Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humor

Mengapa O.C. Kaligis Tiba di Indonesia Lebih Cepat daripada M. Nazaruddin?

14 Agustus 2011   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:48 738 0

Pada hari Senin, 8 Agustus 2011, media massa di Indonesia adu heboh, adu cepat memberitakan penangkapan salah satu buronan kasus korupsi, Muhammad Nazaruddin (MN), di Cartagena, Kolombia. Kabarnya, MN ditanggap aparat penegak hukum Kolombia pada hari Minggu, 7 Agustus 2011 dini hari waktu setempat, atau hari Minggu, 7 Agustus 2011 malam WIB. Kapan, di mana dan dengan siapa tepatnya MN ditangkap simpang siur, walaupun akhirnya keterangan resmi yang dilansir aparat penegak hukum Kolombia dan Indonesia adalah bahwa MN ditangkap bersama istri dan dua orang kawannya saat akan terbang dari Cartagena menuju Bogotá, Ibukota Kolombia. Namun demikian, istri dan dua orang kawan MN tidak turut ditahan karena tidak termasuk dalam daftar buronan penegak hukum Indonesia maupun Interpol, sehingga kembali menghilang dan hingga saat ini keberadaan mereka tidak diketahui. Belakangan ada juga yang memberitakan bahwa orang-orang itu telah diamankan dan dipulangkan ke Indonesia. Wallahu'alam...

Satu-satunya kejelasan adalah besarnya peran media massa dalam kasus ini. Tentu ini karena besarnya kepentingan dari berbagai pihak yang secara langsung terkait maupun yang sama sekali tidak terkait dalam kasus tersebut. Media massa dapat membantu publik untuk mendapatkan informasi baru (yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik) dan benar (berdasarkan fakta dan dapat diverifikasi)… Di sisi lain, media massa juga dapat menggalang opini publik ke arah yang menguntungkan atau merugikan pihak-pihak tertentu. Dalam melakukan semua itu, tentu terdapat kode etik dan aspek moral yang harus ditaati.

Sebagaimana diketahui, terjadi kekisruhan terkait rencana pemulangan MN… timbal banyak “pertanyaan” dan “perdebatan” yang menimbulkan kebingungan bagi orang awam seperti saya: apakah MN akan dipulangkan ke Indonesia dengan mekanisme deportasi atau ekstradisi; apakah MN harus menjalani proses hukum di Kolombia akibat pelanggaran peraturan keimigrasian (mengingat MN masuk ke Kolombia dengan menggunakan paspor milik adik sepupunya, Syarifuddin, yang wajahnya memang agak mirip dengan MN); apa yang menyebabkan pengacara MN, O.C. Kaligis (OCK), mengalami kesulitan untuk bertemu dengan MN guna mendampinginya selama diperiksa aparat keamanan Kolombia; mengapa MN dipulangkan dengan menggunakan pesawat sewaan yang menghabiskan biaya sekitar Rp. 4 milyar, bukan menggunakan penerbangan umum (komersil) yang di atas kertas berbiaya lebih murah; siapa saja yang mendampingi MN selama perjalanan menuju Indonesia; mengapa MN dipulangkan secara “mendadak” sehingga bahkan Dubes RI untuk Kolombia, Michael Manufandu, tampak “terkejut” saat mendapat informasi tersebut, apakah tas hitam yang ditenggarai berisi berbagai barang bukti berangkat bersama MN ke Indonesia atau tertinggal di KBRI Bogotá; apakah tas tersebut “dititipkan MN kepada Dubes RI untuk Kolombia”, atau “dirampas Dubes RI untuk Kolombia”, apakah pemulangan MN dari Kolombia ke Indonesia sesuai prosedur; mengapa pengacara MN dan wartawan tidak ikut dalam pesawat yang membawa MN kembali ke Indonesia, dst, dsb…

Kekisruhan tersebut tentu menambah praduga negatif atau kecurigaan bahwa ada sesuatu yang ditutup-tutupi atau terjadi rekayasa dalam proses penangkapan MN di Kolombia dan pemulangannya ke Indonesia. Ada yang menduga telah terjadi konspirasi pihak tertentu untuk membungkam, mencuci otak, atau bahkan melenyapkan MN, bahkan ada pula yang sudah sangat skeptis terhadap akuntabilitas proses hukum yang akan dijalani oleh MN… Hal ini tidak terlepas dari kurang transparannya proses penangkapan dan pemulangan MN... tapi lebih dari itu, hal ini merupakan imbas dari peran media massa dalam memberikan informasi maupun untuk menggiring opini publik ke arah tertentu. Di sini lah publik harus pandai menyaring dan mencerna informasi dari media massa, karena yang diberitakan pun belum tentu sepenuhnya hal yang benar…

