Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Matahari di Ujung Pagi (Catatan Bersama Pasien Pertama)

31 Agustus 2012   14:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05 153 0
Menjadi perawat atau bergelut di dunia medis bukanlah salah satu dari beribu cita yang kugantungkan di langit. Bukan karena ngeri melihat darah dan sebagainya, namun yang ku ketahui, kelebihan juga minatku adalah menyatukan serpihan angka. Matematika digital. Jika melihat angka–angka itu berserakan, ingin rasanya mengumpulkan mereka dalam dua buah sumbu ordinat komputerku. Seperti menyatukan beribu potongan puzzle. Hal yang membuat 'bintang kecil' di kepalaku cepat kelap kelip dan aku sangat menikmati itu.

Namun Allah memang memiliki berjuta rahasia. ketika ujian masuk perguruan tinggi negeri itu ternyata diterima di jurusan keperawatan di salah satu perguruan tinggi negeri di kotaku. Entah apakah suara ayah yang begitu kuat ataukah rasionalisasi sahabat-sahabat sehingga ia menjadi salah satu pilihanku.

Walau sedikit menikmati namun menyedihkan karena sampai wisuda sarjana masih saja merasa bahwa telah salah memilih jurusan. Bahwa ini bukanlah duniaku. Bukan angka dalam secarik kertas yang menjadi sebab karena dia adalah indah. Namun keindahan serpihan angka yang berserakan dalam sumbu ordinat masih saja menari-nari di kepalaku. Dan pandangan itu belumlah berubah bahkan ketika langkahku dilanjutkan ke tingkat pendidikan berikutnya. Program profesi.

Ketika itu masih pra klinik. Orientasi ruangan dan proses adaptasi sebelum memulai pendidikan sebenarnya. Dan dia adalah pasien pertamaku.

Sebut saja Mr X. Usianya sekitar 35 tahun. Wajahnya pasi, begitu redup, berkabut, mendung yang mungkin siap menumpahkan badai. Tak ada senyum matahari. Dia menenggelamkan diri dalam kelam. Sepertinya ingin sekali ia terjangkan gelombang lautan, namun entah terhadap apa. Mungkin hidup.

Tinggal kaki kiri yang dia miliki. Ca epidermoid (sejenis kanker) mengerogoti kaki kanannya. Entah berapa kali sudah dioperasi. Dipotong kemudian dibuang, dipotong kembali lalu dibuang, dan sekarang masih harus dioperasi lagi! Bagaimana bisa, sedangkan kaki kanannya itu sudah habis sampai pangkal paha.

"Saya bersihkan dulu lukanya ya, Pak!" itu interaksi pertama kami setelah kukenalkan sebuah nama.

Matanya tajam. Pandangannya menusuk. Dia menyiapkan sebuah permusuhan ketika kudekati.

" hati-hati! Pelan-pelan ah, sus!" dengan suaranya yang sedikit meninggi, kening yang dikerutkan dan masih dengan matanya yang pedang. Aku tahu, sebenarnya dia tak bisa mempercayakan kaki kanannya kepadaku.

Kain putih berjaring bernama kasa itu rapat mengelilingi paha kanannya yang menganga merah. Sangat menempel kuat. Kualirkan air yang bernama NaCl 0,9% di atas kain putih yang menutup lukanya agar mau melepaskan diri. Lembar demi lembar kasa itu kulepaskan dengan sebuah penjepit steril yang bernama pinset. Kualirkan lagi dan kulepas kain putih berjaring itu. Bisa kau bayangkan saat air mengalir melewati luka menganga yang berdiameter kurang lebih 25cm.

Dia meringis. Menegang. Perih. Napasnya sesekali memburu. Butiran hangat peluh di wajahnya yang pasi. Sebentuk pagi yang tak lagi dingin.

Dadaku berjalan cepat. Tanganku sedikit bergetar. Maklum, hari pertama. Aku sangat perlahan karena tak ingin membuatnya sakit. Namun seperlahan apapun tetap saja dia kesakitan. Kubuka kembali kain putih berjaring itu perlahan.

Sebuah luka berwarna merah dengan lima benjolan kecil. Cairan darah mengucur. Embun hangat pun menyapa tangan dan wajahku.

