Tak pake waktu lama, kami membanting stir menuju International Airport Mozes Kilangin agar bisa mendapatkan tiket ke Kenyam, Nduga. Lama di sini. Capek juga. Hanya menunggu kepastian akan penerbangan dengan Trigana Air yang hanya terbang hari Senin dan Sabtu jurusan Timika-Kenyam..
Ngiunggg, Trigana datang. Kami huru-hara. Di atas 3000-an kaki dari permukaan laut, hutan yang masih hijau menatap kami bersama awan. Aku terbuai dalam penerbangan boeing 737 itu. Ada rasa ingin tahu, sebab akan menuju daerah baru. Berbarengan dengan rasa lelah.
“Kita menempuh perjalanan berapa menit, kah?” Tanyaku pada cewek yang duduk di samping kiri seat.
“Baru pertama kali ya? Oya, sekitar 45 atau 50 menit saja,” jawab cewek yang kemudian aku tahu seorang perawat di Kenyam.
Obrolan ringan aku dan dia. Tetapi kerasnya bunyi baling-baling memecahkan obrolan kami. Lalu aku tertidur. Sementara ia melirik kiri dan kananku. Curiga, barangkali. Aku masa bodoh.
Kira-kira menit terakhir ketika hendak landing, aku terbangun. Wajar memang. Semalam aku tak banyak istrirahat. On line, SMS-an dan menulis laporan ke Jayapura hinga dinihari.
Tak banyak manusia di bawah sana. Hanya lekukan kali, gunung-gemunung, hamparan pasir kali dan kerikil bak padang pasir. Mereka mengucapkan selamat datang di sini.
Awalnya aku tidak mengira, Kenyam adalah ibukota kabupaten Nduga. Tak seperti ibukota kabupaten lain semisal Sentani, Nabire, apalagi Abepura. Sepi. Dikelilingi gunung-gemunung, bebukitan. Suhu sekitar 20 derajat celsius kala itu. Tak ada mobil bandara. Tak ada truk. Yang ada hanya warga yang datang mengerumuni pesawat dan kami. Lantas aku menghidupkan HP-ku untuk memberi kabar ke Jayapura. Eh tak ada sinyal. Sedih. Aku melirik ke kiri-kanan sambil tersenyum pada warga yang datang. Di ujung timur berdiri megah tower. Tampaknya belum berfungsi.
“Ini Kenyam,” sambut keluarga yang menjemput aku dan rombongan.
Tampaknya ini bukan ibukota kabupaten. Maklum, kabupaten baru. Lapter (lapangan terbang) dipenuhi rerumputan dan sedikit genangan air sisa hujan semalam. Atau mungkin daerah ini berawa? Aku tak tahu. Berkutat dalam tanya tanpa jawaban.
Aku enjoy. Enjoy melihat dan merasakan suasana kampung yang tertinggal, tetapi aman dan damai. Sejuk pula.
Tahun 2011, saat paskah, selama dua minggu, di distrik Towe Hitam, Kabupaten Keerom, aku merasakan benar-benar suasana kampung yang jauh dari kemajuan. Gelap kala malam. Mirip di sini. Tetapi Kenyam sedikit lebih maju, karena ada solar sel dan genset sehingga malam aku bisa men-charge laptop dan perekam serta baterai kamera.
Warga datang dan bercerita. Berkisah tentang pengalaman mereka. Sore pun datang bersama rintik-rintik hujan. Sebentar-sebentar panas. Lama kami bercerita hingga aku tertidur pada kursi kayu. Sementara Marlboro sudah habis dua bungkus. Lama-kelamaan udara dingin menyapa aku dan teman-teman. Hujan makin lebat tanpa kompromi pada kami yang baru pertama kali ke sini.
Anak-anak bermain ria di sekolah, pojok kiri rumah kami di komplek SDI Kenyam. Makan bersama dalam suasana terang yang tidak terang. Makan siang senja hari. Ada John Rumbiak, sekretaris PU Kabupaten ini. Gelak tawa dan senyum renyah berbarengan dengan kata-kata yang terlontar. Sejenak diam dalam sunyi dan hening. Kami bahagia karena saling sharing. Hujan terus datang. Kami tak kuasa menahan dia.
Bagi warga Kenyam, hujan adalah berkat. Sebab mereka menggunakan air hujan. Tak ada air leding. Tak ada PAM. Wilayah ini berada pada ketinggian dan perbukitan. Luasnya 2.168 kilometer persegi. Sumur tak memberikan air. Pemerintah memang harus membuka mata.