Sudah sekian lama dunia pendidikan mengamini betapa menentukannya peran intelegensi terhadap keberhasilan seseorang dalam belajar. Semakin tinggi tingkat IQ seseorang, semakin besar tingkat keberhasilan yang dimiliki orang tersebut ketika belajar sesuatu. Sebaliknya, semakin rendah tingkat IQ seseorang biasanya berbanding lurus dengan kegagalan belajar yang bakal dialaminya di kemudian hari.
Implikasi pandangan tersebut sangat “terasa” di sekolah. Sekolah-sekolah bermutu atau favorit biasanya “dihuni” oleh kelompok anak-anak ber-IQ tinggi (superior).Sebaliknya, situasi berbeda dialami sekolah “menengah ke bawah” yang sebagian siswanya adalah mereka yang berasal dari kelompok siswa ber-IQ menengah ke bawah.
Dua pandangan tentang IQ
Pandangan dikotomis peran IQ semacam itu dipengaruhi oleh keyakinan bahwa intelegensia atau kecerdasaan seseorang bersifat tetap (fixed) pada satu sisi, sementara sisi lain melihat kecerdasan sifatnya dinamis dan berubah (malleable).
Kelompok pendukung teori IQ bersifat tetap acapkali kurang melihat korelasi antara usaha dan kerja keras dengan prestasi belajar seseorang. Mereka berpandangan bahwa prestasi belajar seseorang bahkan tidak berkorelasi dengan usaha seseorang. Implikasi bagi siswa ber IQ rendah dalam belajar pun berbeda. Perlakuan tugas dan beban belajar bagi kelompok ini harus hati-hati. Bahkan hanya tugas dan beban belajar yang “mudah” saja yang bisa diberikan kepada kelompok ini, jika tidak pastilah anak-anak ini akan gagal di tengah jalan. Tidak heran, siswa-siswa ini biasanya dicap mudah menyerah, pasrah dan tidak mau/ malas berusaha (give-up). Acapkali, siswa-siswa ini identik dengan kata gagal. Yang paling parah adalah bahwa guru mudah menimpakan kegagalan pengajaran yang dialaminya kepada siswa.
Berbeda dengan kelompok pertama yang berasumsi IQ bersifat tetap, kelompok kedua berpandangan sebaliknya. Bagi kelompok kedua, prestasi belajar siswa sangat dipengaruhi oleh usaha dan kerja keras siswa tersebut. Segala stimulus yang memberi tantangan justru akan memacu seseorang untuk belajar dan mendorong prestasi belajar yang lebih tinggi lagi, dan bukan sebaliknya menjadi halangan. Suatu bentuk kesalahan atau ketidakberhasilan dalam mencapai target bukanlah kegagalan namun batu pijakan (milestone) menuju keberhasilan yang sesungguhnya. Terhadap kegagalan dalam belajar tidak dilihat dalam perspektif siswa semata melainkan tanggung jawab subyek dan obyek belajar.
Seiring perkembangan teori belajar, pandangan tentang IQ juga bergeser. Para ahli pendidikan mulai menemukan hal-hal lain sebagai faktor determinan keberhasilan anak belajar. Salah satu faktor penentu keberhasilan belajar anak itu adalah tinggi-rendahnya ekspektasi sang guru terhadap anak tersebut.
Ekspektasi belajar yang tinggi
Marzano, R. J (2007) dalam hasil risetnya yang ditulis dalam buku The Art and Science of Teaching: A Comprehensive Framework for Effective Instruction menyebutkan bahwa keyakinan seorang guru tentang keberhasilan belajar siswanya di sekolah mempengaruhi relasi dan aktivitas guru tersebut kepada siswanya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi prestasi belajar siswa(student achievement) tersebut.
Dalam pandangan Marzano, jika si guru percaya bahwa siswanya dapat berhasil (high expectation) maka guru itu akan berperilaku sedemikian rupa untuk membantu keberhasilan siswa tersebut. Sebaliknya, jika guru meyakini (believe) bahwa siswa tersebut tidak akan berhasil (low expectation) maka cara berpikir dan cara berperilaku guru itu juga cenderung menuntunnya untuk tidak mau mendukung atau sekurang-kurangnya tidak memfasilitasi anak tersebut untuk berhasil.
Suatu contoh menarik perihal ini dapat dilihat dalam kasus berikut. Ada dua guru yang memiliki kompetensi pedagogis yang kurang lebih sama diminta untuk mengajar dua kelas yang berbeda. Kelompok kelas pertama, kelas X, terdiri atas siswa-siswa pandai, sementara itu kelompok kelas kedua, kelas Y, terdiri atas siswa-siswa dari kelompok yang ber IQ menengah ke bawah. Kepada kedua guru tersebut disampaikan informasi situasi sebaliknya, yakni anak-anak pandai ada di kelompok Y, sebaliknya kelompok X beranggotakan anak-anak menengah ke bawah secara akademik.
Penelitian menunjukkan bahwa informasi yang menyebut “kelompok Y beranggotakan anak-anak pandai” telah mengubah konstruksi berpiikir dan berperilaku guru dalam berperilaku untuk mewujudkan dan memfasilitasi belajar siswa sehingga diperoleh hasil belajar optimal.
Berharap pada sekolah kita
Apakah ekspektasi tinggi juga menancap dalam hati sebagian guru di sekolah kita? Sayangnya harapan itu mungkin masih terlalu utopis pada saat ini. Lihatlah opini yang beredar manakala hasil belajar para siswa sangat rendah? Sikap reaktif yang secara umum terjadi adalah menimpakannya kepada siswa atau hanya siswalah melulu sebagai faktor penyebabnya.
Memang, kebijakan asesmen dalam pembelajaran memungkinkan terjadinya proses remidial di mana siswa diberikan kesempatan kedua atau ketiga untuk mendapatkan hasil sesuai dengan standar tertentu yang diharapkan, namun pernahkah hasil asesmen juga dimanfaatkan tidak hanya mengecek student’s status namun juga menjadi masukan teacher’s performance dalam pembelajaran yang dilakukan? Hal ini yang saya pikir amat jarang digunakan.
Jika kita percaya bahwa high expectation berbanding lurus dengan high performance dalam pembelajaran maka pilihan yang perlu dilakukan proses proses remidiasi perlu dilakukan juga kepada guru secara lebih serius dalam konteks sekolah kita. Apabila hal demikian tidak terjadi maka sesunggungnya saat ini dunia persekolahan memandang bahwa IQ sebagai sesuatu yang fixed.
maka proses dan interaksi belajar tidak lebih sekedar legalitas formal dan kepura-puraan di dalam pembelajaran di sekolah kita.
Faktor penyebab lain rendahnya ekpektasi guru dalam dunia pendidikan kita acapkali karena tiadanya tujuan yang jelas (big goals) para guru saat mengajar. Artinya tidak ada panduan dan target terukur yang bisa menuntun dan mengarahkan keseluruhan perilaku dan proses pembelajaran si guru di kelas. Bahkan acapkali guru justru mempercayai pandangan negatif yang muncul dan ditujukan kepada siswa sekali pun tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika guru masuk dalam lingkaran demikian maka guru mudah jatuh ke sikap low expectation.
Maka pilihannya sekarang adalah bagaimana guru memiliki big goals tersebut. Jika sekolah dan guru memiliki big goals yang jelas maka beberapa keuntungan akan di peroleh, antara lain: Pertama, menyatukan beragam kepentingan pribadi dalam tujuan bersama. Hal ini terjadi dikarenakan guru akan terdorong untuk menjembatani keberagaman kultur dan pengetahuan awal siswa pada tujuan pembelajaran yang sama. Kedua, memberi motivasi dan menciptakan urgensi. Praksis persekolahan dibatasi waktu dan ruang. Hal inilah yang justru dapat memacu dan menyatukan usaha bersama dan pribadi masing-masing guru bagi keberhasilan siswa. Dan, ketiga, membantu guru dalam melakukan evaluasi personal atas kinerja guru itu sendiri.
Tugas sekolah beserta administrator di sekolah kiranya untuk mendorong guru-gurunya memiliki big goals yang jelas dalam pengajarannya. Jika hal itu terjadi, maka high expectation dengan sendirinya akan menjadi cara berpikir dan bertindak setiap guru yang pada gilirannya akan secara kuat mendorong tercapainya student achievemen yang diharapkan. Semoga.