Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Pacaran? Kenapa Tidak?

28 Juli 2014   07:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:00 144 0
[caption id="" align="aligncenter" width="477" caption="Family"][/caption] Pertanyaan yang kerap muncul ketika bersua teman-teman lama adalah tentang pacar. “Gimana kabarnya sama pacar?”, “Masih langgeng ya”, “Wah kapan putus??”, “Ciee pacar baru” atau “Ciee belum move on”. Sekarang persinggungan semacam itu ternyata membuat saya agak risih. Bukan karena memang saya tidak punya pacar, atau baru putus apalagi belum move on. Kerisihan itu saya sadari ketika sedang merasakan dan sudah melakukan move on yang sesungguhnya. Jujur, saya memang pernah merasakan yang namanya pacaran, entah bisa dibilang hanya cinta monyet atau semacamnya. Tapi saya rasakan itu adalah salah satu hal terburuk yang pernah saya pikirkan. Bukan berarti disaat masa itu saya selalu dipihak yang tersakiti. Justru terkadang saya yang mengakhirinya dengan tamparan atau tangisnya dia (hehehe). Sejujurnya masa-masa itu adalah saya mengenali kelabilan seorang remaja yang sok membahas cinta-cintaan. Ternyata saya sok dewasa dan sok tahu-menahu tentang pacaran. Saya sadar bahwasanya seusia SMP-SMA adalah bukan jamannya untuk mengenal apalagi memikirkan hal tersebut. Ketika orang tua yang selalu mengilu-ilukan tentang larangan mengenal lawan jenis, dulu selalu terabaikan. Tiada sambutan bagi teman-teman laki-laki yang bertamu sendirian ke rumah. Hal itu selalu menjadi tanda bahwa mereka memang belum memberi ijin untuk saya memijak lebih jauh untuk ke-sok-tau-an tentang pacaran. Dan hingga saat menjadi seorang rantau untuk mencari ilmu barulah timbul butir-butir kesadaran itu. Ketidaksengajaan membeli sebuah motivation book-nya Ibrahim Elfiky, saya baca hampir mendekati akhir halaman. Yang pasti buku tersebut bukan membahas mengenai pacaran, secara pastinya dari sana saya kemudian memutar otak dan mengubah skala prioritas saya, ya tentang hidup saya. Bagaimana menghargai setiap hari demi hari saya yang dulu terkadang habis untuk marahan, menangisi kekecewaan, menyesali prasangka-prasangka yang sebenarnya saya sendiri yang terkurung dalam pikiran negatif saya sendiri. Betapa terbuangnya dengan sia waktu saya dimasa-masa itu. Dan keadaan yang stagnan dan jarang sekali akan perubahan. Kabarnya lebih dari sekadar menguras emosi, tetapi juga ’membuang’ materi. Betapa tidak? Disaat pisah butuh pulsa untuk keep contact. Pas ketemu, pergi keluar uang. Ya itu baru inti, belum sibuknya kejutan ulang taun atau perayaan lainnya. It’s fact! Pertanyaan yang sering ajukan pada diri dan hati saya sendiri adalah “Memangnya dia siapa? Jodohmu?”, “Sudah seyakin itu? Siapa yang menjamin?”. “Orang tua yang jelas ada pertalian darahnya denganmu saja masih sering terabaikan dari perhatianmu”. Pertanyaan-pertanyaan itu yang sebenarnya menahan saya. Yang saya sadari setelahnya, masa-masa kelam itu membuat saya terlena dan hampir mengesampingkan orang-orang terhebat dibalik keberadaan saya sekarang, yaitu orang tua. Rasa menyalahkan diri sendiri tak pernah habis, waktu dan tenaga yang harusnya dibagi dengan mereka malah sia pada orang dan hal lainnya. Kerja keras mereka untuk menafkahi saya dan kedua adik tersayang saya bukanlah tanpa tujuan. Salah satu hal yang paling sering diingatkan dipembicaraan via telepon dengan orang tua adalah “Bapak cari uang buat mbak Tia biar bisa sekolah. Entah kamu mau jadi apa, cita-citamu apa, gak akan dilarang, asalkan untuk kebaikanmu bapak rela kerja keras”. Kalau alarm dari ibu, “Jodoh itu sudah diatur. Percayalah, nanti ada waktunya, sekarang niatnya buat sekolah dulu, tirakat dan jaga diri disana”. Kalimat-kalimat yang dulu terenyah dari telingaku sekarang menjadi spirit of life. It’s magic! Semenjak kesadaran-kesadaran lainnya muncul setiap perkataan mereka adalah obat mujarab setiap langkah saya. Daftar 100 mimpi saya yang saya tulis dua taun belakangan (sebut saja “100 Trȁume”) kini sudah terwujud satu-persatu dengan ritme yang semakin cepat. Misalnya saja yang biasanya satu bulan hanya memenuhi satu mimpi saya, sekarang bisa jadi 2-4 mimpi saya terealisasikan, atau bahkan lebih. Setiap mencoret poin demi poin di daftar “100 Trȁume” itu leganya luar biasa. Once again, it’s magic! Setiap hari saya selalu menanti sarapan semangat kata-kata ajaib mereka. Seakan segalanya selalu mudah meski raga mereka tak membersamai ketika menjadi anak rantau. Beberapa waktu kemudian saya menemukan sebuah postingan oleh Mario Teguh, begini bunyinya “Banyak anak muda merasa dunia berakhir saat patah hati, padahal jodoh terbaiknya sudah disiapkan baginya di masa depan. Maka biarkan waktu mengobati lukamu, lebih mesralah dalam kasihmu kepada orang tua, berfokuslah untuk lulus dari studimu dengan baik, dan siapkanlah dirimu bagi karir yang cemerlang........Sudah, bangkitlah, angkat wajahmu, gagahkan dirimu, lakukanlah sesuatu yang membahagiakan ibu dan ayah. Lalu dari situ, semoga jalan naik kehidupanmu dilancarkan dengan kecepatan yang indah”. Benar. Sangat benar. Karena telah membuktikannya sendiri. Tiada luput untuk terus bersyukur atas nikmat ini. Bisa jadi ini adalah hidayah. Adalah terus perbaiki niat dan diri. Berproses untuk lebih baik. Berlomba berbuat baik. Setiap hari dan terus-menerus. Sedang orang tua adalah pelengkap indahnya perjalanan hidup kita. Hubungan darah tiada pernah putus, pengorbanan mereka bukan saja jiwa dan raga, tapi sepanjang hidupnya, setiap doanya terselip nama anak-anak kebanggaan mereka, setiap katanya adalah obat pendamai jiwa, kebersamaan dengan mereka adalah nikmat yang tiada kira. Segalanya tiada tanding baginya, kebahagiaan mereka adalah yang sebetulnya kita perjuangkan. Bukan pacar, calon pacar, gebetan, bribikan, kecuali jodoh yang sudah digariskan. Jadi masih terpikir pacaran? kenapa tidak? Kenapa tidak ditunda? Kenapa tidak diurungkan niatnya? Kenapa tidak dibatalkan? Kenapa tidak usah pacaran saja? :’) -Edisi Ramadhan menjelang Syawal-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun