Banyak artikel tentang post-power syndrome di internet. Penyakit psikologis ini diulas di berbagai forum, jadi materi jualan asuransi pensiunan, bahkan punya Facebook fan page. Kata Google Trends, rating pencariannya juga semakin meroket. But hell, nggak ada satu situs pun yang bahas Post Journo Syndrome. Tidak satu pun. Uff... Apa iya aku harus bikin halaman wikipedia sendiri biar semua orang di dunia tahu bahwa Post Journo Syndrome does exist??
Post-journo syndrome adalah suatu gejala yang terjadi di mana penderita adalah mantan jurnalis dan hidup dalam bayang-bayang kekuasaan, kepopuleran, dan kemewahan masa lalunya sehingga cenderung sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang.
Great! Anggaplah aku sukses mendefinisikan post-journo syndrome. Tapi ini belum cukup untuk satu halaman Wikipedia. Aku juga harus menjelaskan gejalanya.
Penderita langsung excited ketika di layar HP-nya muncul panggilan masuk dari landline. Harapannya, itu panggilan dari PR agency yang ngajak nongki-nongki cantik, pitching undangan, atau media entertain. Hmpf. Menjabarkan definisi media entertain saja bisa bikin penderita panas dingin. Mulai dari fine dinning, nobar, bowling, dugem, sampai pijat plus-plus, siapa yang nggak mau? Apalagi kalau nggak perlu mikir koceknya. Mereka, orang-orang PR yang terlahir kece lagi ramah tamah loh jinawi itu punya budget gede untuk memanjakan wartawan demi nama baik klien di media massa.
Kemudian, penyebabnya. Apalagi kalau bukan masa lalu yang bergelimang perhatian. Just so you know, gaji wartawan sebulan cuma bisa buat beli selembar Burberry Charcoal Check Card Case. Itupun dengan harga diskonan Reebonz. Kalau sudah beli nggak perlu bingung bagaimana simpan duit yang rapi. Karena memang nggak bakal ada duit yang bisa disimpen di situ. Yang perlu disimpen adalah kartu nama narasumber, punggawa marcom, dan tentu saja malaikat-malaikat PR tadi.
Penyebab post-jurno syndrome yang lain adalah akses tanpa batas di masa lalu. Telepon menteri tengah malem, dinner bareng legenda dunia, hangover di apartemen top model, kongkow di komunitas eksekutif, segalanya sah dan rutin.
Untuk kasusku, penyebab utama post-journo syndrome adalah dandy gondrong Riza Delano. Dia ‘hanya’ narasumberku, bukan pacarku. Pacarku namanya Andri. Andri D. Cakradhara. Sialnya, Andri hanya pacar maya. Ia masih mengejar gelar MBA di Birmingham. Lebih sial lagi, Riza lebih keren dari Andri. Dan dia nyata. Aku punya tujuh kartu nama Riza. Senior Vice President PT Raja Media Nusantara Tbk., CEO RMN TV Home Shopping, CMO Kenzo-RMN Online Store, Executive Producer Werkudara-RMN Project, Ketua Himpunan Alumni Prancis Indonesia, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Media. Satu lagi. Anggota klub DCI. Terpujilah wahai Lamborghini Aventador J peliharaannya. Itu belum termasuk kenyataan bahwa bokapnya, Leo Delano adalah presiden komisaris holding mall-mall urat glamor di Jakarta dan Singapura.
Pertama ketemu Riza, aku masih bisa congkak tingkat dewa-dewi. Seperti narasumber lain, Riza menyambutku hangat. Dari minibar di ruangannya, Riza menyeduh Earl Gray Tea. Ya, dia melakukannya sendiri. Sekarang aku percaya kata nenek. Orang yang bisa menguapkan kehangatan teh buatannya ke orang lain, pastilah ia pribadi yang mengagumkan. Riza memang mengagumkan. Terlalu mengagumkan. Sayang, akal sehatku lagi aktif-aktifnya. Aku cuma wartawati majalah Preneur. Sedangkan Riza adalah pendatang baru jagat bisnis. Dia sedang gencar membangun reputasi. Otomatis dia butuh publikasi. Sial.
