Pesta demokrasio tersebut, tercatat dalam kenangan rakyat Indonesia sebagai Pemilu yang paling demokratis. Saat itu terdapat lima partai besar yang ikut berlaga dalam pesta demokrasi, yakni Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Jika dilihat dari partai-partai peserta pemilu waktu itu, saya jadi bertanya-tanya, apakah saat itu sistem politik sudah marak politik sektarian? Mungkin iya dan mungkin saja tidak. Penting tidak penting membahas hal ini karena sering memicu masalah besar ketika mulai mengganggu sistem demokrasi juga memicu konflik dan menggangu ketenteraman masyarakat umum.
Politik sektarian itu sendiri merupakan situasi politik dimana partai politik dikelilingi oleh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Bisa dikatakan organisasi-organisasi tersebut menjadi motor penggerak bagi partai.
Dewasa ini partai politik sangat bergantung pada organisasi massa demi mendulang suara dengan mudah. Sebaliknya organisasi massa pula memerlukan kiprah elit politik dari partai yang didukung untuk eksistensi organisasi. Hukum saling menguntungkan terlihat jelas dalam situasi politik sektarian.
Yang menjadi masalah adalah bahwa sering kali elit organisasi massa yang mengelilingi partai politik tertentu mendominasi dan ikut campur dalam kebijakan partai. Contohnya tak sedikit pembagian jabatan yang dicampuri oleh organisasi massa tertentu karena merasa telah berjasa mengantar para elit politik ke kursi kekuasaan.
Namun demikian, sisi baik dari politik sektarian adalah ketika adanya sikap saling menguntungkan antara partai politik dan organisasi massa. Ada juga kekhawatiran timbul manakala organisasi menyetir elit politik dan memicu konflik dalam birokrasi yang mengancam kestabilan roda pemerintahan menuju good governance.[]