Kaki mungil itu terseok membaca takdir
Setelah semalaman memimpikan harapan
Anak kita yang dilahirkan di bawah prasasti cinta
Yang ditimag-timang dalam dekapan maha sutera
Dalam kelembutan desah kasih bunga syurga
Terhembus bisikan, "Engkau adalah permata"
Tapi kini tergolek lemah dipembaringan belantara angkara
Karena berebut sangka tak peduli lagi jerit tangis bibir mungil bunga rumah tangga
Terhembas logika akan makna bahtera
Lupa jika senyum orang tua berjuta rasa
Tangan lentik itu patah!
Tak lagi mampu menopang derajat cita-cita
Yang didambakan saat janin tersulam ruh dan raga
Wajah itu memar lebam!
Ditengah kekehan tawa manusia-manusia
dihiruk-pikuknya ambisi dunia
diliarnya tudingan-tudingan tak bercelah
Kini anak itu lumpuh!
Mengharap sisa-sisa belas kasih yang mau
Sementara deretan kepedulian semakin menjauh
Tak terjangkau lagi oleh teriakan yang berpeluh
Mata juling itu tak lagi menggambarkan apa-apa
Hanyalah seonggok darah untuk ditelan mentah-mentah
ditendang-tendang, dibakar musnah nyali manusianya
Anak manusia, anak kita
Rumah mereka telah berujud neraka
Tak ada lagi kasih sayang, apalagi cinta
Hilang segala dendang nyanyian-nyanyian berkah
Ini anak kita, yang diasuh makhluk jalang!
Terasah oleh kebobrokan nafsu binatang!
Borok luka-luka yang tidak pernah hilang!
Seakan menjadi santapan peradaban yang tidak pernah kenyang!
Ini anak kita
Anak-anak yang seharusnya bermain di taman nirwana
Nyata dunia lengkap dengan derai tawa
Berliurkan sahaja, berlepotan cipta karsa
Lucunya, ketika kentut beraroma bunga
Gemasnya, ketika tangis adalah kerinduan
Nelangsanya, ketika gigi susu menetes darah
Takutnya, ketika senja menjadi isyarat dimulainya
Dengkuran mimpi lelapnya
Ini anak kita
Yang esok hari berharap menjelma manusia perkasa
Tapi!