Aku punya sebuah tugas dalam rutinitasku di kala sang surya terbit, mengantar kakak perempuanku ke sekolah.
Dulu dia pergi ke sekolah selalu sendiri dengan motornya, tapi karena 2 tahun lalu ia mengalami kecelakaan sampai 4 kali dalam setahun, dia dan keluarga kami trauma mengizinkannya untuk menggunakan sepeda motor.
Singkat cerita, pagi itu setelah selesai mengantarnya, aku lansgung pulang. Nah, saat di sebuah perempatan, aku berhenti pas di marka penyebrangan. Lalu seorang polisi lalu lintas menghampiriku. "Kamu tau rasanya diambil haknya oleh orang lain? Ada SIM?", ku jawab dengan tenang, "tidak". Lalu dia menarik kunci motorku dan menyuruhku menepi di pinggir jalan. Waw, untuk pertama kalinya aku ditilang.
Lalu aku di"sidang di tempat", di sebuah warung kopi di pinggir jalan. Dan dia bertanya berbagai hal. Kebetulan aku tidak membawa apapun pada waktu itu, hp, uang, bahkan aku hanya ingat nomor telponku saja. Tapi ku jawab semua pertanyaannya dengan tenang, dengan posisi duduk yg tegak tapi santai, dan tatapan yakin. Hehe, aku memang terbiasa menghadapi masalah di depan orang dengan tenang..
Umurku 15 tahun, memang "tidak pantas" mengendarai sepeda motor di jalan raya. Tapi seperti kebanyakan anak di kota ini, aku terpaksa berkendara sendiri karena tidak ada yg bisa diandalkan. Jangan tanya tentang transportasi umum. Di sini memang banyak angkot yg beroperasi, tapi tidak semua jalan dilaluinya. Termasuk rute dari rumahku sampai sekolah kakakku. Taksi dan antar jemput? Mahal. Kereta? Tidak ada. MRT? Apa lagi..
Oh ya, sampai pada aku ditilang. Polisi itu pun menyuruhku kembali ke rumah karena aku tidak dapat menghubungi ibuku karena bapakku bekerja di hutan sebagai pengawas kebun sawit, jadi hanya ibuku lah yg bertanggung jawab langsung padaku. Aku disuruh pulang untuk membawa STNK dan berbagai surat lainnya bersama ibuku tanpa jaminan. Ya, dia berkata jaminannya adalah kejujuranku. Mungkin dia percaya aku karena sikap tenangku.
~
Aku pernah tinggal di Jogja, Jakarta, Tangerang, dan Samarinda (thn 1999-2000). Sebelum ke kota ini, aku tinggal di Jogja selama 6thn.
Tapi kalau berbicara soal pelanggaran lalu lintas -tanpa bermaksud merendahkan- , Kota Pontianak-lah yg paling mengerikan.
Jalan yang sarat akan garis pembatas jalan, marka jalan, trotoar, pos polisi, kerasnya hidup di kota berkembang serta kebiasaan keras para pendatang mungkin alasan kenapa jalanan di kota ini sungguh mengerikan. Sebagai anak laki2 satu2nya di keluarga, tanggung jawabku besar kepada kedua saudariku yg perempuan dan ibuku. Karena sibuknya ibuku, kemana pun aku pergi hanya bisa mengendarai motor seorang diri (kalau ada uang ya naik taksi dong).
-
Aku tak menyesal akan apa yg telah terjadi. Dengan hal itu aku mendapatkan pengalaman baru; ditilang.
Aku memang salah. Dengan hati yg sangat tulus aku mohon maaf kepada pak polisi dan orang yg merasa terganggu waktu aku berhenti dengan motorku di depannya walau tak dapat ku katakan langsung dengan mereka.
Tapi..
Setiap hari aku saat aku mengendarai motor, selalu saja ada orang yg menyelipku dengan zig-zag dan kecepatan tinggi. Bikers tanpa helm yg ngebut2an dengan motor ber-knalpot balap / racing, bahkan di perempatan jalan protokol yg ada pos polisi pun banyak sekali mereka yg melewati batas garis marka jalan, bahkan mobil pun melewatinya. Tapi kenapa hanya aku yg ditilang? Yg di jalan protokol tidak ditilang, yg di jalan kecil malah ditilang, secara logika tak masuk akal sekali rasanya.
Banyak orang yg lebih sadis di jalan raya daripada diriku, tapi kenapa mereka tidak diadili? Polisi lalu lintas di kota ini berpatroli hanya saat pagi hari dan saat ada razia saja, dan yg ditangkap kebanyakan yg bersurat lengkap dan tidak memakai helm. Sedangkan yg ber-knalpot racing, yg ngebut dan ugal2an tidak.
Kenapa pak? Kenapa ya Tuhan?
Saat polisi itu bertanya "kamu senang gak diambil haknya?", dalam hatiku aku menjawab "tiap hari saja hak saya di jalan diambil orang kok pak, tapi bapak kemana selama ini?"
"Yg adil dong pak."