Malam Senen, belum begitu malam sebenarnya, jam dinding yang aku belikan di pasar malam itu menunjukan jam 22.28. terdengar ada suara ketukan di jendela yang kacanya sudah retak, tak ada siapa-siapa daun jendela tiba-tiba terbuka, di belakangnya sosok buruk rupa dengan suara serak dan bernada resah menyapa, lalu dia menyebutkan namaku, Denawa..!
Kuberanikan diri buka pintu kayu jendela, lalu sosok buruk rupa menghilang dan hanya meninggalkan bayang-bayang hitam, dan sayup-sayup terdengar nama, Dewa...! Ada arak-arakan pelan di beranda nyalangku, kutatap, lalu senyap ada barisan nisan pusara jiwa di luar jendela. Komat-kamit mulutku dan kusapa embun pada kelopak mawar dengan senyuman, tetapi embun begitu culas padaku seakan mau memberiku badai bak akan mengguncangkan jiwa.
“Denawa” suara itu lantang datang dari pintu rumahku disertai dengan ketukan beberapa kali, suara perempuan yang selalu hadir dalam thalamus, ruang otak tempat sensor data dan sinyal-sinyal motorik, itu suara Dewa. Dia, perempuan yang aku kenal beberapa tahun lalu, aku ingat betul ketika dia dengan teman-temannya menyiapkan keranda jenasah untuk aksi, aksi pembelaan pedagang kecil yang akan digusur ruang hidupnya. Setelah itu lama Dewa menghilang, tentu aku mulai melupakan Dewa. Setelah itu aku tahu, Dewa menghilang karena kecelakaan, setenggah tulang yag ada di badannya remuk.
Pagi itu, dengan di boncengi ibunya, Dewa muncul dikantorku. Tidak ada yang berubah, dia berdiri tegak tetapi di tompang dua tongkat ditubuhnya, matanya tetap tajam, cantik dan aku tahu dia semakin pintar saja. Mata kami saling berpandangan. Lalu, kami bercerita banyak tentang beberapa rencana aktivitas sosial yang menjadi ambisinya, setelah itu dia selalu datang dan tak kami sia-siakan waktu bersama. Kami banyak cerita, cerita tentang perempuan, tentang desa, tentang batu, tentang novel 1001, tetapi ada getar ketika mata kami bertatapan.