Tepat dua bulan sebelum hari ulang tahunnya, Nena kehilangan sang Ayah, yang telah lebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Sang Ibu masih belum bisa menerima kepergian Ayahnya, melihat kedua adik Nena masih berusia satu tahun setengah dan tiga tahun, serta kakak Nena yang berusia sebelas tahun. Bisa kita bayangkan setapa sulitnya posisi sang Ibu yang harus sekaligus menjadi sosok Ayah yang mencari nafkah untuk kelangsungan hidup mereka. Â Pagi hari Ibu berjualan nasi, dan siang harinya Ibu harus mendatangi rumah tetangga yang menerima Ibu sebagai buruh cuci dan gosok. Nena pun ikut membantu Ibu menjualkan nasi disekolahnya, dan sepulang sekolah Nena menjaga kedua adiknya.
Beranjak dewasa, Nena yang berusia lima belas tahun sedikit banyak sudah bisa menghasilkan uang sendiri dari keterampilannya membuat dompet dari benang wol. Pada usia enam belas tahun, kakak Nena harus putus sekolah karena biaya sekolah saat itu baru melonjak naik. Dan saat itu hanya Nena dan adik laki-lakinya yang bersekolah. Karena pendidikan kakak yang kurang, sang kakak pun tidak dapat bekerja dengan posisi enak, sebagai tukang antar aqua galon saat itu pekerjaan yang bisa didapatnya.
Ketrbatasan kakaknya tidak membuat Nena menyerah, bahkan Nena berhasil menunjukkan bahwa setelah lulus sekolah Nena bisa mendapatkan pekejaan yang baik, dan Nena dapat membantu keuangan keluarganya saat itu. Kini Nena pun dapat meneruskan cita-citanya untuk kuliah di salah satu universitas favoritnya dari hasil tes beasiswa yang diikutinya. Tidak hanya itu, Nena juga berhasil membantu Ibunya untuk menyekolahkan kedua adiknya hingga lulus Sekolah Menengah Atas.