Memasuki jalan raya, kecepatan bertambah: 40 km per jam. Kendaraan bermotor saling-silang. Suara mulai sayup, campur-baur. Ucapan Blaze makin kabur ditiup angin, ditubruk kendaraan bermotor atau singgah di pepohonan pinggir jalan.
Visualisasi agak longgar. Motor punya kesempatan lari lebih kencang lagi. 60 km per jam. Kini aku melihat di kaca spion, sepasang matanya mengawasi mobil yang seakan menghadang laju sepeda motor milik Blaze. Kecepatan tak berkurang, bahkan ketika motor berjarak sejengkal dengan kendaraan lain.
Bibirku diam, tak bersuara, tapi tidak dengan otakku. Ada ketakutan dan ketegangan yang percuma dijelaskan secara verbal. Barangkali aku sedang berdoa. Semoga mantra-mantra surgawi bisa tepat sasaran, tak terhalang kencang angin dan kecepatan motor.
***
Yang terlihat hanya cahaya putih. Silau. Mataku sampai terpejam dibuatnya. Ketika terang itu mulai redup, aku menyaksikan bidadari atau malaikat atau sejenis itu, yang biasa muncul di film-film Hollywood. Pirang, tinggi semampai dan berbody gitar Spanyol. Cantik. Tentu saja perempuan.
Tarian dan senyum yang diumbarnya sudah pasti ditujukan untukku. “Hai, Them!” Perlahan didekatkan tubuhnya, dengan tangan yang mengulur, seperti mengajakku ke suatu tempat. Walau belum mengenalnya, kupikir tak buruk bertualang dengan gadis secantik dia.
“Tapi, kita belum berkenalan, setidaknya aku belum tahu namamu - meski kau sudah. Rasanya itu tak adil, bukan?”
“Kamu terlalu banyak nonton film, Them. Kenapa aku perlu nama, sementara aku bukan sosok yang sering ditemui dan disapa. Bahkan, wajahku ini kamu konstruksi dari kotak elektronik bernama televisi. Terserah, kamu memanggil apa, tak ada artinya untukku.”
Jelas aku bingung dengan pengakuan barusan. Meski nada bicara terdengar ramah, namun tak nampak kesan bersahabat dari makhluk cantik ini. Tangannya yang masih terulur dengan cepat kutangkap. “Baiklah, aku akan memanggilmu Peri, supaya percakapan kita bisa berlangsung lebih ringan.”
Sekarang, kami sudah bergandengan tangan. Tanpa kusadari, ia telah mengangkatku hingga ke langit, tanpa rasa takut sedikitpun. “Bagaimana rasanya terbang sambil menyentuh awan?” Peri bertanya tanpa menatap wajahku. Sulit mendeskripsikan tindakannya: di antara keramahan laku dan kesombongan kapabilitas.
“Mungkin kau bisa berikan cemilan dan segelas soft drink? Biasanya, pramugari memberi layanan ekstra untuk penumpang,” aku coba menggodanya, namun tak digubris. Mungkin ia terlalu sibuk berenang di udara.
Sesekali kurasakan awan menabrak wajahku, kemudian pecah seperti percik-percik air ketika cuci muka. Semoga tak ada kilat hari ini, aku tak ingin menjadi objek berita berjudul “Asik Terbang, Seorang Pemuda tewas Tersambar Petir”.
Ah tidak, itu menjijikkan sekali!
Sebenarnya, aku merasa penasaran untuk mendengar seberapa keras suara guntur langsung dari atas langit. Tapi, kali ini, rasa penasaranku sepertinya tak membutuhkan pembuktian. Biar para ahli menjelaskan lewat teks-teks akademik. Aku bisa membacanya sambil tiduran di kasur.
