. Senang, karena ini pengalaman pertama menulis skrip. Selebihnya saya pusing sebenarnya, karena kisah Gajah Mada, saya hanya tahu dari buku pelajaran sejarah saja. Kata Mba Lena, tidak perlu rumit, intinya skrip ini sebagai perekat dari 12 tarian tersebut sehingga menjadi kisah yang utuh. Keren sekali konsep ini, apalagi yang mementaskan ‘bule’ (sebutan untuk orang asing).

Sementara, saya sendiri kerap mikir, Gajah Mada itu penakluk atau pemersatu? Bendera Majapahit berkibar di tanah raja-raja kecil bukan tanpa darah. Saya tidak suka kisah itu sebenarnya. Cukup lama saya tanya ke kawan-kawan, termasuk ke Mas SGA (Seno Gumira Ajidarma). Tak lupa pula kawan saya yang tinggal di Jawa Barat (Sunda). Karena saya dengar, orang Sunda ‘dendam’ dengan Hayam Wuruk. Akhirnya saya simpulkan, sejarah menghadirkan tawa dan darah. Tergantung bagian mana yang ingin kita ambil. Akhirnya saya tulis skrip itu, berdasarkan alasan sederhana: sungguh saya jatuh cinta dengan Indonesia karena saya memang tinggal di sini.

Gajah Mada, Darah, dan Cinta

Kisah Gajah Mada, ringkasnya adalah kisah seorang bekel yang bukan siapa-siapa kemudian menjadi seorang Maha Patih. Tentu saja, saat mencapai posisi itu, terdengar intrik di sana sini.

Kisah ini tidak ingin menceritakan itu. Kepada para pemain dari 42 negara itu, skrip ini ingin menceritakan betapa Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah pasangan serasi yang menjadikan Majapahit menjadi kerajaan besar. Kekuatannya menjadikan Nusantara membentang dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Perjalanan menuju kejayaan ini tak lepas dari kisah cinta yang menjadi tak sederhana. Saat Hayam Wuruk jatuh cinta dengan Pitaloka Citraresmi, putri kerajaan Pajajaran. Di sinilah perpecahan Gajah Mada yang menjadi nampak ambisius untuk mewujudkan Sumpah Palapanya, sementara kedatangan Hayam Wuruk adalah untuk meminang Pitaloka. Bukan untuk menaklukkan Pajajaran. Saat itulah, darah tumpah di Padang Bubat. Pitaloka pun bunuh diri.

Mereka menari dengan hati

Menyusun kata-kata di skrip, mencocokkan dengan tema tarian, juga performent musik, merupakan pekerjaan yang membuat saya semakin jatuh cinta dengan negeri ini. Alunan nada yang dihasilkan dari musik-musik alam, lebih mendalam rasanya. Angklung berbahan bambu, hentakan gendang di Tarian Toraja sungguh menggetarkan dan magis, juga gendang dan kuningan dari Gamelan Solo.

Tari Jaranan dari Surabaya ini membuat kami (saya dan kawan yang menonton) terngiang-ngiang hingga saya sampai Jakarta. Sikile...wulune...itu gendingnya, lantas mahasiswa asal Amerika yang ‘naik’ jaran kepang menari dengan wajah serius, tapi gerakannya jenaka.

Perang Bubat, digambarkan dengan Tarian Pencak Silat dai Jawa Barat. Di saat melihat hentakan kaki, gerak lentur tubuh, dan keperkasaan penarinya mengagumkan.Keperkasaan itu bisa luruh saat ia menari tarian lembut: Tari Jaipong.Salah satunya Mario Reiter dari Austria sungguh memesona saya. Gerakkan dia, hentakkan kaki, dan ketrampilannya memainkan tongkat menjadikan kamera saya seperti tak ingin kehilangan detik gerakannya. Pantas saja, ternyata dia memang atlet Pencak Silat. Dia belajar di Malaysia. Sayang, saat pentas tak semua bisa terdokumentasi dengan bagus. Karena cahaya minim, lensa saya pendek, dan kostumnya hitam.

Selain Mario, Tan Dinh Hoang dari Vietnam pun membuat kamera saya segera penuh memorinya. Tubuhnya lembut sekaligus berotot memberi ruh di setiap gerakannya. Komposisi tubuhnya selalu indah di scene kamera. Tari Sesaji dan Tari Pergaulan dari Solo membuatnya seperti terbang, dan mata selalu terpaku di setiap inci tubuhnya.

Semua tampil dengan sangat indah, yang tak bisa saya ceritakan satu-satu di sini. Apalagi saat puncak pentas, skrip saya dibacakan oleh diaspora sebagai sebuah janji untuk mencintai Indonesia, walau pun mereka sudah mengembara jauh. Saya kenal kalimat itu, karena saya menuliskannya. Tapi saat kata demi kata diucapkan dengan terpatah-patah karena perbedaan bahasa, rasanya Indonesia memang sangat layak untuk dicintai.

Mengutip kata kawan saya, mencintai Indonesia cukup sederhana. Karena saya lahir dan tinggal di sini. Soal kesenian yang dipelajari bangsa asing, lantas mungkin mereka menjadi lebih pintar dari kita, kenapa kita harus sewot? Saya melihat di sana, seni itu sangat universal. Bisa melekat di tubuh siapa saja, asalkan tubuh membuka dirinya. Soal klaim mengklaim budaya, kita tak perlu meributkan bila kita memang punya cinta terhadap kesenian. Cinta yang membuat kita mempelajari, memahami, menjadi dasar pemikiran untuk menjawab permasalah, mementaskan, mengajarkan dari generasi ke generasi. Jika demikian, klaim itu hanya soal perjanjian di atas kertas dan motif ekonomi. Kenyataannya, tradisi itu tak pernah pergi, bukan?

Teks/Foto: Titik Kartitiani

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun