Frans kecil kini telah beranjak dewasa. Ia tak gentar, otaknya terus berputar, berpikir bagaimana cara nya agar tanah kelahirannya ini bisa terlepas dari cengkraman Belanda yang saat itu tengah menguasai. Agar wilayah Papua bisa tetap menjadi bagian wilayah negara Indonesia.
Raut cemas mendominasi. Ketegangan seolah tak henti membayangi hidup mereka. Namun semangat nasionalisme semakin berkobar dalam dada kala Soegoro yang mana merupakan seorang guru itu menguatkan keyakinan kepada anak didiknya bahwa Papua adalah bagian Indonesia dan selama nya akan tetap seperti itu.
Frans tentu tak bisa tinggal diam begitu saja saat tanah kelahirannya ini masih dikuasi Belanda, juga terancam terlepas dari bagian Indonesia. Bersama Soegoro, pertemuan rahasia mulai sering diadakan.
Frans yang tengah mengepalkan tangan di depan wajahnya itu menghela napas. Termenung lah yang ia lakukan. Permasalahan ini harus segera diselesaikan, pikirnya.
Lalu seakan mengerti, Silas Papare ikut mendudukkan dirinya di samping Frans. Menepuk pundak agar pemuda itu tersadar dari lamunannya.
"Ada apa, Frans? Nampaknya ada suatu hal yang mengganggu pikiranmu," tanya Silas sedikit tersenyum. Walau ia tahu dalam diri Frans ada sesuatu yang tengah gelisah. Sebenarnya, begitu juga dengan dirinya.
Menghela napas sebentar, namun terdengar sangat berat. "Aku sedang berpikir, bagaimana bisa kita berhasil untuk membuat wilayah kita ini terlepas dari Belanda yang mencengkram dengan begitu kuat? Sedangkan kita ini hanyalah orang biasa yang tak punya kuasa."
Mendengarnya, Silas terkekeh kecil. Walau begitu tetap saja, ucapan Frans menjadi ketakutan tersendiri dalam pikirannya. "Tenang saja, Frans. Kekuatan dan kekuasaan yang kita punya memang tak sebanding. Tapi kegigihan dan rencana baik yang kita punya, itulah kekuatan terbesar dalam diri kita."
"Akan tetapi, bahkan kita belum bisa membuat masyarakat Papua mau bergabung dengan kita yang akan menggagalkan pemecahan bangsa Indonesia oleh Belanda."
"Tak ada yang tak bisa jika kita punya keyakinan yang kuat, Frans. Memang sulit, namun hal baik pasti akan berjalan dengan baik." Silas meyakinkan.
Frans menoleh seraya tersenyum. Seolah hatinya baru saja mendapat sebuah dorongan. Semangat nya kembali berkobar berapi-api. Bagaimanapun Silas benar, kekuatan terbaik adalah sesuatu yang kita mulai dengan tekad baik pula.
"Malam ini, mari kita adakan pertemuan rahasia. Harus dengan secepatnya kita terlepas dari kekuasaan Belanda yang hendak memecah bangsa Indonesia," ucap Frans kemudian seraya merangkul Silas.
***
Cahaya mentari sudah tak nampak sejak beberapa waktu yang lalu. Waktu malam dimana langit terdapat bulan kini yang nampak. Seperti apa yang diperbincangkan tadi sore kala Frans dan Silas berbincang di teras depan rumah. Kini keduanya, juga beberapa lainnya tengah berada dalam satu ruangan yang biasa mereka jadikan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan rahasia.
Frans melagkah maju dan meletakkan kedua tangannya ke atas meja, menyangga tubuh nya dengan kepala yang tertunduk. "Hal pertama yang harus kita lakukan adalah membuat masyarakat Papua mau ikut dengan kita. Dalam perjuangan melawan bangsa Belanda yang hendak memecah bangsa Indonesia." Frans berucap bersamaan dengan kepalanya yang terangkat.
Akan tetapi, tentu tidak akan semudah seperti mengeluarkan suara dan berteriak-teriak mengobarkan semangat. Perjuangan ini mungkin atau bahkan pasti akan menimbulkan pertumpahan darah.
Ketegangan seakan semakin terasa. Apalagi Herman Wajoi kini mengangkat tangannya, menatap Frans dengan kening mengerut begitu nampak. "Frans, sadarilah. Kita ini hanya rakyat yang lemah. Sedangkan orang-orang itu punya kuasa tinggi. Mana mungkin rencana dan perjuangan kita ini berhasil?"