Kami terbang semakin tinggi, entah sudah di langit ke berapa, yang jelas rasanya semakin dingin dan udara makin sulit ditemukan. Sebelumnya, kami berulang kali harus menghindari bebatuan yang mengapung di langit. Atmosfer pastinya sudah berhasil dijebol, pikirku. Di atas langit, Peri menggenggam semacam benda pijar seukuran kepalan tangan orang dewasa. Seperti penari profesional digerakkannya benda tadi dengan kedua tangannya yang lemah-gemulai itu. “Ini… kuberikan bintang untukmu. Supaya kau tahu bahwa aku punya perasaan juga. Bisa romantis juga. Simpan di kamarmu, agar ketika kau tidur bintang ini selalu menjadi terang yang menjaga.”
Kuterima pemberiannya, sekaligus berterima kasih karena sudah bersedia merepotkan diri memberi kenang-kenangan untukku. Namun, sekalipun Peri punya perasaan, mungkin ia tak punya otak. Aku tak yakin dia salah satu penyair jaman romantisme, yang menganggap kecantikan seperti wajah bulan – yang sesungguhnya bopeng, atau bintang sebesar kepalan tangan. Dasar bodoh. Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa matahari adalah salah satu bintang yang paling dekat dengan bumi. Bagaimana benda seukuran payudara remaja ini disebut bintang? Lebih baik aku tak usah protes, setidaknya Peri telah berbuat baik padaku. “Terima kasih untuk kenang-kenangannya. Sulit menemukan benda secantik ini di pusat perbelanjaan. Bahkan, pramugari tak pernah seramah ini, mungkin karena aku hanya pernah menggunakan jasa pesawat kelas teri. Itupun dengan harga paling cetek.”
Tak lama setelah itu, kurasakan nafasku terengah-engah. Peri sadar, sedikit lagi aku akan mati kekurangan oksigen, dan aku juga yakin akan hal itu. Namun ia tak rela menyaksikan mayat pengguna jasa penerbangan mengapung di udara, barangkali karena pertunjukkan belum selesai, atau mungkin ia tak ingin memberi laporan pertanggung-jawaban mengenai penerbangan mematikan. Sayangnya, tak ada tabung oksigen atau masker yang biasa menjadi salah satu fasilitas penerbangan. “Tenang, Them, aku tak akan membiarkanmu mati kehabisan udara. Aku tahu apa yang harus kulakukan.” Tiba-tiba, tangan kananya merangkul kepalaku. Di tempelkan bibirnya pada bibirku. Terasa udara masuk dengan begitu lembut menyusuri tenggorokan. Tapi, yang terpenting adalah kulit bibirnya yang memiliki energi elektro magnetik ketika menyentuh bibirku.
Waktu berhenti. Entah berapa detik aksi transfer udara berlangsung. Selama itu pula, kutatap sepasang matanya, sambil berusaha menemukan sesuatu di balik lensa paling sempurna di dunia ini. “Semoga suhu udara turun hingga membekukan kami berdua. Aku rela menjadi patung seumur hidup, asal merasa kehangatan dalam diri yang tiada habisnya,” kata batinku.
Adegan tadi sulit untuk dijelaskan dalam tulisan. Mata yang membaca hanya bisa menafsirkan atau merangkai imajinasi berkaitan dengan itu. Ciuman memang tak bisa dirasa lewat teks. Ia hanya hadir ketika bibir bertemu bibir. Jika ada sesuatu yang memberi nilai tambah, barangkali itu merujuk pada “bagaimana” aksi itu dikonstruksi.
Bibir Peri menyelamatkan nyawa yang sudah di tepi jurang. Mungkinkah bibir punya kekuatan emosional jika eksis sebagai entitas tunggal belaka? Aku pikir tidak. Tanpa bertemu dengan bibir lain, ia hanya jadi pintu masuk makanan atau minuman. Ia juga tak lebih dari pengapit sebatang rokok untuk dihisap lalu dihembuskan.
Intinya, aku tak jadi mati dan kembali merasakan bernafas seperti biasa. Karena tak puas dengan adegan mesra barusan, aku berpura-pura kehabisan nafas lagi, berharap kejadian serupa terulang. “Jangan berlagak bodoh, Them. Aku telah memberikan udara yang tak akan habis kau hirup.”
“Apa kau tak yakin dengan adanya kesalahan teknis? Aku benar-benar kehabisan nafas, Peri!”
