Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Belajar Merawat Persatuan dari Museum Tionghoa Soekaboemi

29 Juli 2024   20:38 Diperbarui: 29 Juli 2024   21:43 30 2
Keberadaan etnis Tionghoa di Sukabumi sudah ada sejak lama, kira-kira pada tahun 1800-an. Tepatnya sejak masuk kebudayaan perunggu dari Dongson.

Gelombang kedua masuk saat penyebar agama Islam Tionghoa di masa Sunan Gunung Jati. Gelombang selanjutnya saat pekerja Tionghoa ke Sinagar dibawa Tan Sioei Tiong tahun 1843.

Di tahun 1846, etnis Tionghoa kerap bermukim di daerah Gunung Parang, Cicurung, dan Ciheulang. Pada kala itu etnis Tionghoa dan masyarakat lokal sudah semakin sulit dibedakan.

Kehidupan kedua etnis itu sudah saling membaur dengan amat baik. Apalagi telah terjadi kawin campur dengan orang-orang Sunda.

Konon katanya mereka juga telah menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Nah ternyata gempuran kedatangan etnis Tionghoa rupanya masih berlanjut.

Gelombang terakhir terjadi saat adanya modernisasi kota. Dimana sistem kapiten dibentuk, sehingga muncul sederet 'Kaptoa' (kapiten Tionghoa).

Misalnya Sim Keng Korn, Lauw Tjeng Ki, Tan Giem Hok dan Tan Tiam Leng. Pada tahun 1920 jumlah warga Tionghoa mencapai 2.776 jiwa.

Selain kaptoa, sejumlah etnis Tionghoa lainnya pun cukup tenar dan berjaya di Sukabumi. Sebut saja Gouw Soen Tong sang raja Rollet pembangun Capitol, Tjiong Born Hok pemilik tekstil Tjiboenar dan keluarga Zecha keturunan Grand Lady of Java yang kerap menolong masyarakat yang terkena wabah kolera.

Berkaca dari itu, tak heran bila kini ada sejumlah vihara di Kota Sukabumi. Misalnya Vihara Widhi Sakti yang telah dibangun sejak 1908 dan Vihara Nam Hai Kwan Se Im yang memiliki pemandangan laut indah nan eksotis.

Tak cuma vihara, pesona pecinan semakin melekat disini karena terdapat Museum Tionghoa Soekaboemi. Museum berlokasi di Jalan Pajagalan, Nyomplong, Kecamatan Waru doyong, Sukabumi.

Museum ini didirikan oleh lima sekawan pecinta sejarah sekaligus kolektor barang antik. Mereka adalah Satrio Hukin, Budi Hukin, Irman Sufi, Yudi Julianto dan Vidi Jensen.

Museum ini terdiri atas empat lantai. Masing-masing lantai memiliki konsep yang berbeda.

Lantai dasar berisi koleksi sejarah Tionghoa. Bahkan ada lukisan tembok yang berkisah tentang kedatangan Tionghoa ke Pulau Jawa.

Di lantai itu juga berisi barang antik tempo dulu  hingga fasilitas area untuk berswafoto. Di lantai kedua terdapat koleksi uang kuno, pakaian tempo dulu, termasuk model ruang tamu, ruang ibadah, dan peralatan rumah tangga kuno.

Di lantai ketiga berisi arsip dan dokumen soal sejarah Kota plus Kabupaten Sukabumi. Sementara di lantai terakhir ada peralatan perang dan kostum zaman perang perjuangan kemerdekaan.

Diperkirakan total koleksi disini mencapai 1.000 barang bersejarah. Beragamnya koleksi museum ini, membuat semua kalangan masyarakat tertarik untuk mengenal, tanpa melihat perbedaan suku, agama dan ras.

Untuk mengunjungi Museum Tionghoa Soekaboemi masyarakat dikenakan tarif Rp 5 ribu per orang. Museum dibuka setiap hari kecuali Jumat, mulai pukul 09.00 WIB - 16.30 WIB.

Menengok sejarah masa lalu memang mengasyikkan. Kita serasa dibawa dan merasakan sensasi berada di situasi masa lalu.

Bahkan dari situ kita diajak untuk belajar agar bisa berempati dan bertoleransi atas setiap perbedaan yang ada. Kita tak perlu meributkan perbedaan ras, suku dan agama di masyarakat, tengok saja cerita nenek moyang yang saling bergotong royong demi kemajuan bersama.

Mari kita belajar untuk terus memupuk serta merawat persatuan Indonesia dari Museum Tionghoa Soekaboemi. Agar kehidupan Indonesia yang harmonis tetap lestari hingga berlanjut ke generasi-generasi berikutnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun