Tidak seperti biasanya, karena ada keperluan tidak rutin, pagi ini seturun di Stasiun Tanah Abang, saya menyambung perjalanan menuju Stasiun Sudirman dengan menggunakan kereta rel listrik (KRL) ekonomi jurusan Tanah Abang – Depok. Kereta yang saya naiki terlambat sekitar 35 menit. Seharusnya kereta itu berangkat pukul 07.43, tetapi baru berangkat hampir pukul 08.20. Hal itu memang biasa terjadi dan sudah dimaklumi para pengguna setia kereta Jabodetabek alias “roker”. Yang tidak bisa dimaklumi adalah bahwa kereta sudah melaju ketika para roker belum selesai turun/naik kereta. Itu lah yang terjadi di Stasiun Sudirman pagi ini. Untung saja Bu Titi hanya terjatuh… Bayangkan kalau tas atau tangannya tersangkut di pintu kereta dan dia terseret… Tak terbayangkan bagaimana nasibnya.
Melihat kereta sudah melaju sementara roker masih ada yang turun dan naik, roker yang menumpang kereta itu maupun yang sedang berada di Peron 2 Stasiun Sudirman berteriak meminta agar masinis segera menghentikan kereta. Sayang, tampaknya teriakan para roker tidak terdengar oleh masinis. Sialnya lagi, tidak ada petugas keamanan yang berjaga di peron. Terjatuh lah Bu Titi.
Dua orang warga negara asing yang kebetulan berada di peron dan menyaksikan kejadian itu hanya dapat menggeleng kepala seraya bergumam, “what the **** is this?!”
Di ujung peron, seorang roker, sebut saja Pak Amir, spontan memarahi seorang petugas keamanan yang pertama ditemuinya saat hendak menaiki tangga menuju keluar. “Seharusnya ada yang jaga, dong! Ini bukan pertama kali kejadian seperti ini. Kemarin ada kejadian. Minggu lalu, ada juga. Kami ini bukan kambing! Lain kali saya lempar kamu ke rel!”, hardik Pak Amir yang mendapat dukungan dari roker lain yang mengelilinginya.
Si petugas keamanan hanya bergeming dan dengan dingin meminta Pak Amir dan para roker menyampaikan pengaduannya kepada Kepala Stasiun. Pak Amir beserta belasan roker, termasuk saya, langsung menuju Kantor Kepala Stasiun… yang ternyata kosong. Seorang pegawai yang kebetulan lewat kemudian menjadi sasaran kemarahan Pak Amir dan para roker, namun lagi-lagi pegawai itu tampak cuek bebek. Mungkin karena kesal, akhirnya sampai ada roker yang berseru, “bakar aja stasiun ini!”… Untung saja tidak ada yang terprovokasi.
Saya tidak mengetahui apa yang selanjutnya terjadi. Karena terkendala waktu, akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan Stasiun Sudirman menuju tempat saya berurusan pagi itu. Tampaknya tidak terjadi hal yang spektakuler juga… Jika ya, beritanya pasti sudah menghiasi berbagai media massa on-line sepanjang pagi-siang ini.
Di tengah peningkatan animo warga Jabodetabek untuk menggunakan kereta (Commuter Line, KRL Ekonomi, Kereta Penumpang Ekonomi, dsb.), tentu bukan pelayanan seperti ini yang diinginkan para roker lama, roker baru maupun orang yang sedang mempertimbangkan untuk menjadi roker. Saya rasa semua orang tentu mendambakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan dalam bepergian.
Masalah keselamatan adalah hal yang paling utama untuk diperhatikan oleh penyedia jasa transportasi, termasuk kereta api, dalam hal ini PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Bu Titi bukan penumpang gelap yang terjatuh dari atap kereta. Bu Titi tidak terjatuh karena mengeluarkan anggota badan dan tersangkut sesuatu ketika kereta sedang melaju. Bu Titi juga tidak terjatuh akibat didorong keluar kereta oleh penodong yang masih banyak berkeliaran di atas kereta, khususnya KRL dan kereta penumpang kelas ekonomi… Bu Titi adalah roker berkarcis yang terjatuh karena kereta yang hendak ia naiki sudah bergerak maju, padahal masih banyak roker yang belum selesai turun dan naik dari kereta itu.
Kalau belum dapat menyediakan kenyamanan yang optimal karena keterbatasan anggaran untuk mengadakan armada baru atau untuk merawat armada yang sudah ada dengan sebaik-baiknya, paling tidak PT KAI harus lebih memperhatikan keselamatan dan keamanan para roker. PT KAI dapat memperbanyak petugas keamanan untuk menjaga para roker dari ancaman dan gangguan para pencopet, penjambret, penodong, dan perampok di stasiun maupun di atas kereta. Saat ini kereta Commuter Line sudah memiliki banyak petugas keamanan di atas kereta -walaupun saya melihat bahwa sesungguhnya kehadiran mereka sebenarnya lebih untuk mencegah kehadiran penumpang gelap daripada untuk mengamankan para roker dari rongrongan penjahat-.
Belajar dari kejadian yang menimpa Bu Titi, PT KAI harus lebih memperhatikan keselamatan para roker agar terhindar dari kecelakaan. Mungkin PT KAI perlu menetapkan standar waktu pemberhentian kereta di setiap stasiun, misalnya minimal 120 detik di stasiun kecil dan 240 detik di stasiun besar. Standar waktu tersebut jangan hanya ditetapkan, tetapi juga harus diimplementasikan dengan benar. Adanya standar waktu dapat memberikan ketenangan bagi para roker sehingga tidak perlu terburu-buru dan berebut turun/naik kereta karena para roker tahu mereka punya cukup waktu untuk melakukannya dengan aman. Selain itu, PT KAI juga perlu senantiasa menempatkan petugas yang mengawasi pergerakan turun/naik roker dan memberi sinyal aman kepada masinis untuk mulai menjalankan kereta setelah semua roker selesai turun/naik. Saya yakin hal ini sudah dilakukan, tetapi mungkin belum dilakukan dengan cermat.
Jika pagi ini terjadi sesuatu yang lebih berat atas diri Bu Titi, saya sangsi Bu Titi akan memperoleh keadilan. Di negara yang sistem hukumnya belum prokonsumen, paling banyak Bu Titi hanya akan mendapat santunan dari PT Jasa Raharja sementara masinis kereta dan Kepala Stasiun Sudirman hanya akan dihukum beberapa bulan penjara… atau, mengingat kebiasaan di Indonesia, malah justru Bu Titi, Pak Amir dan para roker yang mendukungnya dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan “pencemaran nama baik”, “perbuatan tidak menyenangkan” atau “mengancam keselamatan orang lain”…
Pertanyaan untuk PT KAI, mau dibawa ke mana perkeretaapian Indonesia?
Di sisi lain, keselamatan, keamanan dan kenyamanan dalam bepergian dengan kereta api memang bukan hanya menjadi tanggung jawab PT KAI, tetapi juga para roker. Kontribusi para roker dapat berupa peningkatan kedisiplinan dan ketertiban, misalnya dalam mengantri tiket - untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab; mendahulukan roker yang turun dari kereta - untuk menghindari roker terjatuh, terinjak, dsb; tidak berebut saat naik ke kereta - karena membahayakan keselamatan diri sendiri dan memberi kesempatan kepada para penjahat untuk beraksi; menaati himbauan mengenai prioritas tempat duduk, dsb. Mungkin semua itu terkesan utopis. Namun semua itu perlu dilakukan demi keselamatan, keamanan dan kenyamanan bersama.
(Tulisan ini menceritakan kejadian yang sebenarnya, sebagaimana saya alami sendiri. Penamaan karakter dilakukan hanya untuk memudahkan alur penulisan).