Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

BOD Goes To School

5 Juli 2013   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:59 167 0

Seandainya program Board Of Director, “BOD Goes to School”, sebagaimana ajakan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada para Direksi BUMN ini tidak hanya dilaksanakan oleh Direksi PT PLN (Persero), mungkin penulis bisa bernostalgia suka duka waktu sekolah dulu. Kami (Penulis) bisa ceriterakan kembali ke anak didik di sekolah yang dulu pernah diinjaknya. Mungkin saja bisa ketemu para guru dan karyawan, baik yang masih aktif ataupun  yang telah purna tugas (pensiun). Bagaimana suka duka saat duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Rakyat (SR), di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) bahkan di Perguruan Tinggi (PT). Inilah sekelumit nostalgia yang masih tersimpan dalam memory penulis.

Sewaktu Kelas III SD, Mengajar Berhitung Kelas VI

Tidak boleh masuk sekolah adalah nostalgia yang paling membosankan, alasan waktu itu karena tangan kanan belum bisa menjangkau telinga kiri melintas dari atas kepala. Aneh ya? Bukan,  itu sekedar alasan mengada-ada, mungkin tahun 1966 belum cukup umur atau bahkan karena “sentimen politik”, dimana saat itu pecah Gerakan Tiga Puluh September (G30 S) atau Gerakan September Tigapuluh (Gestapu). Keluarga kami adalah keluarga Nahdhatul Oelama (NO, Sekarang Nahdhatul ‘Ulama alias NU) dari pihak paman dan keluarga Marhaenisme (Partai Nasional Indonesia, PNI) dari keluarga bapak (Almarhum bapak pernah menjadi Ketua Ranting PNI). Anak-anak non komunis dipersulit untuk masuk sekolah dasar karena pengajar sekolah waktu itu banyak orang-orang komunis. NU dan Marhaenisme menjadi musuh besar Komunisme (baca: Partai Komunis Indonesia, PKI). Kondisi ini tidak mengurangi semangat sekolah, dengan merengek-rengek setiap hari ikut sekolah dipangkuan Yayu Rochimah (anak dari Bu De, kini beliau dalam kondisi tak berdaya, terbaring terkena strok, di Metro,Lampung Utara, semoga diringankan penderitaannya) yang kebetulan sudah kelas VI SD. Tidak peduli teman-teman sekelasnya sudah besar-besar dan kami masih ingusan. Barulah setahun kemudian (1967) kami dapat masuk di kelas 1 SD, dengan nama Slamet, entah siapa yang memberi nama “Slamet” dengan tanggal lahir 14 April 1960, (mungkin di’selamatkan” bisa sekolah) yang penting masuk sekolah, padahal Surat Kenal Lahir tercatat nama Suhadi, dengan tahun kelahiran 1958. Hikmah yang dapat kami petik adalah kemampuan berhitung yang menonjol, bahkan saat duduk di kelas III SD sering diminta mengajar berhitung kelas VI terutama pemecahan soal ‘porogapit’ (soal pembagian dalam jumlah besar, atau soal-soal persekutuan terbesar dan terkecil). Kemampuan berhitung ini masih dapat dibuktikan pada nilai ijazah rata-rata 9,5, dimana berhitung mendapat nilai sempurna 10 (tertinggi di tingkat sekolah, sayang waktu itu belum ada nilai UN, jadi tidak diketahui rangking berapa di tingkat nasional, he he).