Di sela-sela wawancara aku sempat berkhayal. Andai dia hanya seorang Riza tanpa kutukan tajir dan tampan. Tanpa gelar lulusan terbaik International Finance di American University of Paris. Menghabiskan masa remaja di SMA Pagi Jakarta, bukan Collège du Léman. Aku mungkin akan lebih congkak dan ekstra optimis bergumam, “One day, you’ll be my man.”
Wangi bergamot orange dari cangkir Earl Gray Tea membuyarkan lamunan. Berganti bayang-bayang tropi Best CEO of The Year versi majalah Preneur yang terpantul di senyum karismatiknya. Dia bukan satu-satunya. Empat dari lima pelaku bisnis tanah air begitu menggilai penghargaan bergengsi majalah Preneur. Bagaimana tidak. Satu tropi saja bisa melambungkan reputasi bisnis, sekaligus mendongkrak penjualan brand yang ditanganinya.
Barangkali post-journo syndrome ini nggak akan menyiksaku andai malam itu aku tak menyusup di Jazzy Lounge. Sebagai penggemar ekstrim Incognito yang low profile dan low budget, kesempatan menikmati penampilan mereka secara langsung tentu haram dilewatkan. Sayang, majalahku majalah bisnis. Bukan majalah entertainment atau lifestyle yang kartu persnya bisa jadi freepass masuk lounge.
Beruntung aku mengenal Seb. Ia teman main Andri yang sedang melancong di Indonesia. Aku rasa Seb terlahir tanpa urat malu dan enzim kreatif dalam dosis ekstra. Ia selalu punya cara untuk bersenang-senang tanpa keluar duit banyak.
Modal tampang bule dan passpor UK, body-guard di backstage percaya Seb adalah sepupu Mo Brandis. Parahnya, Seb juga sempat berbisik ke mas-mas berbadan gorila itu, Mo Brandis pernah punya affair sama artis Indonesia. Dan artis itu adalah kakakku. Cukup hina sih melacurkan nama baik di hadapan body-guard. Tapi demi Incognito, aku ikhlas. Toh pada akhirnya terbayar juga. Kami berada tujuh meter dari Incognito. Menghirup udara yang sama. Di bawah atap yang sama. Aaaah... Ini prestasi!
Masalah muncul ketika Seb lelah berdiri menari-nari. Irama acid jazz Incognito pun melambat. Enzim gila Seb mengirim ide bergabung dengan beberapa pria eksklusif di lounge paling depan. Kata Seb, mereka dikenal loyal, suka traktir rekan semeja. Jadilah kemudian Seb nyamperin seorang pria berkemeja biru. Di antara mereka, ia tampak paling supel.
Seb hanya butuh kurang dari delapan puluh detik sebelum akhirnya aku pun turut bergabung. Entah apa yang Seb katakan pada pria-pria itu. Semoga bukan lagi kibulan bab ‘kakak’ ku.
“This is Tika, my partner in crime,”
Seorang pria berkemeja biru mengulurkan tangannya, “Dani.” Dengan ekspresi teramah, ku jabat tangannya. Pun dengan yang lain, Great! Ini langkah awal yang cerdas. Menurut ensiklopedi witty attitude Sebastian Shead, kalau kita lupa nama seseorang, kenalkan dia ke orang lain. Orang itu otomatis menyebutkan namanya. Trik ini berlaku juga untuk aksi SKSD seperti ini.
“Dani, is this seat taken?” tanyaku merujuk satu ottoman di sampingnya.
“Yes, sorry. Dia lagi ke belakang.”
Dani memanggil seorang waitress, “Mas, minta satu ottoman di sini ya. Thank you.”
Mataku mengekor ke mana waitress itu pergi. Tapi, ups! Perhatianku teralihkan langkah tegas laki-laki yang berpapasan dengan waitress tadi. Ia berjalan ke arahku. Di remang-remang Jazzy Lounge, jeans dibelit gesper mekanik Roland Iten tentu tak bisa diabaikan. Dewa dandy itu semakin dekat, dekat, dan dekat. Aku panas dingin. Jantungku berdegup menandingi irama perkusi. Ya Tuhan! The man was almost perfect, even with an unbranded casual grayish blazer. Gamblang kini penampakan rambutnya panjang sebahu. Gondrong. Wait! Dandy gondrong? Dengan dua kancing terbuka? Nggak mungkin Richard Branson kan? Atau versi mudanya? Riza?! Apa yang harus ku perbuat? Kalau aku ini kecoa, pasti sudah terkapar pura-pura mati sebelum ditemukan Riza. Mati terhormat, diiringi acid jazz.
Searching
What you cannot find if you ain't got the feeling
Sailing through this life always pretending
Living a lie won't even get you by..
Sejak saat itu, aku seperti dikutuk menguntit Riza. Penugasan seputar gaya kepemimpinan, perkembangan bisnis, hingga hobinya selalu jatuh padaku. Bagusnya, aku punya akses langsung ke Riza. Dari percakapan di Whatsapp dan Viber, satu headline pun jadi: Wawancara Eksklusif dengan Riza Delano: Ceraikan Kenzo, RMN Incar E-commerce Taiwan.
Berita itu melambungkan kembali nilai saham RMN Group setelah jatuh terseok-seok ditinggal pemain asing hampir dua pekan. Aku dan Riza pun semakin dekat. Kami bisa ngobrol enak tentang jazz, romantisme Prancis, atau hati angsa yang mahalnya nggak kena logika. Tak jarang dia mengajakku makan malam di rooftop apartemennya. Hampir tiap akhir pekan pun kami selalu punya waktu bertemu di Jazzy Lounge.
Semoga Andri tidak menganggapku sedang selingkuh. Toh setelah aku berhenti bekerja di media, Riza juga hilang tanpa kabar. Dia sudah populer sekarang. Aku tak lagi dibutuhkan. Menyedihkan. Bagaimana nggak kena post-journo syndrome kalau begini ceritanya?
Ya sudahlah. Aku masih punya Andri. Walaupun aku baru mengenalnya dua tahun lalu di jejaring sosial Livemocha, aku sangat percaya padanya. Termasuk janji Andri akan datang hari ini. Sudah satu jam aku menantinya di restoran cepat saji terminal 2D Bandara Soeakarno Hatta. Andri, aku janji akan ceritakan padamu semua kisahku dengan Riza. Seperti katamu, tak ada rahasia antara kita.
“Tebak siapa hayo?” suara bariton yang dilengkingkan tiba-tiba terdengar bersamaan tangan yang menutup dua mataku dari belakang.
“Andri..!!” tanganku menarik paksa dua tangan asing itu. Tebakanku benar. Andri tidak lagi maya. Andri bukan lagi nickname belaka. Dia kini ada di hadapanku. Aku bangkit dan memeluknya erat. Andri membalas dekapanku, hangat.
“Maaf membuatmu menunggu lama.”
“No worries. Aku pikir kamu lupa jalan ke exit gate,” candaku.
“Hampir. Untung tangan kakakku lumayan panjang. Dia melambai ke arahku dari exit gate.”
“Kakakmu?”
“Sorry dear, aku belum sempat cerita ke kamu ya? Nanti aku kenalin deh. Dia masih terima telepon, nggak tahu di mana. Tapi nanti pasti kemari.”
Kami baru saja duduk ketika yang dimaksud datang. “Tika, ini kakakku. Mas Riza, ini cewek gue yang sering gue ceritain di Skype.”
Kecoa mana, kecoa?
(Bersambung)