Semboyan yang masih terngiang jelas dalam benak anak-anak Indonesia dari zaman dulu hingga kini, “Nenak Moyangku Seorang Pelaut” namun aku ‘bukan’ pelaut, itulah kenyataannya. Sekian banyak anak negeri ini yang bila ditanya apakah mau menjadi nelayan atau menjadi pelaut, maka hampir bisa dipastikan bahwa lebih dari setengah menjawab tidak. Alasannya paling mendasar, nelayan atau pelaut itu pekerjaan yang masuk dalam kelas bukan kantoran, pekerjaan kasar, dan pekerjaan dengan gaji rendah. Ini tercermin dari sistem pendidikan di negri ini yang masih memberikan prioritas pekerjaan yang membanggakan yaitu polisi, tentara, pegawai, pilot, dokter dan profesi-profesi bergengsi lainnya. Nelayan dan pelaut dan pekerjaan-pekerjaan yang berbasis laut tidak enak ditelinga dan masuk pekerjaan buruh. Itulah jadinya, bangsa ini mundur dalam pendidikan maritim dan sektor maritim secara umum. Dengan berkembangnya horizon khasanah ilmu pengetahuan, maritim tidak lagi dipandang terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan pelayaran dan laut. Maritim itu budaya, maritim itu warisan, maritim itu urat nadi pergerakan dan aliran energi bagi bangsa-bangsa yang menggantungkan kehidupan kesehariannya di laut.
KEMBALI KE ARTIKEL