No more fears, no more crying
But if you walk away
I know I’ll fade
‘Cause there is nobody else” One Direction- Gotta be You
Perubahan memang sesuatu yang lumrah terjadi tak bisa ditahan ataupun ditolak. Namun pada kenyataannya tak semua orang bisa menerima perubahan itu. Apalagi jika hal itu terjadi dalam waktu yang begitu singkat hingga seolah hal itu adalah mimpi bukan sesuatu yang mesti dihadapi. Sayang perubahan itu nyata dan Alika menyadarinya semenjak kereta yang membawanya dari Bandung kembali ke Yogyakarta sampai di stasiun Tugu.
Sebulan yang lalu dia tak sendirian di stasiun ini. Sebulan yang lalu mereka masih berdua. Melangkahnkan kaki ke dalam gerbong kereta api dengan tujuan yang berbeda. “Sebulan? lama sekali ya, aku akan merindukanmu. Pasti sepi gak ada yang cerewet teriak-teriak ngambek tiap kali aku godain.” Kalimat itu masih terngiang jelas di telinganya. Namun apa itu masih menjadi kalimat yang sama bila mereka bertemu kembali sekarang? Alika tak yakin siap bertemu kembali dengan Fakhri setelah semua yang terjadi dalam sebulan ini. Meskipun dia sadar tak mungkin menghindari seseorang yang berada dalam naungan kampus yang sama dan selalu ada peluang untuk sebuah pertemuan tak terduga.
Lalu lalang penumpang di sekitaran stasiun yang riuh tak mampu menyelipkan sedikit keriuhan untuk hatinya. Alika paham dia harus menghadapi semua ini. Dia tak tahu salah siapa ini? Dia tak mampu menyalahkan siapapun hatinya sudah terlanjur kacau, pikirannya terlanjur semrawut ketika keluar dari dalam gerbong. Yogyakarta, kota yang menjadi idamannya sejak kecil. Masuk dalam daftar most wanted dalam catatan hariannya. Kota yang telah rela membagi denyut nadinya bersama Alika selam 3 tahun ini. Kota tempatnya menuntut ilmu, merajut mimpi masa kecilnya menjadi seorang dokter. Di sini pula Alika untuk pertama kalinya 3 tahun lalu bisa melupakan cinta pertamanya pada sesorang yang telah membuatnya menunggu hingga 5 tahun, diam-diam memperhatikan seorang kakak senior pendiam yang membuatnya tetap tersenyum selama masa orientasi. Hingga dia tahu akhirnya ternyata kakak senior itu sudah punya pacar beda kota. Patahlah lagi hatinya dan dia pun memutuskan untuk tidak jatuh cinta, apalagi dengan seseorang yang satu kampus dan satu angkatan. Gue kapok patah hati, ogah kepedean dan gak mau di PHPin lebih baik jadi jomblo bahagia. Kalimat yang hanya bertahan kurang dari sebulan.
Awalnya Alika tak menyadari dia telah jatuh cinta hatinya menolak untuk memberi harapan pada diri sendiri.
Flashback
“Alikaaa, kok belum pulang?” sebuah suara menyadarkannya ke dunia nyata dari novel yang tengah dibacanya.
“Eh, belum. Lagi nunggu Fika selesai rapat.”
“Ya sudah aku duluan ya. Kamu kos di mana Alika?”
“Dekat sini kok samping kampus.” Seulas senyum tak sadar dia berikan pada orang yang mengajaknya berbicara.
“Aku duluan ya,hati-hati ya Alika.”
Percakapan singkat itu ternyata membawa perubahan perlahan. Hampir selalu ada senyum terulas di bibirnya setiap kali melihat Fakhri. Alika belum tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Dia hanya ingin menikmati perasaan itu seorang diri, tak mau membiarkan orang lain tahu, biar tak ada hati yag terpatahkan lagi. Senyum yang terpancar dari jarak 7 meter, bila Fakhri berada di dekatnya justru senyum itu hilang. Alika seolah tak peduli dengan kehadiran laki-laki itu.
Tak baik bila seorang perempuan memulai lebih dahulu. Ntar disangka perempuan gampangan lagi. Alika hanya berani melihatnya tertawa dari jauh. Merasakan hawa panas menyebar di sekujur tubuhnya ketika dia tertawa riang atau menggoda teman perempuan lainnya. Keberanian Alika hanya sampai pada merespon kicauan Fakhri di akun Twitternya. Keberanian yang berujung pada percakapan panjang tak nyata. YA mereka hanya berani bertegur sapa di dunia yang maya. Dunia nyata? Mereka seperti dua orang asing yang belum pernah bertemu.
Bukan perkara mudah buat seorang Alika yang terbiasa bicara blak-blakan menutupi perasaannya agar tidak diketahui teman-temannya. Namun semua keburu terlanjur ketika dia lupa meninggalkan handphone di kamar temannya. Pesan demi pesan pun terbongkar. “Alika sampai kapan kamu mau tetap begini? Berura-pura tak punya perasaan. Mau sampai kapan bertahan menunggu ketidakpastian? Memangnya kamu pikir dia yang lima tahun kamu tunggu juga menantimu juga? Buktinya sampai sekarang kalian beda kota dia semakin menjauh. Buka hatimu Alika,pakai logikamu. Kalau cinta mengapa harus gengsi? Dia malu tak berani memulai, tidak akan ada yang menyalahkanmu bila kamu memberinya kode terlebih dulu. Kamu hanya perlu keberanian dan dia hanya perlu stimulus untuk mengungkapkan perasaannya.” Nasihat panjang lebar dari sahabat dekatnya itu tak lantas dia lakukan sampai ada paksaan.
Paksaan yang disyukuri Alika saat itu, tepat seminggu sebelum mereka berani menjadi satu. Bukan Alika, bukan Fakhri tapi mereka berdua. Dua menjadi satu. “Perempuan punya hak untuk menjawab dan laki-laki berhak untuk bertanya.” ujar Alika saat itu.
“Aku gak bisa bikin kalimat yang bagus atau puitis aku gak romantis,tapi kamu mau kan sama aku?” Jari kelingking tangan kanan milik seseorang dihadapannya itupun terulur, Alika hanya menunduk tak menjawab dan mengaitkan kelingking kanan miliknya pada kelingking yang terulur itu. Yogyakarta di sini aku memulai langkah meatap ke depan, terimakasih langit Yogya kau saksinya.