Dikutip dari Diana (2016, hlm. 46) Pada abad ke 18 Kerajaan Jembrana memberikan aturan kebebasan beragama bagi Muslim, maka di mulai Islam melembaga di wilayah ini. Banyak dari pendatang Islam yang akhirnya menikah dengan wanita setempat dan lambat laun menjadi kampung-kampung Muslim seperti Gelgel, Loloan, Pegayaman, Kepoan dan lain-lain.Serta mendirikan sarana peribadatan dengan membangun Mesjid dan lembaga-lembaga Islam lain seperti pesantren. Serta tidak dipungkiri bahwa Islam dan Hindu memang hidup berdampingan secara harmonis dan saling bertoleransi. Tetapi, budaya-budaya asal Bali tetap tidak ditinggalkan oleh penduduk yang telah menjadi Muslim.Muslim Bali tetap berkehidupan seperti biasanya mengenal subak,seka, dan pengurutan nama serta bahasa, hanya dalam hal beribadah saja yang berbeda. Daerah Jembrana dapat terlihat jelas adanya hubungan baik dan rukun antara etnis Bali yang beragama Hindu dengan etnis beragama Islam, mereka bekerjasama menjadi anggota subak. Kehidupan harmonis tersebut sudah ada sejak lama dan turun-temurun sampai sekarang. Di tempat lain, desa Gelgel juga terjalin hubungan harmonis dalam masyarakat antara Muslim dan Hindu. Kedekatan dalam hubungan persaudaraan tersebut menumbuhkan rasa "menyama". Bagi orang muslim biasanya disebut "nyama Selam" (saudara kita yang beragama Islam), dan "nyama Bali" untuk saudara kita yang beragama Hindu, sampai sekarang masih di kenal di Gelgel, Klungkung. Terjalin hubungan kekeluargaan antara warga Muslim dan warga Hindu yang berada di Tanjung Benoa yang biasa di kenal denga "Saling Seluk", artinya apabila dari masing-masing warga baik muslim melakukan hajatan ataupun Hindu melakukan upacara kedua belah pihak tersebut saling mengunjungi bahkan ketika ada kematian warga Hindu ikut mengantar ke kuburan, begitu juga sebaliknya saat umat Hindu mengadakan upacara warga muslim ikut berpartisipasi (Wibawa, 2018, hlm. 40). Namun relasi antar agama di Bali ini tidak selamanya baik, terkadang juga terjadi konflik. Hal itu bermula ketika terjadinya peristiwa bom Bali pada 2002 yang membuat hubungan harmonis Hindu dan Islam di bali menjadi memanas dan memunculkan problem sosial terutama terkait dengan eksistensi umat Muslim di Bali. Memang, di permukaan seolah tidak ada persoalan yang dialami umat Muslim Bali pasca tragedi bom Bali. Tetapi jika diselami secara lebih dalam niscaya akan ditemukan berbagai pesoalan terkait implikasi dari tragedi tersebut. Menurut Dhurorudin Mashad, tragedi bom Bali telah berimplikasi negatif secara akut pada mentalitas umat Hindu di Bali. Sekaligus menorehkan luka di hati mereka. Sebab, akibat ledakan bom tahun 2002 itu, Islam distreotipkan sebagai agama teroris mengingat pelaku mengatasnamakan jihad Islam.