Dulu saat kecil, jangankan mengenal play station, handphone, apalagi komputer. Televisi pun masih jarang dijumpai di desa tempatku tinggal. Keluargaku bahkan hanya mampu membeli yang hitam putih. Itu pun setiap malam rumah kami tidak pernah sepi oleh kehadiran tetangga yang menumpang untuk sekadar melihat tayangan Misteri Gunung Merapi. Kalau sudah kumpul begitu, lucu sekali rasanya melihat mereka ramai berkomentar dan mengekspresikan kehebohannya tentang adegan mak lampir yang cukup kontroversi. Seolah mereka tidak terima oleh jalannya film yang sudah ditentukan oleh sutradara, haha. :D
Walaupun terkadang, ada sedikit rasa kecewa karena televisi kami tidak besar dan berwarna seperti milik tetangga sebelah. Ibu hanya bilang :
“Televisi besar atau kecil, berwarna atau hitam putih, adegan di tayangan mak lampirnya tetap sama kan, dek. Ibaratnya gini, seperti baju, misalnya adek pakai baju warna orange sama pakai baju warna hitam, orang-orang tidak pernah mempermasalahkan adek mau pakai baju warna apa, kan? Karena mereka tau, adek ya adek. Bukan dikenal dari pakaiannya tapi dari kepribadiannya, mudheng?”
“Mboten,” jawabku selugunya sambil melongo.
Itulah ibuku. Sosok yang sering sekali mengajarkan anak-anaknya sesuatu yang mulia menggunakan analogi yang lebih sederhana. Seorang ibu yang cinta kasihnya lebih murah dari semua diskon sebesar apapun. Dan beliau-lah dzat yang marahnya mengandung arti ketulusan yang maha dahsyat, semarah apapun.
Bapak juga pernah berkata bahwa jika ingin memiliki televisi yang lebih besar dari tetangga sebelah, aku harus jadi anak yang pandai dan rajin sholat. Sejak saat itu, setiap ditanya oleh guru SD tentang cita-citaku, aku selalu menjawab dengan percaya diri, ingin membeli televisi yang besar dan berwarna.
Keluarga kami memang bukan keluarga yang berada, namun bapak dan ibu tidak pernah mempermasalahkan hal itu kepadaku. Justru mereka lebih fokus mendidikku bukan pada hal-hal yang bersifat materi dan bersifat manja. Pernah sekali, karena saling berebut game watch milik temanku, aku menangis karena dia hanya mau meminjamkan mainannya selain kepadaku. Dengan berbekal air mata, aku pulang ke rumah dan mengadukannya kepada ibu, berharap beliau akan membelaku. Alih-alih menanyakan alasanku menangis, ibu malah memarahiku habis-habisan dan melarang aku bermain jika akhirnya hanya pulang dalam keadaan menangis.
Aku heran mengapa ibu tidak bersikap seperti ibu-ibu lain yang akan menenangkan anaknya ketika sedang bermasalah dengan teman-temannya. Sekaligus sedih karena merasa tidak ada yang mendukung untuk melawan temanku waktu itu. Ternyata, dewasa ini aku baru sadar bahwa inilah cara ibu menghindarkanku dari sifat cengeng dan pendendam.
Ibu memang suka marah-marah, tapi aku suka sekali melihatnya. Jika sedang marah, seisi rumah mungkin tidak bisa menangkap apa yang sedang ibu katakan. Ibu terlihat seperti sedang menghafalkan teks yang tidak ada jeda dan tanda bacanya. Ah, kurang sopan sekali aku menganggapnya seperti itu dulu. Jadi ingat ketika ibu memarahiku hanya gara-gara berani minta uang jajan sama kakek.
“Apakah ibu pernah mengajarkanmu untuk minta uang selain pada ibu dan bapak?” begitu jawaban bapak saat kutanyakan kemarahan ibu.
Dan yang tidak pernah ku lupakan sampai sekarang adalah kebiasaan kecilku menangis dan pipis di celana, yang membuat ibu benar-benar lelah karena harus menggendongku kesana-kemari menuruti kemauanku. Bahkan sampai menahan malu karena suatu malam, tangisku sangat kencang, sehingga tetangga menegur ibuku karena dirasa tidak mau menuruti kemauanku. Pantas saja jika ibu sedikit marah padaku waktu itu.
Semakin dewasa, aku mulai memahami kemarahan seorang ibu. Marah yang penuh kasih, marah yang sabar tapi mendidik, dan yang paling penting, marah yang tanpa benci. Karena ternyata, itu bukan marah yang sesungguhnya, itu kasih sayang. Sekarang, semua kenangan itu telah terpatri di ruang hati yang memang ku-khususkan untuk bapak dan ibu. Ruangan yang selamanya hanya terisi oleh kenangan antara aku dan mereka.
Malam ini, setelah lama tak mendengar marah ibu, ingin sekali rasanya melihat mereka tidur lelap, aku rindu memeluknya. Sayang, kini aku bukan sosok putri kecil mereka lagi yang setiap saat bisa melihatmu Bu, Pak. Aku bergelar mahasiswa kini, hidup di perantauan. Tapi alhamdulillah, hal itu tidak sanggup mengganti password kehebatan kalian dalam pikirku. Dengan uban yang begitu banyaknya, sudah cukup menjadi saksi akan perjuangan kalian selama ini untukku, adik-adikku. Bahkan sampai detik ini, membayangkan kerutan di setiap bagian tubuh kalian, menyadarkanku bahwa kelak kami tak akan hidup bersama lagi. Kalian tahu? Sekeras apapun usaha untuk menenangkanku, aku masih tetap takut hal itu akan terjadi.
Seandainya waktu dapat mengembalikanku menjadi putri kecilmu lagi, aku rela melakukan apapun. Ya, apapun, agar kita tetap bersama. Termasuk mendengar marahmu setiap hari. Kau tahu? Aku rindu marahmu yang cantik itu, Bu…
When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich
Here's what she said to me..
Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be..
When I was just a little boy
I asked my mother, what will I be
Will I be handsome, will I be rich
Here's what she said to me..
Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera..