Sesuai amanat konstitusi, tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Jalur pendidikan juga diyakini dapat meningkatkan mobilitas vertikal individu. Dari sini akan terbentuk masyarakat yang cerdas dan bernas. Sebab itu, seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya harus memiliki kompetensi dan integritas yang memadai.
Tenaga pendidik seperti guru atau dosen merupakan ujung tombak untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut. Sesuai amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi yang dimaksud adalah minimal guru harus diploma 4 (D4) atau strata satu (S1).
Adapun dalam pasal 11 UUGD, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Sertifikasi profesi ini memiliki tujuan untuk menentukan kelayakan guru/dosen dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Sertifikasi juga dimaksudkan untuk meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan serta mengangkat profesionalitas guru dan dosen.
UUGD juga mengamanatkan, seluruh guru mesti memenuhi kualifikasi di atas dan memiliki sertifikat profesi. Sekadar informasi, untuk mendapatkan sertifikat pendidik, guru harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Program ini dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) selama 1 tahun. Setelah itu, guru mendapat gelar profesi dan sertifikat pendidik serta pantas menyandang status guru profesional
Sampai kini, sudah 72,5 persen guru yang memenuhi kualifikasi seperti disyaratkan undang-undang. Sedangkan guru yang sudah bersertifikat sebanyak 1.580.267 orang dari total 3 juta guru.
Masih banyaknya guru yang belum bersertifikat, seperti dituturkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, disebabkan mereka sendiri belum memenuhi syarat. Menurutnya, ini karena telah terjadi pembiaran bertahun-tahun sehingga jumlah guru yang belum disertifikasimakin menumpuk. Untuk itu, perlu adanya kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda) untuk memberi kemudahan bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi sesuai ketentuan. Konkretnya, sebut Mendikbud, pihaknya kini telah bekerja sama dengan Universitas Terbuka. Guru bisa mengambil program S1 di perguruan tinggi itu tanpa perlu menjalani proses konvensional seperti di universitas biasa.
Adapun syarat untuk memperoleh sertifikat haruslah guru berstatus PNS atau guru tetap yayasan (GTY). Sedangkan bagi guru tidak tetap (GTT) tidak bisa mendapatkan sertifikat. Saat ini, jumlah GTT mencapai 721.124 guru.
Kualifikasi dan sertifikasi itu sendiri sebenarnya adalah konsekuensi dari penetapan guru sebagai profesi. Gurudituntut untuk bersikap profesional dan memiliki kinerja yang baik. Dengan ijazah S1, guru berpeluang untuk disertifikasi dan mendapat tambahan tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji, di luar gaji pokok dan tunjangan fungsional. Itu semua berlaku bagi guru PNS ataupun yang guru honorer.
Seiring dengan bertambahnya jumlah guru yang lulus sertifikasi, anggaran yang dibutuhkan pun semakin besar. Pada tahun ini saja anggaran tunjangan profesi guru (TPG) sebesar Rp 77 triliun. Jumlah itu akan meningkat menjadi Rp 80 triliun pada tahun depan. Kebijakan pemerintah ini sebenarnya membawa tenaga pendidik pada “kasta” mulia. Guru yang berkualifikasi dan kompeten akan dihargai lebih dibanding yang dan tidak kompeten atau tidak memenuhi kualifikasi.
Meski program sertifikasi memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan guru, nampaknya masih ada pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Lihat saja, hasil uji kompetensi guru (UKG)yang rata-rata nilainya sebesar 44,5. Ini jauh dari nilai minimal yang ditetapkan pemerintah sebesar 70. Padahal, peserta UKG adalah guru yang bersertifikat. Artinya, niat baik pemerintah memperbaiki kesejahteraan guru mestinya diimbangi dengan kesungguhan guru untuk menggenjot kompetensinya sebagai bagian dari profesionalitas.
Melihat masih adanya kesenjangan dalam penyaluran tunjangan guru, rencana pemerintah untuk mengevaluasi pemberian TPG bisa dimaklumi. Informasinya, pada tahun depan TPG dinilai berdasarkan kinerja guru. Ini dilakukan agar pemberian tunjangan lebih tepat sasaran. Namun tetap mengacu pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN ARB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang fungsional jabatan guru.
Program sertifikasi yang dibarengi dengan TPG ini seyogianya menjadikan pendidikan di Indonesia lebih bermutu. Dengan naiknya kesejahteraan, tidak ada lagi alasan bagi guru untuk tidak bersikap profesional. Sebagai ujung tombak pendidikan, peran guru amatlah besar untuk menentukan arah bangsa ini ke depan. ***