Sewaktu SLTP Mengajar Ilmu Ukur di Halaman Sekolah

Kalau diingat, kami ingin tertawa sendiri. Mengapa? Sudah SMP masih sering menangis di ruang wali kelas? Apa pasal? Kami sering terlambat sampai di sekolah lantaran tidak memperoleh tumpangan (tebengan) bersepeda ke sekolah dan harus ‘distrap’ (dihukum) tidak boleh ikut belajar jam pelajaran yang terlambat.  Jika tidak dapat   ‘numpang’ (nebeng) naik sepeda dengan teman yang lain baik karena sepeda rusak (ban bocor, ban pecah, gearboks pecah atau rantai putus) ataupun terlamabt menunggu dipinggir jalan,  kami harus jalan kaki sejauh 7 KM, melintasi kali, sawah dan menyebrang gunung agar cepat sampai di kota, tapi apa boleh buat, hujan dan banjir sering menghambat perjalanan kami ke sekolah. Terlambat ke sekolah sudah pasti, terbayang hukuman tidak boleh ikut belajar, dan menangislah ... satu-satunya tumpahan kekecewaan pagi itu. Betapa tidak, sudah capek, ngos-ngosan, lapar, haus eh sampai di sekolah dihukum diruang wali kelas. Alhamduliullah hikmah dibalik pengorbanan dan ‘hukuman’ menjadikan kami tegar menghadapi masalah. Mempertebal semangat untuk membuktikan kami bisa.Sebagai obat kekecewaan di atas, kami balas dengan belajar lebih tekun. Hasilnya terlihat saat kenaikan kelas mendapat rangking terbaik di kelasnya dan rangking ke III terbaik untuk tingkat sekolah. Ilmu Aljabar (sekarang, Matematika) dan Ilmu Ukur (sekarang Ilmu Bangun dan Bentuk) menjadi yang momok bagi sebagian besar anak didik, bagi kami adalah favorit, alasanya sederhana ke dua guru kami (guru Aljabar dan Ilmu Ukur) hobinya memancing, di kali dekat rumah kami tinggal saat hari libur, akhirnya kami merasa biasa kalau ketemu beliau, hal demikian menyebabkan kami tidak nerves dan tenang  saat mengikuti pelajaran beliau dan dapat terserap dengan baik. Kami menjadi senang jika ketemu pelajaran beliau, bahkan rindu pelajaran beliau. Hal ini dibuktikan teman-teman kami akan lebih mudah memahami jika kami yang mengajar Aljabar atau Ilmu Ukur. Akhirnya setiap jam istirahat kami harus mengulang kembali pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur di halaman sekolah. Ternyata suasana belajar yang penuh enjoy memudahkan pemahaman.

Sewaktu SLTA Menagajar Kursus Tata Buku di Sore Hari.

Mungkin nasib sedang sial saja. Siang itu bagai halilintar di siang bolong menyambar kepalaku. Kami kena hukuman karena menggunakan bahan celana abu-abu bergaris dari dril Jepang, seharusnya dril kasar biasa. Saat itu, sehabis bertugas sebagai komandan upacara Senin pagi, kami tidak boleh keluar dari lapangan upacara yang terik, sesuai laporan Guru Pembina OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) kami sebagai Ketua Umum OSIS dianggap  melanggar disiplin berat tidak memakai seragam sekolah, kami harus dijemur di tengah-tengah lapangan upacara.  Kami diskors tidak boleh mengikuti pelajaran sekolah. Kami berang dan protes ke Kepala Sekolah, dan tidak mau menerima hukuman itu, dengan alasan peraturan sekolah hanya mengatur warna celana abu-abu tidak mengatur jenis bahan yang digunakan. Akibatnya, lebih parah karena dianggap ‘melawan’, hukuman ditambah dipecat sebagai Ketua Umum OSIS. Kami lebih galak lagi, kami mogok (tidak akan masuk) sekolah selama hukuman tidak dicabut. Kami tidak mau menjadi asisten guru mengajar di kelas, sebelum pencemaran nama baik kami direhabilisasi (saat itu jarang sekali murid berani protes ke Kepala Sekolah). Lagi-lagi hikmah dibalik ujian muncul. Untuk mengisi kekosongan waktu kami nongkrong di pinggir pasar (maklum gak berani di rumah saja, bisa ketahuan orang tua melanggar disiplin sekolah) melihat pelukis memainkan kuas di kanvas. Hasilnya cukup menggebirakan, kami pernah juara III melukis pada acara Pekan Olah Raga dan Kesenian (PORSENI) Sekolah Kejuruan Tingkat Atas  se Karesidenan Kedu (Wilayah Kabupaten Kebumen, Purwaorejo, Magelang dan Temanggung). Akhir hukuman kami kompromi dengan Wali Kelas, tetap masuk sekolah se ijin Kepala Sekolah, tanpa menghiraukan hukuman dari Pembina OSIS. Kesempatan ini juga kami tunjukkan bahwa kami memiliki kualitas, maka sesuai anjuran guru bidang studi Hitung Dagang dan Tata Buku, kami mengikuti Ujian Negara Tata Buku (Bond A1, A2 dan Bond B), alhamdulillah lulus semua, dalam waktu kurang dari 3 bulan. Berbekal Ijazah  Bond Tata Buku tersebut, kami diajak menjadi Pengajar Kursus Tata Buku guru kami (Bapak Drs. Abdul Azis, SMEA Batik Sakti, Kebumen), lumayan dapat honor Rp35.000,00 per bulan, bisa untuk mentraktir teman-teman beli pisang goreng dan es cendol, di tempat warungnya Mbah Tumin. Rasa bangga jauh lebih memuaskan bisa menagajar dalam usia relatif beliau (saat itu jarang sekali anak sekolah dipercaya mengajar di tempat umum dan bersertifikasi) dibanding sekedar sebagai Ketua OSIS. Tak dapat disangkal lagi, kami lulus dengan nilai terbaik dan bisa menempuh Sarjana (Diploma IV) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, perguruan tinggi kedinasan yang sangat favorit bagi kalangan anak-anak cerdas yang tak berduit tebal (alias sekolah gratis) saat itu.