Suara lantang Herman yang menyuarakan kebenaran pahit membuat Frans dan juga yang lainnya semakin merasa cemas. Takut akan kegagalan.
Kemudian Silas melangkah mendekati Frans. "Tidak ada perjuangan yang sia-sia begitu saja. Kita harus mencoba dan berusaha sekuat yang kita bisa. Apa mau jika kita masih tercengkram dibalik tangan kekuasaan Belanda?"
Herman mengatur napasnya yang tersengal. Meski begitu ucapan Silas ada benarnya. Tapi entah kenapa ia benar-benar ragu jika semua rencana dan iming-iming keberhasilan yang Frans ucapkan itu akan membuahkan hasil.
"Dasar kau! Pemikiran yang kau punya hanyalah pemikiran negatif. Justru dengan bersama-sama, kita pasti akan bisa. Walau entah apa hasilnya nanti, setidaknya kita sudah berusaha," ucap Baldus Mofu dengan mata menajam menatap Herman yang kini sedikit tertunduk.
Frans sedikit tersenyum. Kekuatan kebersamaan inilah yang dirinya butuhkan. "Herman, percayalah, saat kita bersama tidak akan ada yang bisa memecah belah kita. Apalagi sampai terlepas dari wilayah Indonesia."
Cahaya rembulan masuk lewat sela-sela jendela yang sedikit terbuka gorden nya. Pertemuan yang selalu diadakan secara diam-diam ini, mereka harapkan menjadi awal keberhasilan pemberontakan yang akan mereka lakukan nanti nya. Agar bangsa Indonesia tidak terpecah belah hanya karena taktik Belanda.
Beberapa hari kemudian setelah diumumkannya proklamasi Indonesia, Frans mengadakan upacara pengibaran bendera merah putih. Terdengarlah lagu kemerdekaan Indonesia yang begitu menggetarkan hati. Bangga juga begitu terharu kala mendengar bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka setelah sekian lama nya terjajah. Frans dan beberapa kawan nya tak henti menyunggingkan senyum. Meski memang, wilayah Papua tentu masih dibayang-bayangi Belanda yang hendak memecah belah mereka walau Indonesia sudah dinyatakan merdeka. Namun rasa nasionalisme nya yang tinggi, juga tekad yang Frans punya begitu kuat.
Tidak akan ia biarkan Belanda dengan begitu mudahnya membuat Papua mendirikan negara nya sendiri. Karena bagaimanapun, Papua adalah Indonesia dan selama nya akan tetap seperti itu.
"Merdeka seperti sebuah kata yang sebenarnya tidak untuk kita," gumam Herman menatap bendera merah putih yang tertiup angin di atas sana.
Tanpa menoleh sedikitpun, Frans membuka mulutnya. "Tak apa, Herman. Sebentar lagi, kata merdeka itu akan benar-benar terasa oleh kita, masyarakat Papua."
Herman menanggapi saja dengan helaan napas. Pada kenyataannya, ia selalu saja menunjukkan ketakutannya. Herman ini nampaknya seorang yang punya keraguan tinggi. Walau sudah beberapa kali ia mengikuti pertemuan rahasia yang selalu diadakan, tetapi seolah tak percaya jika semuanya akan berhasil, Herman selalu saja menyatakan kenyataan pahit yang sebenarnya memang begitu kenyataannya.
Tujuan Frans mengadakan upacara pengibaran bendera merah putih di sini, di Papua adalah semata-mata agar rencana pertama nya berhasil. Yaitu untuk membuat masyarakat Papua merasa bahwa mereka adalah bagian Indonesia. Dengan begitu, kekuatan kebersamaan yang dimiliki akan semakin besar. Tinggal menunggu bagaimana takdir nanti nya. Berhasil atau tidakkah, yang jelas Frans siap mati demi mempertahankan tanah kelahirannya. Demi Indonesia yang dengan begitu tanpa menyerahnya, Belanda ingin memecah belah. Karena pada hakikatnya, sampai kapanpun Papua tidak akan pernah membentuk Negara Indonesia Timur. Papua adalah bagian dari negara Indonesia.
"Pak! Pak Frans!"
Frans menoleh lalu sedikit membungkukkan badannya agar sama dengan tinggi anak laki-laki berusia delapan tahun ini. Ia tersenyum seraya mengangkat alis nya, seolah bertanya: "ada apa?"
"Apakah para orang berkulit putih itu tidak akan datang lagi? Mereka jahat, Bapak meninggal karena mereka," ujar nya berapi. Di mata nya seolah terdapat pancaran emosi.
Dan tentu saja Frans bisa merasakan apa yang membuat raut wajah tak berdosa itu tertekuk. Hati nya bak tertusuk sebilah pedang kala mendengar rintihan anak kecil di hadapannya ini. Kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidup kita, memang benar-benar terasa menyakitkan. Seolah luka nya tak akan pernah hilang begitu saja tertelan waktu.
Menangkup kedua pipi nya, Frans lagi-lagi tersenyum. "Tidak akan, Pak Frans pasti akan membuat mereka pergi. Maka dari itu juga, di sini-" Frans menjeda ucapannya dengan tangan yang mulai terulur menyentuh dada anak itu. "Kamu harus bisa tanamkan sesuatu yang baik. Kemerdekaan bangsa harus bisa kalian jaga. Karena kalian adalah para penerus bangsa nanti nya. Mengerti?"
Anak laki-laki yang semula terdiam itu kini mengangguk-angguk semangat. Kata-kata yang diberikan Frans sedikit banyak membuat hati kecil nya itu tergerak.
"Pak, apakah bertempur itu menyenangkan? Apakah tidak sakit saat tertembak?"
Keduanya kini mulai berjalan, dengan Frans yang menggenggam tangan dingin anak laki-laki di sampingnya ini.
Frans hanya diam dengan senyumnya yang tak luntur sedari tadi. Ia kembali menatap lurus ke depan setelah menoleh pada anak berambut gimbal ini.
***
Tepat satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia kala itu, namun nyata nya Papua belum benar-benar merdeka. Seperti kata pepatah: "mempertahankan lebih sulit ketimbang meraih". Nyata nya Belanda tak akan membiarkan hidup rakyat Indonesia tenang walau sudah merdeka. Perpecahan adalah hal yang mereka inginkan.
Tepat saat konferensi Malino diadakan, Frans Kaisiepo yang mewakili Papua, menyarankan agar nama Papua diganti menjadi Irian Barat. Yang mana memiliki arti "tempat yang panas" dalam bahasa asli nya, yaitu Biak. Hanya selang beberapa hari kemudian setelah diri nya kembali ke Biak, Frans mendirikan Partai Indonesia Merdeka.
Lagi-lagi tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Irian Barat tidak akan bergabung dengan negara Indonesia Timur yang mana merupakan rencana Belanda untuk memecah belah persatuan Indonesia.
Namun kala Silas Papare memimpin upacara pengibaran bendera merah putih untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia satu tahun kemudian, polisi Belanda yang mengetahui, langsung datang dengan menembakkan peluru ke atas untuk membuat semua peserta upacara di sana merasa takut.
JEDER
"Diam kalian semua dasar orang-orang lemah!" Teriak salah satu polisi bertubuh tinggi itu seraya dengan gerakan perlahan menodongkan senjata ke arah para peserta upacara. "Kalian itu bukan negara Indonesia dan tidak seharusnya mengadakan upacara tidak berguna seperti ini!"
Semua nya diam dengan raut khawatir begitu nampak. Begitu melihat sekeliling, banyak para polisi Belanda yang sudah siap dengan senjata di tangan mereka. Sekali saja ditarik, maka peluru akan meluncur dengan bebasnya.
Silas maju beberapa langkah, dengan wajah yang menunjukkan bahwa ia tidak takut dan merasa telah melakukan hal yang benar. "Tidak. Kami adalah Indonesia. Dan upacara ini memang harus kita lakukan setiap tahun nya saat hari kemerdekaan Indonesia."
"Dasar orang bodoh!" Pimpinan polisi Belanda itu lalu menatap beberapa anak buah di belakang nya. "Tangkap semua orang yang mengikuti dan bawa mereka semua ke penjara!" Perintahnya dengan lantang.
Dan tanpa hitungan menit, tangan Silas sudah di silangkan di belakang tubuhnya dengan satu orang polisi Belanda yang mendorong tubuhnya untuk melangkah maju secara kasar, tak ada belas kasihan. Tak ketinggalan satu orang pun, semua peserta upacara ini ditangkap dan di penjarakan.
Frans yang kebetulan saat itu tengah berada di luar kota, begitu terkejut saat mendengar kabar bahwa Silas, rekannya itu tertangkap karena telah mengadakan upacara pengibaran bendera merah putih.
