Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Perlukah Masa Jabatan Kades 9 Tahun?

27 Januari 2023   13:14 Diperbarui: 27 Januari 2023   13:42 189 2
Sebelumnya ada wacana masa jabatan Presiden 3 periode. Sekarang sedang bergulir wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun. Direspon begitu cepat dalam ruang diskursus elit.

Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar menyebut usulan rekomondasi Assosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) dari 33 provinsi itu agar para Kades mempunyai lebih banyak waktu untuk mensejahterakan warga desa.

Kata dia, polarisasi pasca pemilihan Kades nyaris terjadi di seluruh desa, sehingga kemudian bedampak pada pembangunan dan beragam aktivitas terbengkalai.

Menurutnya, perpanjangan masa jabatan Kades telah dikaji secara akademis. Memperpanjang masa jabatan agar ada waktu yang cukup menyelesaikan konflik dan ketegangan warga usai Pilkades.

Ini argumentasi paling loyo. Kondisi yang terjadi setelah Pilkades itu semestinya diredam lebih awal, sebelum momentum pemungutan suara.

Titik soal bukan hanya pada warga, tetapi lebih kepada kualitas dan kesiapan calon Kades. Pilkades mesti dipahami sebagai jalan damai untuk membangun desa. Dirayakan dalam situasi gegap gempita penuh riang gembira.

Tugasnya memastikan kepada warga bahwa persaudaraan jauh lebih penting dari sekadar perebutan kursi kuasa. Bukan tidak ada, sifat provokatif dan over-dosis ambisi dapat menyulut emosi dan reaksi pendukung.

Kekeh mendukung wacana perpanjangan masa jabatan untuk penyelesaian konflik tersbut, seolah tidak ada jalan lain yang lebih efektif tanpa efek buruk membuntuti.

Benar, bahwa gesekan-gesekan itu sering terjadi. Menghambat pembangunan. Rekonsiliasi pasca Pilkades memang sangat perlu. Maka, bila menggunakan pendekatan budaya tentu tidak membutuhkan waktu dalam hitungan tahun.

Sebab kekuasaan itu sangat rentan disalah gunakan. Maka ada aturan yang mebatasinya. Selama 6 tahun dan 3 periode yang diatur dalam UU Desa No 6 Thn 2014 sudah cukup ideal, dan tidak perlu direvisi.

Soal revisi aturan, barangkali pencermatan kembali Permendagri Nomor  83 Thn 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa yang kemudian diubah dalam Permendagri Nomor 67 Thn 2017 rasanya agak lebih penting.

Atau membicarakan soal belanja operasional dan insentif RT/RW, juga  lembaga kemasyarakatan lainnya yang masih jauh dari kata layak kalau tak enak disebut kasihan. Lantaran regulasi prioritas penggunaan anggaran Dana Desa (DD) yang begitu ketat.

Lebih krusial dan mendesak lagi adalah langkah strategis pencegahan kasus korupsi. Tidak berlebihan, bukan tidak mungkin, perpanjangan masa jabatan dapat memperlebar ruang penyelewengan.

Dana desa sangat rentan digarong dengan berbagai macam modus. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak UU Desa itu disahkan, tren jumlah kasus dan kerugian negara cenderung naik.

ICW mencatat, dari tahun 2015--2021 terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.

Dan masih banyak problem lain yang barangkali jauh lebih serius dibandingkan dengan wacana tersebut. Perlukah perpanjangan masa jabatan Kades 9 tahun? Tidak perlu. Sekali lagi, tidak perlu!

Jadi, jangan heran sejak wacana itu disuarakan, tidak sedikit pihak yang menolak. Bahkan dinilai sangat politis menuju tahun politik 2024 mendatang. Kira-kira begitu.***

MDW


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun