Pada artikel kali ini penulis ingin membicarakan mengenai rejeki dari sisi ikhtiar bathiniah berupa pembangunan mental dan keyakinan alam bawah sadar melalui pengucapan kalimat afirmatif. Secara khusus pula, kalimat afirmatif yang penulis jadikan 'model' atau contoh adalah kalimat afirmatif yang dalam khasanah nusantara dikenal dengan nama 'mantra'.
Salah satu mantra yang menjadi kalimat afirmatif untuk 'penarik' rejeki adalah dibawah ini :
Bismillahirahmanir-rahiim, (kemudian mengheningkan cipta, berdoalah dengan cara memuji Tuhan dan memohon rejeki),
“Sri Rejeki,
Sedulurku kang ono keblat wetan pernahe,
Sedulurku kang ono keblat kidul pernahe,
Sedulurku kang onokeblat kulon pernahe,
Sedulurku kang ono keblat lor pernahe,
Bapa akasa,
Ibu pertiwi,
Wus pepak sedulurku papat kalimo pancer,
Rewangono ingsun golek rejeki sandang pangan, pepak rejeki, murah rejeki krana Allah ta’ala
Lailahailallahu Muhammadarasulullah”.
“Sri rejeki,
Saudaraku yang ada di keblat timur tempatnya,
Saudaraku ayng ada di keblat selatan tempatnya,
Saudaraku yang ada di keblat barat tempatnya, Saudaraku yang ada di keblat utara tempatnya,
Bapa Angkasa,
Ibu pertiwi,
Sudah genap saudaraku yang empat dan yang kelima ‘pancer’
Ikutlah bersamaku mencari rejeki, sandang pangan,
Cukup rejeki murah rejeki karena Allah ta’ala,
Lailahailallahu Muhammadarasulullah”
Mantra adalah Penyaksian.
Penyaksian suatu kesiapan mental kita menjadi saksi. Bisa menjadi saksi karena kita sendiri telah ‘melihat, mendengar dan atau mengalami dan merasakan sendiri. Jika berdoa memohon rejeki, maka sepatutnya kita sudah menjadi saksi dan menyaksikan bahwa diri ini adalah fakir tiada daya sama sekali. Sekaligus juga menyaksikan dan menjadi saksi bahwa Allah itu kaya, amat pemurah serta mau dan mampu mencurahkan rejeki pada kita.
Salah satu ‘alat’ yang mendongkrak kesaksian kita adalah mantra. Para orang tua zaman dulu mengajarkan mantra. Sebenarnya mantra adalah kalimat-kalimat afirmatif untuk memancing kesaksian mental atau alam bawah sadar kita.
Pada contoh mantra diatas maka kita menjadi saksi sekaligus menyaksikan bahwa Allah maha murah dengan menyediakan rejeki kita disemua tempat. Timur, selatan, barat, utara atas maupun bawah. Sekaligus kita mengakui sebagai bagian dari alam semesta.
Jika sudah menyatu penghayatannya maka dalam diri kita akan tumbuh etos kerja yang giat bahwa tugas
kitalah ‘mewadahi’ rejeki yang mengalir tersebut sekaligus memanfaatkannya demi kepentingan diri, keluarga dan sosial.
Biasanya sarana pembacaan mantra tersebut disertai laku yaitu bancaan jajan pasar. Artinya kita disuruhmemberi anak-anak kecil di sekitar kita makanan berupa jajanan yang disukai mereka. Sebenarnya ini adalah upaya meminta doa dari barokahnya ‘menyenangkan’ anak-anak. Hal ini mengajarkan watak sosial dalam diri kita.
Apakah harus mantra seperti diatas ? Tidak juga. Karena pada intinya adalah kesaksian kita yang diharapkan bisa bangkit dan berfungsi. Misalnya ketika kita memohon rejeki kepada Allah, apakah sat itu juga kita sudah menjadi saksi dan sekaligus menyaksikan kemurahan-Nya yaitu Dia memang Sang Pemberi Rejeki yang sedang memberi ‘uang’ kepada kita ?
Jika belum bisa bersaksi demikian maka jalan satu – satunya mari kirta berdoa mohon diberi petunjuk dan diajari oleh-Nya untuk bisa menyaksikan perbuatn-Nya (af’alNya) sebagai Ar-Rozaaq, Tuhan Sang Pemberi Rejeki. Jika kita sudah bisa menjadi saksi-Nya dan menyaksikan-Nya maka kemurahan-Nya akan menyelimuti kita. Permohonan kita akan dimakbulkan-Nya. Rejeki akan diturunkan bagi kita tanpa perhitungan (bighoiri hisab). Amiin.
Salam, Tiknan Tasmaun.