Di matamu
Dan sekujur keinginan
Memadukan apung yang terlampau asin
Padahal kejenuhan ini masih bercerita tentang rindu
Kenangan tentang kita memanggil
Dari balik dinding keangkuhan
Menancap di kerlingan waktu
Mengguncang dingin
Ketika tubuhmu masih dalam balutan ombak
Musim cinta yang kunanti tak juga menepi
Di kejauhan mata nampak menganak sungai
Antara datang dan pergi
Tidak ada kemenangan yang paling stabil
Hampa
Segalanya menjadi kesukaran
Bahkan biji-biji puisi inipun mati
Sekejap, lepas
Melintas pada langit kemarau
Aku kekeringan
Saat hidup sulit disiasati
Sebab jejak lumpur gemar mendekati ganjil
Yang semestinya bisa di sederhanakan menjadi kebahagiaan
Sesungguhnya engkau adalah ruh pagi
Merasuki jalan darah hingga tubuh tidak baik-baik saja
Ketika jarak begitu penghalang
Pada seberangmu yang belukar
Juga seberangku, kalah perang
Jemari mencoba merakit huruf-huruf
Untuk menjadi genap
Kemudian menyibak bayangmu
Menjadi satu-satunya lukisan
Karena aku hanyalah kegilaan
Atas cinta
Yang teratasnamakan kekasih