Kuusapkan kasa lembab yang dijepit pinset di atas luka yang menganga. Kuganti dan kuusapkan kembali mengelilingi daging merah itu. Sesekali dia menggigit kain menahan nyeri. Kubersihkan sambil mulut tak henti berbicara, walau kelebihanku adalah telinga, sebenarnya.

Aku bertanya ke sana kemari. bercerita dari 'Sabang sampai Merauke kadang berlari ke kutub'. Coba kulakukan untuk mengalihkan rasa nyeri saat kubersihkan lukanya, juga untuk mencairkan kebekuan diantara kami. Entah apa yang menyebabkan kebekuan kami sedikit cepat mencair dihari pertama.

Perlahan dia sibakkan kabutnya. Ia coba singkirkan awan mendung itu. Aku tahu ingin sekali ia tumpahkan hujan dari matanya, namun ia simpan rapat-rapat agar tidak turun. Matanya mulai berkaca-kaca.

Sebenarnya ingin kukatakan, "Tidak apa-apa... Jika menangis bisa mengurangi sedikit beban yang dirasa maka menangislah." namun aku mengerti, di ruangan itu terdapat 5 orang lainnya dan ia tidak ingin mereka mengetahui itu. Mungkin ia lakukan dalam sunyi atau dalam hati saja.

Kembali kami menikmati ribuan huruf yang mengalir begitu saja sampai sebuah petir itu menyambar telingaku, "Sayamah lebih baik mati dari pada kaya ginimah, sus. percuma hidup juga." dengan mendung yang kembali menghiasi wajahnya. "lebih baik mati...".

Teoriku memahami, jika dia tidak bangun saat itu, maka dalam sebuah dimensi waktu yang tak terukur dia akan semakin jatuh dalam lubang yang sangat kelam. Ya, putus asa akan membawanya pada sebuah depresi dan jika tidak segera diintervensi akan beresiko pada hal yang lebih jauh. Mungkin tidak saat itu namun berwaktu. Mendengarnya, tenggorokanku tercekat. Semua samar. Tak bisa ku abaikan namun dia tak memberiku ruang saat itu.

Dalam diam, dalam perjalanan pulang, kata-kata itu terus terngiang. "lebih baik mati...".

Materi Psikologi dan keperawatan Jiwa yang tersimpan entah dalam laci keberapa dari otakku coba kubuka dan kucari sebuah jawab. Namun masih diam yang kuperoleh.

Dan terus kuperas 'galaksi bimasaktiku' berharap kutemukan sebuah rasi bintang. Kucari jalan agar dia kembali semangat. Dibuka semua referensi, text book walau tidak tahu apa yang kucari dan kutahu bukan itu jawabnya. Aku hanya berharap menemukan sesuatu, entah apa. Mungkin sebuah bintang yang terang.

Esoknya kembali begitu. Kuberikan sebuah obat pengurang nyeri dalam suntikan dan kubersihkan lukanya. Seperti biasa, lautan huruf yang berirama kembali menemani waktu kami sehingga tak berasa 1,5 jam berlalu. Kucari sebab dari sebuah petir. Kutanya pada berbagai mungkin. Namun hanya sebuah lelah yang dia sampaikan padaku.

Kucoba memberinya semangat, namun masih sebuah redup yang dia sampaikan. Aku mengerti, ini tidaklah mudah. Sangat tidak mudah baginya. Dan perjalanan ini tidaklah singkat.

" ...Saya percaya... Allah memberikan segala sesuatu sesuai kemampuan hamba-Nya. Mengapa ini terjadi pada bapak, menurut saya karena Allah percaya hanya bapak yang sanggup menjalani ini, dan bukan saya atau yang lainnya. Sungguh indah telah dipercaya oleh Nya ya, Pak" aku seperti berbicara pada diriku.

"Tetap dekati Dia dan buktikan pada-Nya bahwa bapak sanggup, dan saya percaya itu" aku sedikit berapi. Kupikir itu sebuah bintang yang DIA titipkan pada galaksiku saat itu. Dan irama pembicaraan kami kembali diterbangkan angin ke kutub selatan atau kemanapun sambil kubereskan sebuah tugas.

