Sebagai seorang ibu dari 1 anak (tentunya juga sebagai seorang istri) dan juga sebagai seorang pegawai profesional, tiada hari saya lalui tanpa dilema ibu bekerja, yaitu rasa sedih dan kosong karena harus meninggalkan anak di rumah (dalam hal ini saya sangat bersyukur kepada Tuhan yg telah menganugerahi saya seorang ibu yang selalu siap sedia menolong saya untuk “momong cucu” J). Mungkin ada yang bilang saya berlebihan atau tidak melihat ke bawah karena banyak ibu-ibu yang harus meninggalkan anaknya untuk bekerja dengan kondisi yang lebih tidak nyaman dibandingkan saya. Tapi saya yakin bahwa sindrom “ibu bekerja” ini banyak (kalau bukan semua) dialami oleh seorang ibu yang bekerja.
Kesulitan utama yang dialami oleh ibu bekerja (berdasarkan pengalaman pribadi) adalah dalam menyeimbangkan jiwa (passion), tenaga dan perhatian untuk keluarga, kantor dan diri sendiri. Terkadang rasanya waktu 24 jam dan tenaga di badan tidak cukup untuk menyelesaikan semua tugas yang harus dilakukan dengan standar yang kita inginkan. Hasilnya, terutama bila dijalankan dengan manajemen waktu yang kacau balau dan manajemen komunikasi yang amburadul, adalah anak yang lebih dekat dengan pengasuhnya di rumah dan/atau pencapaian kerja di kantor yang underperformed, plus stres yang harus diderita oleh sang ibu…
Untuk bisa menjadi ibu bekerja yang sukses di rumah dan di kantor, memang seorang ibu tersebut haruslah menjadi seorang super mom (saya pun masih terus belajar, walau masih sering terasa sangat sulit). Terkait dengan susahnya menjadi ibu bekerja yang sukses di rumah maupun di kantor, sangat dimengerti bila banyak wanita dengan kapabilitas dan prestasi yang tinggi sebagai profesional akhirnya memilih untuk resign dari kantor dan menjadi “full-time-mother”. Bagaimanapun juga, menjadi seorang ibu yang baik adalah pekerjaan utama dan haram hukumnya untuk tidak berusaha untuk menjadi yang terbaik… Mengutip hasil penelitian oleh Pamela Stone dalam bukunya: Opting Out?: Why Women Really Quit Careers and Head Home bahwa many professional women are being shut out by inflexible employers. Bagi saya, kondisi tersebut tidak hanya berlaku di Amerika, tapi juga di Indonesia.
Untuk kasus ibu bekerja di Indonesia, mimpi untuk memiliki kesempatan yang sama seperti Ibu bekerja di Jerman dimana Pemerintahnya memberikan kemewahan bagi ibu bekerja untuk mendapatkan cuti hamil selama 1 tahun dan bisa diperpanjang 1 tahun berikutnya dengan catatan sebagai “unpaid leave”, dan bahkan memberi insentif pada para suami untuk cuti “hamil” selama 3 bulan, masih sangat jauh. Padahal bila ditilik lebih dalam, bangsa Jerman adalah bangsa yang bangga pada ras “Arya”nya dan mengedepankan kualitas SDM. Sementara kualitas SDM sebuah negara sangat bergantung pada kualitas pendidikan dalam keluarga sebagai organisasi terkecil. Seharusnya, bila kita berpikir lebih maju, pemberian hak bagi seorang ibu bekerja untuk lebih bisa mengurus keluarganya sangat diperhatikan. Seharusnya, jam kerja bagi seorang ibu hamil harus ditepati hanya 7 jam atau kurang. Seharusnya, kerja yang efektif dan efisien itu harus digalakkan, sehingga lembur bisa lebih minimal. Seharusnya, perusahaan atau lembaga yang memperkerjakan pegawai atau pekerja apapun lebih memperhatikan kesejahteraan karyawannya lahir dan batin, dan bukannya memeras keringat pegawainya hingga tetes terakhir. Seharusnya Pemerintah lebih ketat dalam pengaturan tenaga kerja…. Seharusnya, dan seterusnya… Semoga ke depan bisa lebih baik.