Tak ada respon. Aku hanya melihat lirikan nakal dari perempuan bersayap yang begitu menusuk perasaanku. Ah, mata itu, kenapa cerita Shakespeare mendapat tempat dalam keadaan seperti ini? Sepertinya kisah tentang panah Cupid dan cinta pada pandangan pertama benar-benar terjadi. Semoga aku tidak sedang bermain FTV!
“Kau tahu, Peri, aku lebih senang berteman dengan kematian, asal bisa merasakan adegan mesra seperti tadi!” kubisikan kalimat ini lekat-lekat di telinganya.
***
Lampu merah, kecepatan motor berkurang. Aku kembali ke alam sadar. Tak ada Peri, tak ada bintang seukuran payudara remaja, tak ada pula ciuman yang mengusir kematian. Dalam kenyataan hanya ada penjual kacang di lampu merah, serta supir mikro yang sibuk mencari penumpang.
Kulihat kekacauan. Ada yang kembung menghirup polusi, ada yang sibuk menebar polusi. Ada yang kekurangan udara, ada juga yang menikmati fasilitas air conditioner di dalam mobil. Kenyataan adalah kekacauan itu sendiri, dan kita hanya diberi kesempatan untuk bertarung sampai lelah, sampai mati.
Klakson berbunyi. Ribut. Lampu sudah hijau, tapi beberapa pengendara tak sabar untuk segera mengoperasikan mesin dan roda. Padahal, siapapun tahu, lampu hijau adalah tanda setiap kendaraan bermotor diberi kesempatan jalan. Tapi pengendara mobil dan sepeda motor selalu diburu kesibukan. Mereka seperti merasakan tusukan di kulit setiap kali terlambat beberapa detik saja memanfaatkan lampu hijau. “Sial, aku tahu lampu sudah hijau! Tapi, toh, mesin ini butuh proses untuk beroperasi. Dan lagi, apa semua orang di kota ini sedang buru-buru karena rasa berak?” Blaze mengeluarkan suara parau.
Jalan sudah berjarak. Kuda besi mulai merangkak. Kami bercerita mengenai banyak hal sepele, berbagai hal remeh.
Jarum spido bergerak agak gemetar, tapi aku melihat ia membelai-belai angka 100 km per jam. Semoga tak bertambah lebih dari ini, sebab aku merasakan arwahku mulai keluar tersapu angin yang begitu kuat. Pemandangan jalan tak lagi mempesona, bahkan lampu-lampu kota terlihat seperti lilin yang dihembus angin.
Spido tak kunjung turun, Blaze membuatnya bertahan pada posisi seratus. Mungkin berminat menambahkan tekanan lebih, sebab aku melihat spido seperti memasakan diri untuk menyentuh angka 120 km. Ah, ini gila. Kemungkinan yang terjadi semakin sulit ditebak. Segalanya bisa terjadi saat motor melaju dalam kecepatan tinggi. Keahlian tak bisa jadi satu-satunya harapan. Aku rasa, dalam keadaan begini, kejutan adalah musuh utama. Barangkali.
***
“Silahkan masuk!” Peri menggandeng tanganku dan membawa ke suatu ruangan yang tak kuketahui. Pintu yang baru saja didorongnya terbuat dari emas, dan ketika berada di dalam ruangan aku melihat dinding-dinding dari kristal. Takjub. Belum pernah memasuki tempat semegah ini sebelumnya. “Waw, ini seperti Olympus. Aku pernah melihatnya dalam film Hercules. Kira-kira di mana Zeus berada?”
Peri hanya tersenyum tanpa jawaban. Barangkali, ia ingin menjawab lebih halus – untuk tidak mengatakan tolol. “Sebut saja semaumu. Beberapa orang lebih mengenalnya dengan nama Surga. Silahkan duduk. Aku akan membuatkan minuman untukmu.”
Kemudian ia pergi menuju suatu ruangan. Belum lenyap dari kepalaku keterkejutan ini. Segala yang kulihat adalah kemewahan. “Terimakasih, Peri! Teh hangat sudah cukup untukku.”
Tak sampai lima menit, Peri sudah kembali, tapi ia tak membawa pesananku. Di tangannya, terkepit cangkir tembus pandang berisi anggur. “Kau terlalu takjub pada tempat ini, ya, Them? Mungkin, itu karena ekspektasi berlebih pada sesuatu di luar dunia nyata.”
“Ah, aku tak tau maksudmu. Apa kau tinggal di tempat sebesar ini sendirian?” aku merampas dengan lembut cangkir yang sudah disodorkannya. Peri mengernyitkan dahinya. Pertanyaanku barangkali menimbulkan kesan-kesan tertentu di benaknya. Sesuatu yang menggelitik. “Apa pentingnya untukmu? Habiskan saja minuman, karena aku ingin mengantarkanmu ke tempat lain.”
“Baiklah,” buru-buru aku habiskan anggur yang diberikannya tadi, karena aku tak memiliki kemampuan menahan sabar. Rasanya manis dan menghangatkan. Tapi, aku mulai bertanya-tanya, “apa maksud dari semua ini?”
Setelah habis meminum anggur, ia membawaku ke ruangan lain. Aku masih saja berlagak norak, sepertinya aku terjangkit gegar budaya. Yang pasti di rumah ini hanya ada kami berdua, sebab – ketika tak ada percakapan – suara angin terdengar lebih ribut dari apapun. Sehabis membuka pintu salah satu ruangan, aku menyaksikan rerumputan dan pepohonan hijau. Beberapa kursi bercat putih berjajar di tepi taman. Burung merpati sesekali mendarat, barangkali mencari makan karena lapar. Aku masih saja penasaran pada maksud baik Peri cantik, yang jauh dari kesan pamer, atau hanya ingin membuktikan eksistensi dunia lain. “Peri, kalau aku boleh tahu, apa maksud dari semua ini?”
Di tengah taman, ia menari-nari sambil tersenyum. Segala geraknya terlihat natural, tak dibuat-buat. “Kau tahu, Them, surga tak harus seperti bayanganmu sekarang ini. Surga adalah apa yang disepakati bersama.” Astaga, ia puitis sekali. Seandainya mengikuti kontes ratu sejagad, sudah pasti Peri menjadi pemenangnya. Di dalam dirinya terdapat syarat utama menjadi Miss Universe: Brain, Beauty dan Behavior. Setidaknya aku bisa menarik konklusi dari sini bahwa kecantikan tidak harus mahal. Cantik adalah kesan subjektif yang harusnya lepas dari konstruksi iklan kosmetik atau etalase pakaian di boutique bergaya Perancis.
Bagaimana cara menarik perhatiannya lebih lagi? Aku rasa, tak ada gunanya membuat diri menjadi sempurna, dengan membohongi kenyataan. Lebih baik, aku berbicara ala kadarnya saja. “Surga dunia juga termasuk kesepakatan bersama. Itu jadi salah satu faktor yang membuatnya lebih indah, bukan?”
“Pikiranmu penuh dengan sampah,” Peri tak lelah menari beberapa menit ini, sepertinya ia sedang berusaha menghindari jamahan angin. Mungkinkah laku tersebut jadi cara paling ampuh untuk tak mempedulikanku?
“Maaf, tak bermaksud begitu. Tapi, setidaknya kau bisa memberi penjelasan mengenai tempat ini dan tujuanmu membawaku ke sini,” aku membelakanginya, lalu berjalan menuju kursi putih di pinggir taman.
“Ternyata kamu masih perlu penjelasan, semoga berguna dan kamu tak perlu repot-repot membeli buku tafsir mimpi. Pertemuan ini tidak ada hubungannya dengan apa yang akan terjadi di hari esok, Them,” Peri berhenti menari. Ia berjalan ke arahku dengan sinar membututinya dari belakang. Angin menyapu rambut pirang, serta menyentuh kulit mulusnya. “Kita hanya merangkai imajinasi secara bebas, tanpa penjara moralitas. Di sini, kita bisa menjadi manusia jujur.” Ia duduk di sampingku, kemudian merangkulkan tangan kananya ke pundak kananku. Setelah itu, aku merasakan bibirnya menyusuri pipiku beberapa kali. “Pikirkan lagi, Them. Kini, kita bertemu di alam imajinasi,” dengan lembut dibisikkannya kata-kata itu di telingaku, “Apakah gempuran bibirku yang menyentuh kulitmu perlu penjelasan lebih?”
“Aku tak yakin, tapi mungkin saja,” sepertinya percakapan filosofis ini tak pernah terjadi pada kencan-kencan konvensional. Kenapa dia tak menanyakan aktifitasku seminggu belakangan, atau mengungkapkan kecemburuan pada gadis-gadis yang mendekatiku di dunia nyata? Sial betul, bahkan dalam alam pelarian ini, aku harus memutar otak! “Bisakah kita membicarakan hal-hal remeh? Rasanya aku sedang mengikuti kuliah filsafat, bukannya kencan di alam bawah sadar.”
Aktifitas menyusuri leher dengan bibir itu akhirnya berhenti, semoga saja tak lama. Bibirnya kembali diarahkan ke telinga kiriku, “kira-kira, siapa di antara kita yang berimajinasi?” aku memperkirakan ia sedang tersenyum ketika memberi jeda pada kalimat-kalimatnya. “Aku membayangkan kamu atau kamu yang membayangkan aku?”
Sepasang mataku nyaris keluar dari tempatnya. Peri memberi pertanyaan ringan namun memusingkan. Pertanyaan yang sama sekali tak pernah kupikirkan sebelumnya. “Tunggu, tunggu! Bukankah, ini alam yang kukonstruksi? Bagaimana bisa kau mempertanyakan siapa di antara kita yang benar-benar nyata?”
Kini terlihat api membara di wajahnya, barangkali ia sudah terserang gairah akut. Sesaat ia menggigit bibirnya sendiri, kemudian tersenyum remeh namun cantik. “Kamu tak menjawab pertanyaanku, Them.” Di peganginya kedua tanganku lalu di usap-usapnya punggung tanganku. “Kalau benar-benar kau pemilik alam imajinasi ini, kenapa aku yang membawamu ke tempat yang tak kau ketahui? Kenapa aku mengenalimu, sedangkan kau tak mengenaliku?” Setelah itu, ia mengecup bibirku. Aku terdiam, melupakan gempuran pertanyaan yang dilemparkan Peri. Merasakan hangat bibirnya masih jauh lebih penting.
Lalu ia beranjak dari kursi tempat kami duduk. “Semoga kau sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku di saat kita kembali bertemu. Kebetulan aku sedang memikirkannya juga.”
Aku masih saja terduduk dan memikirkan sejumlah penjelasan yang diucapkan tadi. Ah, sial, dia punya bakat menggoda. Untuk beberapa saat, pikiranku akan semakin kalut karena percakapan ini.
Aku lihat Peri akan kembali memasuki ruangan yang sebelumnya kami lewati. Sambil memegang gagang pintu, matanya melirik ke arahku dengan bibir tersenyum. “Oh iya, segera buat catatan khusus mengenai perjumpaan hari ini. Beberapa kali kita pernah bertemu, namun kau selalu lupa. Semoga, pertemuan berikut tak perlu kenalan, Them… Dan jangan lupa, siapkan jawaban untukku!” Kemudian, dia masuk ke rumah tadi, entah rumah siapa. Rumah yang dibangun sesuai imajinasinya atau imajinasiku? Atau kami sama-sama membayangkan rumah yang sama?
Ah, entahlah!
***
Motor tak lagi lari gila. Aku melihat spidometer tak bergerak melewati 40 km perjam. Kupikir sudah aman. Aku sudah bisa melihat aktifitas manusia dan kendaraan bermotor berjalan seperti biasa. Blaze membelokkan motor dalam sebuah lorong, ternyata kami sudah mendekati rumah. Tapi, aku masih memikirkan tentang pertemuan transcendental barusan.
Rasanya, aku perlu istirahat lebih…