Sekali peristiwa ketika nenek dan kakek, bapak dan mama dari suami mamaku dari kampung hendak bertandang ke rumah kami, pagi sebelum tibanya mereka, mama mengajakku ke pasar harian yang biasanya beroprasi setiap hari kamis. Entah untuk apa ke pasar, tetapi yang pasti bahwa mama pasti akan memberi uang kepada penjual dan penjual memberi apapun yang mama mau yang kemudian saya mengetahui aktifitas itu namanya berbelanja. Mama belanja.  Letaknya tak jauh-jauh amat. Hanya di sebelah kampung. Mama menggandeng tanganku, menarikku dan aku mengekorinya dan kami pun pergi. Kami jalan kaki karena uang tidak cukup untuk belanja barang keperluan rumah, jika harus ditambah ongkos PP. Saat itu saya masih kecil. Usiaku sekitar tujuh tahun, di mana di usia itu menjadi suatu ritual bagiku karena aku selalu berhasil membuat celana sobek di pantat dan buku tulis kusut dengan kulitnya rutin hilang karena aku sering menggunakannya, untuk mencederai belalang setiap siang di halaman sekolah hanya untuk menjawab ambisi bocahku dan sering lupa sendal jepit sehabis bermain. Ketololan itu adalah identitas lain dari diriku ketika itu. Aku banyak ingus, rambutku keriting, kulitku berlepotan daki dan wajahku menyedihkan. Sangat jelek. Memang begitulah aku karena aku memang anak kampung yang juga puji Tuhan  sangat kampungan pula. Sekitar beberapa jam yang lalu, hujan menggauli bumi sehingga lubang-lubang sepanjang jalanan digenangi air berwarna menyedihkan. Kabut tipis masih berseliweran di antara pepohonan mahoni di sisi jalan dan rinai hujan masih bergelantungan di dedaunan pepohonan sepanjang kampung. Walau begitu aku tetap antusias mengekori mama, menabrak lumpur dengan semangat bak Sangkuriang.
KEMBALI KE ARTIKEL