"Ayo, Semangat, Pak!" sambil kukepalkan tangan dan kuperlihatkan semangatku. Kutinggalkan Mr X. Dia tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan.

Menyediakan sedikit waktu dan meminjamkan telinga kemudian berbagi. Mungkin itu salah satu yang dia perlukan saat itu karena dia adalah sendiri bersama adik laki-lakinya.

Namun waktu adalah singkat, tiga hari. Kami harus berpindah ke ruangan lain sehingga tak bisa kuikuti perkembangan Mr X. Mendungnya masih menjadi tanya di kepalaku; akankah ia bagaimana? Mungkin seperti itu.

Dan waktu kembali berjalan.

Benar, kan, Allah memang memiliki berjuta rahasia indah. Selepas dua bulan aku kembali singgah di ruangan itu. Sebenarnya untuk sebuah kepentingan yang lain. Dalam cepat langkahku di sebuah lorong di ruangan tersebut terdengar sebuah samar. "Suster!"

Kucari arah suara. Ah, ternyata seorang lelaki berkaos merah dan bersarung kotak-kotak. Lelaki dengan rambut ikal dan wajahnya yang pasi namun terang di atas sebuah kursi roda bersama laki-laki muda berambut panjang diikat. Ya, Mr X dengan senyum mataharinya beserta adik lelakinya.

Kontan kutersenyum. "Bapak! Gimana.. Sehat?" aku yang masih terkaget melihatnya.

"Alhamdullillah lebih baik. Sedang mau kemoterapi, saya!" begitu jelasnya.

Wow itu sebuah kejutan. Kemoterapi. Sesuatu yang pernah ditawarkan beberapa kali dan selalu kata tidak serta tidak mungkin yang disampaikan oleh sebuah mendung kala itu.

"kemoterapi? Alhamdulillaah..."kebahagiaanku membuncah

"Tugas kita hanya berusaha kan, sus? Allah yang menentukanmah." Begitu katanya lagi masih dalam cerah.

Aku percaya, Mr X saat itu berbeda dengan Mr X yang kukenal 2 bulan sebelumnya. Tak lama kami berbincang, dan selarik doa mengiringi punggung dua lelaki tersebut. Aku masih memandangi punggungnya dengan sebuah lengkung pelangi yang menatap langit. Ah, tak bisa dilukiskan bahagiaku saat itu bahkan kini.

Bukan sebuah pertemuan yang kebetulan, namun sebuah rahasia perjalanan dalam ketetapan-Nya. Aku masih berdiri dengan 'pakaian putih'. Dan pertemuanku dengan Mr X bersama warna kehidupannya telah meneguhkan keberadaan hati dan kakiku untuk benar-benar berdiri di duniaku dalam pakaian putih. Mungkin sebuah kata terima kasih masihlah belum cukup untuknya. Namun aku masih berharap, semoga masih ada ruang dan waktu untuk kusampaikan kata itu.

Sahabatku, kadang kita merasa bahwa kita adalah orang yang paling menderita. Namun di sana melihat mereka dengan berbagai macam warna kehidupan, kadang membuatku malu jika berkeluh. Apa yang mereka peroleh jauh lebih berat dari kita namun mengapa mereka masih bisa melangkah dengan tersenyum sedangkan kita tidak. Kesabaran memang sebuah proses dan senantiasa berjalan.

Memang tidak mudah. Namun akan berbeda jika kita memandangnya dengan bening. Hiruplah udara sejuk dalam-dalam kemudian hembuskan perlahan. Rasakan. Begitu banyak kebahagiaan di sekeliling kita. Biarkan hati kita merasakan itu. Masih ada udara, masih ada matahari. Tersenyum dan tetaplah semangat!

Saya bersyukur, Allah memercayaiku dengan 'pakaian putih'. Banyak pelajaran juga keindahan yang diperoleh. Sangat banyak. semua bukanlah suatu kebetulan namun sebuah rahasia dalam ketetapan-Nya. Banyak keajaiban dalam semesta. So lets find our miracles, up there...

Teita.
#Tulisan ini menjadi juara 2 lomba menulis kisah inspiratif : Bloger berbagi kisah sejati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun