Konon, nilai tulisan NH Dini saat ini sudah menembus angka puluhan tua juta rupiah, untuk satu buah karya. Jika toh beliau sekarang di panti wreda, itupun bukan karena "dititipkan" keluarga. Beliau sendiri yang menitipkan dirinya ke panti. Nyatanya, dari sisi keuangan dia cukup mandiri. Masih sering mengisi seminar kebudayaan, bolak-balik Banyumanik (panti Reda) - Jakarta.
Sebulan yang lalu, saya sodorkan naskah novel saya, "Badai Gersang Jiwa", ke teman di Jawa Tengah yang memiliki posisi cukup bagus di sebuah penerbitan. Tidak lama kemudian saya di telepon, terjadilah diskusi singkat.
"Cak, naskahnya boleh juga, masuk ini kira-kira".
Berita yang cukup menggembirakan bagi saya yang masih "ndeso" dari segi literasi ini.
"Minta berapa, Cak...?", tanya teman di seberang telepon. Ngga terlalu kaget dengan gaya ceplas-ceplosnya, apalagi yang berkaitan dengan hal sensitif semacam nilai nominal sebuah karya.
Yah mungkin karena sebegitu dekatnya dia dengan saya. Maka saya jawab sekenanya juga, "Yo wis, berapa gitu, Om...?.
"xxxx... rupiah yo...", jawabnya, ada selingan tawa dibelanya.
"Yaaa, tambahi sedikit lah", balasku ringan juga.
"Tambahi berapa...?", kejarnya.
"Ya, satu digit di bawah NH Dini lah...", ucapanku rada serius.
Terdengar tawa ngakak di selulerku. Heeemmm, pasti lucu jawaban saya tadi, begitu pikir saya.
"Hallo...", suara tawa hilang, berganti sapa akrab.
"Piye...", sapa balikku.
"NH Dini itu sudah menulis seukuran usia kita, Brooo...!".
Aku tutup diskusi singkat itu, ngeloyor ke kelas, karena ditunggu murid-murid saya yang baik-baik.
"Ealaah, lha wong masih hijau kok ya diskusi tentang harga sebuah tulisan. Mbok ya pokoknya nulis. Syukuri saja meski cuma segitu", gertak batin saya.
.... semoga bermanfaat. Aamiin.
Kertonegoro, 21 Januari 2016
Salam,
Ilustrasi : arsip pribadi