Ini benar-benar membuat hati nya merasakan amarah. Namun meski begitu, ia harus sebisa mungkin menahannya. Karena sesuatu yang dilakukan dengan emosi tentu tidak akan menjadi baik. Justru jika begitu, maka bisa-bisa ia terjebak dalam emosi nya sendiri dan akan membuat suasana jauh lebih buruk.
***
Hujan yang semula hanya rintik-rintik kecil, kini berubah menjadi deras yang setiap kejatuhan nya begitu jelas terdengar di telinga. Riuh angin bak menyapa perlahan, juga sesekali berbisik halus.
Tangan Frans terangkat ke udara, bersentuhan dengan air tumpahan langit itu. Tak lama, lalu ia mendongak- menatap langit abu sore ini. Setelah diberi tahu jika dirinya ditunjuk sebagai pimpinan delegasi Nugini Belanda dalam Konferensi Meja Bundar ia benar-benar semakin dilanda kebingungan.
Nasib Irian Barat seolah ada di tangannya. Hati kecil Frans merasa bahwa Belanda tengah mencoba mendikte nya.
Besok pagi, apa yang menjadi pilihannya adalah apa yang sudah ia pikirkan matang-matang. Meski ia tahu risiko apa yang ia akan ia terima nanti nya jika ia tetap keukeuh mengatakan apa yang sudah menjadi keputusannya.
Tapi demi apapun, ia lebih baik seperti itu daripada terus-menerus berad dalam cengkraman Belanda yang kian merajalela. Ia harus siap dengan apapun nanti yang akan dihadapi nya.
Lalu tibalah esok hari, saat Frans mendatangi markas Belanda yang terlihat mencekam bahkan hanya dari luar saja. Ia memantapkan langkah dengan pandangannya yang lurus ke depan juga seperti terisi penuh dengan keteguhan.
"Jadi, bagaimana Frans?" Mr. Van Maarseveen bertanya dengan semangat kala mengetahui jika Frans datang dan nampaknya, Frans akan mengatakan keputusannya.
Frans menghela napas, lalu menatap sekeliling terlebih dahulu. Walau banyak orang-orang Belanda yang kini menatap nya tajam, ia harus tetap yakin dengan keputusannya ini.
"Tidak, saya tidak mau menjadi pimpinan. Kalian pasti berusaha mendikte saya. Dan ingat satu hal, Irian Barat, sampai kapanpun adalah Indonesia."
Sontak wajah Mr. Van memerah menahan amarah nya yang kini memuncak. Ia menggebrak meja sebelum akhirnya mendekati Frans yang melayangkan pukulan ke wajah nya dengan sebilah tongkat kayu.
"Kurang ajar kau!"
Frans yang terjatuh ke lantai, kini mendongak menatap Mr. Van dari bawah. Bisa ia lihat dan rasakan amarah dalam diri Mr. Van. Terasa begitu kentara.
"Kau sudah mempermainkan pemerintahan Belanda. Dan penolakan mu itu akan menjadi hal yang paling kau sesali nanti nya, Frans!" Ujar Mr.Van dengan napasnya yang begitu memburu.
"Tangkap dan penjarakan orang sialan ini!" Lanjut Mr. Van menatap beberapa orang di belakang nya, memberi komando.
Gerakan Frans yang hendak berdiri terlalu lambat hingga gerakan cepat yang dilakukan beberapa orang Belanda ini sudah berhasil menahan kedua lengan Frans.
Hingga beberapa tahun Frans di penjara, nasib Irian bahkan masih terombang-ambing. Entah apa dan bagaimana.
Namun keberanian Frans memang tak diragukan lagi. Ia akan melakukan apapun demi menggagalkan rencana Belanda yang selalu ingin memecah belah persatuan Indonesia. Yang selalu berusaha membuat Irian agar terlepas dan membuat negara nya sendiri.
Perjuangan Frans Kaisiepo, tentu nya tidak berakhir sampai di situ. Tidak, tentu tidak karena dalam diri Frans sudah tertanam rasa nasionalisme yang tinggi. Jiwa pejuang dalam diri nya, juga usaha nya seumur hidup dalam mempersatukan Indonesia, membawa ia di anugerahi gelar sebagai pahlawan integrasi bangsa.Kala itu tahun 1921 di Pulau Biak, seorang yang nanti nya menjadi pejuang pemersatu bangsa lahir. Seorang politikus Papua, yang juga merupakan seorang nasionalis bangsa, Frans Kaisiepo. Kegigihannya mempertahankan Irian Barat yang mana sebelum nya bernama Papua, agar bisa tetap menjadi wilayah Indonesia begitu sungguh-sungguh.