Malam itu habis magrib, aku duduk di teras rumah sambil menikmati sisa senja, menikmati sulutan asap rokok dan tentu dengan segelas kopi. Bdikar anak tertuaku datang lalu duduk disampingku. “Sebei” ini untuk sebutan Neneknya, itu ibuku. “Kenapa Sebei tidak pernah marah, Pak?” tanyanya tiba-tiba. Aku tentu harus hati-hati menjawabnya pertanyaannya. Karena berurusan dengan ibuku, orang yang paling aku cintai sekaligus aku hormati. “Sebeimu seinggatku memang tidak pernah marah, tapi kalau Bapak buat salah sedikit saja, duduk dekat dia saja seperti kambing ketemu harimau, berat sekali kaki bapak untuk lari menjauh dari dia, meskipun tidak ada omelan yang keluar dari mulut tipisnya.” Jawabku seadanya
“Nak, dulu ketika masih kecil bapak pernah buat tiga kesalahan dalam waktu yang hampir bersamaan, dia tidak marah Cuma tersenyum saja, dan sedikit kasih nasehat, setelah itu air mata bapak bercucuran” ceritaku.