di mana sari-sari hidup bermekaran, mencoba meraih suatu kemakmuran.
Pada Jalan Tun Abdul Razak, Samata sibuk menyapu fajar dan
menumpuknya menjadi gundukan impian anak tercinta---
Kelak segala usaha mencapai titik temunya.
Desing-desing laju roda dua,
memangku sayur-mayur dari puncak Malino,
mengaraknya, berkeliling kompleks ke kompleks
membangunkan rasa ingin tahu seorang anak
yang bersiap-siap mendaki tangga pendidikan dasar
"Hari ini sarapan apa, Ma?" Tanya si anak
Ada kuah fajar, dan beberapa butir-butir putih kehidupan.
Tak mau kalah, Samata sehabis dari pelabuhan
datang dengan dua keranjang penuh ikan,
dan wajah yang berjagung keringat.
bunyi klaksonnya selalu lebih nyaring,
menandakan Samata saat fajar diberkahi ikan-ikan yang segar
tak berapa lama beberapa bandeng telah menjadi bagian dari dapur seorang ibu,
sekantong udang; ikan cakalang, ikan tongkol
bagai melompat gembira bertemu para penikmat fajar.
Matahari telah meninggi, cucian-cucian Samata dikeringkan di bawah kuasa senyuman hangat.
Samata memulai kerja-kerja penatnya:
berkemeja, berdasi
menaiki mobilnya yang penuh emisi.
mata bagaikan zombi, meraung pada perempatan lampu merah
mencederai kota dengan suara-suara keluhan
wajah bersalju, jam pada tangan kiri hendak dipecahkan
ingin waktu Samata berhenti agar tak ada lagi kata terlambat bekerja,
dan bos yang melelehkan salju di wajah menggunakan hujan ludahnya.
Pada waktu itu,
tumpukan fajar yang kering, telah selesai dikarungkan.
Samata kini boleh sedikit beristirahat dan sibuk dengan dunia pagi masing-masing
bakul sayur pada pundak motor dititipkan kepada
kerja-kerja pasar yang dihimpit jalanan beraspal.
Hingga siang datang Samata makan
sengan sebungkus nasi.
menikmati pengap nasib, di bawah teduh pohon asam jawa.
Di lehernya terkalung cinta keluarga,
dan rompi oranye digantung pada gerobak sampah
sehabis mengumpulkan sisa-sisa mimpi orang-orang,
diantarkannya menuju tempat pembuangan harapan.
Jadi jangan heran jika Samata adalah kulit yang gosong
karena jika belum makmur,
estetika harus disampingkan terlebih dahulu.
Lalu senja tiba,
bunga-bunga rambat di sekitaran perumahan Tamangapa mencapai puncaknya.
Kini Samata harus mengulang kerja-kerja absurd-nya.
Lautan kendaraan mulai kembali ke sarang
dan Samata di sepanjang jalan berbau campur aduk gorengan dan asap sate.
Kini ide untuk mencapai kemakmuran diemban oleh Samata yang
hendak menerjang dunia malam.
Lampu-lampu kuning dinyalakan di depan gerobak,
tabung gas yang hijau pudar, dijaga agar nyalanya tetap seimbang.
Tersenyum ramah kepada pelanggan jalanan yang tak sempat memasak
karena pekerjaan yang menumpuk.
Sedangkan Samata yang bertarung dengan fajar sebelumnya,
terburu-buru menyelesaikan pekerjaannya.
Menuntaskan impian mereka, untuk meraih kemakmuran.
Namun meski telah berusaha pun,
pada akhirnya Samata juga dikejar renta usia.
Segala usaha untuk meraih kemakmuran akan dibatasi oleh kuasa sang malam yang membenamkan matahari lenyap.
Maka untuk sisa-sisa ikan yang belum habis terjual saat memasuki senja,
akan selalu diwariskan kepada generasi besoknya.
Samata, 21 Oktober 2021