Sewaktu Kuliah Menjadi Mentor Tata Buku

Mata Kuliah Hitung Dagang dan Tata Buku tingkat I STAN masih aman, karena mata kuliah masih pengantar dan banyak persamaannya dengan materi saat  di Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN), sehingga kuliah masih tenang. Kegiatan non akademik masih terpegang, ada Kegiatan Kemasjidan (Masjid Baitul Maal atau  MBM, pada Badan Pendidikan dan  Latihan Keunagan atau BPLK), Mentoring Tata Buku, Saturday Night Musik, STAN Engglish Cluu, dll. Mahasiswa eks SMEA umumnya unggul di Tata Buku dan Hitung Dagang, sedangkan alumni SMA IPA, unggul di Matematika Ekonomi dan sejenisnya. Jadi wajarlah untuk menghidari sitem DO (Drop Out), semua mahasiswa berusaha maksimal untuk keberhasilan dalam setiap bidang studi. Hitung Dagang dan Tata Buku salah satu mata kuliah berbobot SKS (Satuan Kuliah Semester) cukup tinggi sehingga jika gagal, bisa terancam DO. Maka mentoring Hitung Dagang & Tata Buku menjadi pilihan yang banyak peminatnya. Waktunya sore hari atau pada jam-jam kosong kuliah. Grup kami sangat unik. Masing-masing mentor dengan nama panggilan aspal (asli tapi palsu), misal, Frengky untuk menyebut mentor berabut panjang dan ikal, Kribo untuk si rambut kriting tebal, Jaliteng untuk mentor berperwakan kurus tinggi lagi hitam. Cara mengajarpun unik, ada yang ahli cuap-cuap, ada ahli mengejakan soal –soal, ada yang provokator seperti agen iklan biar menarik perhatian calon peserta. Jika ada kesulitan mengerjakan soal, maka mentor akan diganti oleh ahlinya, dengan alasan maaf kami belum bisa melanjutkan bahasan soal ini, kami ada kuliah tambahan.Padahal kagak bisa ngerjain soal yang ditanyakan para mentee, sehingga mentor harus disesuaikan dengan keahliannya. Ada satu hal yang menguntungkan mentor yakni kami akan lebih memahami dan mudah menjawab soal-soal kuiz. Sehingga suatu saat ada soal ujian yang sama persis dengan bahan mentoring, hanya beda perkalian angkanya, misal soal yang sama dikalikan 2,255. Kelihatannya susah, setelah angka dibagi 2,555 akan ketemu soal aslinya. Walhasil semua peserta mentoring berhasil lulus dengan nilai bagus. Celakanya? Penulis dianggap membocorkan jawaban soal oleh sang dosen, akibatnya mendapakan her (mengulang ujian) sampai 3 kali. Her pertama, her kedua dan her khusus. Itulah sebagian kenangan pahit sebagai mentor, tapi akhir dosen tersebut mengakui bahwa kami betul-betul mampu mengerjakan soal, bukan karena saling menyontek lolos dari jebakan DO. Sebagai ganti (rasa berdosanya) sang  dosen tersebut bersedia menjadi pembimbing skripsi dan lulus sesuai target.

Acara BOD GOES TO SCHOOL, jangan dipahami secara harfiah harus seorang direksi perusahaan, bisa siapa saja yang mendapatkan kesuksesan sesuai bidangnya. Bisa Direktur Lembaga Pendidikan, bisa Pengusaha yang sukses, bisa guru atau kepala sekolah teladan dan siapapun yang keberhasilannya layak dijadikan contoh dalam mendorong motivasi orang lain. Acara seperti ini bisa digunakan untuk berbagi pengalaman, berbagi kisah sukses dan meningkatkan motivasi anak didik untuk lebih maju, sebagaimana keberhasilan alumni sekolahnya yang menjadi direksi BUMN atau pejabat tinggi lainnya. Serta ajang silaturahim tentunya.

Penulis: Seorang Direktur Keuangan,

sebuah cucu perusahaan BUMN.

bidang penyedia bahan bakar (energi primer)

Pembangkit Listrik PT PLN (Pesero)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun