Loh! Iya, dulu-dulu biasanya kan setengah tiang?! Bisik hati saya. "Apa nggak ada instruksi dari atas, Pak...?" Saya balik tanya. Dia juga bingung, tidak menjawab.
Saya juga sudah lupa, apa memang kalo 30 September 2015 harus setengah tiang?
Yang saya tahu, saya sepakat dengan pak Fahmi Idris di ILC tadi malam, jika 50 tahun lalu, di tanggal hari ini, ada gerakan ilegal untuk mengubah Dasar Negara, Pancasila. Gerakan yang mengakibatkan jatuhnya korban.
Maka saya termasuk yang sepakat jika hari ini bendera merah putih seharusnya berkibar setengah tiang. Bukan untuk mengobarkan nuansa kebencian kembali seperti masa peristiwa itu, tetapi sebagai pengingat jika di hari ini, 50 tahun lalu, ada upaya untuk mengganti Pancasila. Anak-anak kita harus tahu itu, jangan pernah boleh Falsafah bangsa ini diganti.
Yah...
Sekitar tiga tahun ini (sebatas amatan kecil saya) saya lebih mengkhawatirkan "kondisi" Falsafah" bangsa ini. Polarisasi wacana, pemaksaan kehendak, termasuk sedikit-sedikit lapor ke pihak luar, dan gencarnya dekadensi moral seharusnya menjadi indikasi kuat adanya usaha "pembusukan" atas Dasar Negara kita itu. Yah...
Kita kibarkan kedukaan dan empati atas petistiwa revolusi ini. Tetapi kita juga harus menguatkan niat jika Pancasila harus tetap kukuh di bumi Pertiwi. Harus, jika tidak ingin bersitegang lagi siapa korban, siapa dalang, siapa yang harus minta maaf!
Menutup apa yang terjadi atas peristiwa G30S/PKI memang sebuah lompatan hati untuk membuka lembaran sejarah baru. Menjadi semangat adanya kehidupan berbangsa yang lebih lapang dan berhikmah.
Tetapi, menghimbau agar mengibarkan bendera setengah tiang seharusnya tetap diteruskan, oleh negara.
Kertonegoro, 30 September 2015
Salam,
Akhmad Fauzi
Ilustrasi : vizology.blogspot.com