Langit baru saja selesai dengan tangisnya. Menyisakan bumi yang membasah karena ulahnya. Juga sapaan angin yang sedikit banyak membuat kulit yang tersapa langsung merasakan kedinginan. Awan hitam saja sebenarnya masih menggumpal di atas sana. Ia belum benar-benar pergi.
Namun rasanya, dingin di luar tak ada bandingannya daripada dingin yang ada di dalam ruangan bernuansa putih ini. Dimana hanya ada suara dari mesin EKG.
Perlahan tangan pucat itu bergerak, sangat pelan. Diikuti oleh mata yang mulai terbuka. Gadis berambut sebahu itu terbangun seraya terus mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum ini begitu menyadari jika saat ini, ia tengah berada di sebuah rumah sakit. Dengan selang oksigen terpasang sempurna di hidungnya.
Beberapa detik bahkan menit berlalu, ia tersadar dan ingat. Sebuah truk besar menghantam tubuhnya dan juga tubuh gadis lain beberapa hari yang lalu.
Tak lama pintu terbuka, menampakkan seorang suster berpakaian serba putih yang tengah membawa catatan. Mungkin hendak memeriksa keadaannya.
"Oh, Nyonya Selvia sudah sadar ternyata. Ini kabar baik, saya akan panggilkan dokter dan juga keluarga Nyonya," ucap suster itu lalu terburu melangkah keluar untuk melakukan tujuannya.
Namun gadis yang masih terbaring lemah itu mengerutkan keningnya. Aneh, rasanya ia mendengar sesuatu yang mengganjal. Namun berusaha saja ia abaikan.
Tak berapa lama seorang dokter datang, diikuti seorang pria berjas hitam dan wanita di sampingnya. Dan, Via sama sekali tidak mengenal siapa mereka.
"Siapa mereka? Apa mereka orang-orang yang nolongin aku, ya?" Via membatin. Terlalu penasaran, tapi Via tidak tahu harus menanyakan nya pada siapa.
"Pak Dion, bisa bapak ikut saya ke ruangan," ucap dokter itu setelah menempelkan stetoskop dan selesai dengan pemeriksaannya.
Lalu yang dimaksud oleh sang dokter mulai mengangguk setelah sebelumnya menghela napas.
Kini ruangan mulai kembali hening. Hanya menyisakan Via dan seorang wanita yang baru saja datang tadi.
"Kamu ternyata punya nyawa banyak sekali. Kapan kamu mati, Via?" Tanya wanita itu membuat Via mengernyitkan keningnya. Ia bahkan tak mengenal siapa wanita di sampingnya ini. Via sama sekali tidak tahu.
"Anda siapa? Kenapa berbicara seperti itu?"
Terdengar tawa mulai menggema. Membuat Via semakin menatap heran.
"Via, Via. Seharusnya setelah kejadian itu kamu tidak ada di dunia lagi," ucapnya membuat bulu kuduk Via merinding entah kenapa.
Lalu dirasakan rambutnya ditarik begitu kuat. Membuat pusing di kepala nya yang semula hilang datang kembali begitu cepat. Via memegang tangan yang menarik rambutnya itu dengan erat. Berusaha melepaskan nya, tapi Via tidak begitu kuat. Ia masih lemah.
"A- Anda ini siapa? Berani se- kali menarik rambut saya," ucap Via terbata. Ini benar-benar begitu menyakitkan, sungguh.
"Kamu amnesia atau sedang melakukan drama?" Tanya wanita itu dengan sedikit memajukan wajahnya pada wajah Via.
Napas Via tak beraturan. Ia mencoba untuk tidak merasakan sakitnya, namun tetap tidak bisa. Kepala nya semakin pusing. Dan untung saja, beberapa saat kemudian wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu menurunkan tangannya.
"Via, asal kamu tau. Ini baru permulaan. Saya tidak akan biarkan kamu yang menjadi pewaris kekayaan Ayah kamu." Wanita itu tiba-tiba tersenyum, nampak terlihat begitu menyeramkan. Apalagi setelahnya ia berbisik pada Via, "Dan tentunya kamu harus mati terlebih dahulu."
Via semakin bergidik ngeri, tentu nya setelah wanita bermulut iblis itu pergi keluar dari ruangannya. Napas Via terasa sesak menahan napas kala berkali-kali mendengar kalimat dirinya harus mati.
Beberapa saat kemudian, Via mengerutkan keningnya. "Wanita tadi siapa, ya? Lagian aku kira aku udah mati karena ditabrak sama truk waktu itu," ucapnya bermonolog. Via lalu menghela napasnya dalam. "Lagian Ibu dimana, sih? Harusnya kan Ibu jagain aku di sini."
Dengan sejuta rasa penasaran dan ribuan kalimat tanya dalam benaknya, Via akhirnya memilih untuk tertidur. Hingga beberapa detik kemudian, ia pergi ke alam mimpi nya.