Kampung China atau Pecinan merupakan wilayah yang mayoritas dihuni oleh kaum peranakan Tionghoa. Kampung tersebut terus hidup sejak dulu dan tersebar di berbagai belahan dunia.
Rupanya kehadiran Pecinan berkaitan dengan sejarah orang Tiongkok di masa lalu. Dimana mereka terbiasa dan gemar merantau demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Alasan itu kian diperkuat dengan kondisi Tiongkok kala itu. Yakni kejatuhan Dinasti Qing hingga era Mao Zedong membuat Tiongkok miskin.
Lantas orang-orang Tiongkok pun merantau ke banyak negara. Mulai dari Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, hingga ke wilayah Asia Tenggara, seperti ke Singapura, Malaysia, sampai Indonesia.
Tak hanya sekadar merantau, mereka juga menetap dan beranak pinak hingga menghasilkan keturunan yang seringkali disebut peranakan Tionghoa. Khusus di Pulau Jawa, kawasan Pecinan tersebar di beberapa area, antara lain:
1.Jakarta
Kawasan Pecinan di Jakarta terdapat di beberapa wilayah. Seperti di Jakarta Pusat ada terletak di Pasar Baru, Jakarta Utara berkawasan di Kelapa Gading dan Pluit, serta Glodok di Jakarta Barat.
Salah satu yang paling menarik adalah kawasan Glodok karena merupakan Kampung Cina tertua di Jakarta. Disini masih berdiri kokoh sebuah wihara yang menjadi saksi bisu peradaban Tionghoa di Jakarta sejak zaman kolonial.
Ya, wihara itu bernama Dharma Bhakti dan telah dibangun sejak abad ke-16, tepatnya tahun 1650. Diketahui kelenteng tersebut sudah berganti nama beberapa kali, antara lain Kwan Im Teng dan Im Tek Le.
Bangunan kelenteng didominasi oleh warna merah dan emas. Dimana kedua warna itu menjadi simbol kemakmuran bagi warga Tionghoa.
Ukiran bertuliskan huruf mandarin pun terpahat di banyak sisi kelenteng. Wihara Dharma Bhakti kian historikal karena memiliki patung Dewi Kwan Im berusia sekitar 300 tahun.
Meski pernah terbakar akibat korsleting listrik empat tahun silam, pesona Wihara Dharma Bhakti seakan tak lekang oleh waktu. Kelenteng ini tetap ramai didatangi orang, baik mereka yang ingin sembahyang ataupun para pelancong lokal dan asing.
Selain kelenteng tadi, nuansa Tionghoa di Glodok juga berada di titik lain. Misalnya di Gang Gloria yang banyak menyajikan hidangan non-halal berbahan dasar daging babi.
Tidak jauh dari situ ada Pasar Petak Sembilan yang menyediakan beragam peralatan ibadah bagi umat Budha dan Konghucu. Ornamen khas Tionghoa seperti lampion merah pun terpajang rapi di Pasar Petak Sembilan.
Ada pula resto Pantjoran Tea House bergaya oriental. Selaras dengan arsitekturnya, teh dan menu peranakan Tionghoa menambah nilai jual resto tersebut.
2. Tangerang
Tak jauh berbeda dari Jakarta, di Tangerang juga terdapat wihara tua bernama Boen Tek Bio. Wihara yang berlokasi di Jalan Bhakti No. 14 ini, diperkirakan dibangun tahun 1684 oleh seorang tuan tanah.
Aksesori di kelenteng, diyakini banyak menggunakan barang yang diimpor langsung dari Tiongkok. Misal, lonceng dibagian muka kelenteng dibuat oleh perusahaan pengecoran bernama Ban Coan Lou tahun 1835.
Selain itu, ada pula singa batu yang dalam bahasa mandarin disebut cioh sai dibuat pada tahun 1827. Ketika abad ke-18, tepatnya tahun 1844, Wihara Boen Tek Bio sempat dipugar habis-habisan.
Dalam merenovasinya pun didatangkan ahli bangunan langsung dari Tiongkok. Sehingga bangunan yang semula hanya berbentuk seperti rumah menjadi layaknya kelenteng pada umumnya.
Di kawasan tersebut, juga terdapat rumah mendiang Oey Kim Tiang yang merupakan seorang penulis cerita silat. Arsitektur rumahnya pun masih bergaya peranakan Tionghoa.
Satu lagi adalah Museum Benteng Heritage yang merupakan hasil restorasi sebuah bangunan berasitektur tradisional Tionghoa. Berbagai artefak kuno nan unik ada, contohnya kamera tua, alat pemutar lagu, timbangan opium, hingga botol kecap Benteng Teng Giok Seng dan Siong Hin.
3. Semarang
Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini, juga menjadi salah satu kawasan Pecinan terbesar di Indonesia. Bukti nyata keberadaan etnis Tionghoa disana adalah Kelenteng Sam Poo Kong yang terus berdiri kokoh hingga kini.
Zaman dulu, kelenteng itu menjadi tempat Laksamana Cheng Ho atau Zheng He beristirahat saat sedang berlabuh. Kisah tersebut kira-kira terjadi di tahun 1416.
Luasnya Kampung Cina di Semarang turut diperkuat dengan jumlah yang cukup banyak, yakni sekitar 11 kelenteng. Beberapa diantaranya adalah Kelenteng Tong Pek Bio, Hwie Wie Kong, Tri Noto Buko Bawono, dan Tay Kak Sie.
Kelenteng-kelenteng itu membentang dari Jalan Beteng, Gajah Mada, Jalan MT Haryono, Jalan Jagalan, dan sekitar Simpang Lima Semarang. Selain beragam kelenteng, Pasar Malam Semawis turut menyemarakkan Pecinan di Semarang.
Penganan ala Tionghoa tersaji disini, seperti nasi campur, nasi hainam, sampai olahan babi. Pasar ini dibuka tiap akhir pekan, yakni Jumat hingga Minggu pada pukul 18.00-23.00 WIB.