Rutinitas yang Saya lakukan ketika berada di bangku SD atau SMP hampir sama dengan kebanyakan anak seusia Saya pada jaman itu. Pagi-pagi sudah harus berjuang melawan dinginnya udara yang menggigit dan juga dinginnya air yang setia menunggu di pagi hari. Tidak ada pemanas air atau kompor untuk menjerang air. Benda-benda itu tidak pernah Saya lihat semasa kecil, hanya dipakai oleh keluarga yang kaya. Jadi, kalau ingin membersihkan diri pakai air panas, harus berjuang untuk menyalakan tungku kayu bakar. Untungnya, almarhum ibu Saya selalu berbaik hati menyediakan air panas satu panci besi ukuran besar yang warnanya hitam pekat akibat terpapar jelaga setiap hari. Karena kami adalah keluarga besar, tujuh bersaudara, ditambah orangtua, serta anggota keluarga lainnya dari kampung, maka air yang ada harus dimanfaatkan dengan baik, alias berhemat, maksimal dua gayung untuk tiap anak.
KEMBALI KE ARTIKEL