Moni adalah gadis kecilku. Malaikat tak bersayap yang selalu terbang mengitari nyata dan mayaku. Namanya sudah terpatri dalam setiap jejak langkah dalam pengembaraanku. Ia ramah dan kuat. Mandiri dan tidak arogan. Bukan gadis murahan atau tipe hedonis yang lemah lunglai. Ia adalah personifikasi kekuatan dahsyat yang tak terkatakan selama ini. Monalisa Flores Lujunai.
Senja berganti gelap. Dingin menusuk sum sum tulang belakang. Hingga ke ubun ubun. Suara Moni tiba-tiba datang dari seberang pulau. Pelan berganti lengking. “Kami ketawa”. Ah, ini dia yang aku nanti. Suara penghibur lara di Abepura.
HP-ku yang kutempelkan di daun telinga jadi hangat. Lagian, frekuensi suara dari Nokia makin meninggi. Menepis dan mengusir angin cengeng yang nyaris beku.
Entahlah dia dimana. Tetapi kami berbincang garing. Ia di Pulau Bunga. Sontak pikiran menerawang menembus dinding kamar kosku. Bukan mengkhayal. Tapi mencipta. Menciptakan dia yang tercinta dalam kamar berukuran 4x6 meter. Dia citra Sang Pemahat Kekal.
Sementara buku-buku, pena dan notebook tak tahu rimbanya. Eh aku lupa, sedari tadi aku mengutak-atik kata sampah. Mengukir kata dari rasa dan pengalaman. Berbentuk klausa dan paragraf.
“Kak, nafasmu kuatkan jiwaku. Seakan dunia adalah langit ketika kita menyatu dalam satu kata, Cinta.”
Begitu ia menjeda ceritaku tentang pengembaraan di tiga pulau. Aku tak sedikit pun menerimanya jika itu adalah rayuan. Tetapi bahwa Moni mengatakan ekspresi jiwanya. Selama ini ia menyimpan saja dalam hati. Ia mau berkata tapi tak bisa berucap. Ia seakan bisu memandang realitas yang konyol dan pragmatis. Kapitalisme membuat ia tak berdaya sama sekali ketika bersuara.
Detik berganti menit. Malam itu dialog kami makin panjang. Hingga aku sebut dialog dinihari, sebab, jarum jam berganti pada pukul 04.00 waktu Papua. Tut tut.., suaranya tiba-tiba putus. Aku terus berteriak memanggil Moni hingga burung-burung udara menatap sinis. Malam pecah jadi isak. Moni tak ada kabar hingga aku menuliskan pesan pendek ke telpon selulernya.
Ah, suara terakhir Moni. Ini yang aku ingat, “Kak, nafasmu kuatkan jiwaku. Seakan dunia adalah langit ketika kita menyatu dalam satu kata, Cinta.”
Abepura, 18 November 2013