Salah satu hal yang diolah menjadi polemik besar adalah fakta bahwa OCK yang berangkat dari Kolombia beberapa jam setelah MN diberangkatkan dari negara tersebut dapat tiba di Indonesia sebelum beberapa jam sebelum kliennya tiba. Setidaknya terdapat dua stasiun TV swasta nasional yang mengolah fakta tersebut menjadi sebuah wahana untuk mengajak publik beropini bahwa telah terjadi sesuatu dalam perjalanan MN dari Kolombia ke Indonesia (entah MN diintimidasi atau dicuci otaknya, atau malah terjadi negosiasi dan kesepakatan tertentu antara MN dan aparat penegak hukum Indonesia yang menjemputnya).

Penggalangan opini publik ke arah itu tidak sepenuhnya salah karena di negeri yang kita cintai ini mafia hukum memang masih merajalela, apalagi sudah ada preseden seperti carut-marutnya penanganan kasus mafia pajak yang membuat Gayus Tambunan jadi beken itu... tapi, apakah kita harus selalu skeptis dan berpraduga negatif? Masalahnya pemberitaan dari kedua stasiun TV swasta nasional itu hanya memandang dari satu sisi, yaitu sisi kepentingan si pemilik kedua stasiun TV swasta nasional yang kebetulan memang sangat berseberangan dengan Pemerintah RI saat ini. Jangan sampai kita menyamakan acara "bual-membual" (talk show) di TV dengan pengadilan (walaupun menurut saya tidak ada pengadilan yang 100% adil di dunia yang fana ini).

Di zaman yang semakin edan ini, publik dapat senantiasa memverifikasi informasi yang disampaikan oleh media massa, atau pihak mana pun, mengingat saat ini hampir tidak ada hambatan untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber terbuka, khususnya melalui internet. Publik dapat membuka laman media massa asing, ensiklopedia on-line maupun laman-laman lain yang menyajikan informasi spesifik guna mencari dan memverifikasi informasi apa pun.

Kembali ke judul tulisan ini, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati guna memahami bagaimana OCK yang berangkat lebih akhir dari Bogotá dapat tiba di Jakarta lebih awal daripada MN.

Secara geografis, jika ditarik garis lurus di atas Samudera Pasifik, jarak antara Bogotá dan Jakarta hampir mencapai 11.000 mil laut (nmi) atau hampir 20.000 Km (lihat http://distancecalculator.globefeed.com/World_Distance_Result.asp?fromplace=Bogota%20%28Distrito%20Capital,Colombia%29&toplace=Jakarta%20%28Jakarta%20Raya,Indonesia%29&fromlat=4.6&tolat=-6.1744444&fromlng=-74.0833333&tolng=106.8294444). Akan tetapi, rute penerbangan tentu tidak berupa garis lurus. Terdapat rute-rute yang telah ditetapkan otoritas penerbangan internasional yang harus dipatuhi oleh semua pesawat yang terbang dari satu tempat ke tempat lainnya. Selain itu, pesawat yang hendak melintas di atas wilayah kedaulatan udara suatu negara harus mendapatkan izin melintas (flight clearance) dari negara yang bersangkutan.

OCK menggunakan penerbangan komersil dengan rute serta jadwal yang tetap. Tentu saja, flight clearance penerbangan tersebut sudah diperoleh sejak rutenya pertama kali dibuka dan berlaku selama beberapa waktu (tergantung negara yang memberikannya). MN menggunakan penerbangan sewaan yang rute dan jadwalnya tidak tetap sehingga flight clearance-nya baru dapat diurus setelah rute penerbangan ditetapkan (bisa beberapa jam sebelum lepas landas). Apabila terdapat negara yang tidak memberikan flight clearance, maka penerbangan itu harus mengubah rutenya sehingga kemungkinan harus menempuh jarak yang lebih jauh. Selain itu, penerbangan komersil biasanya menggunakan pesawat besar dengan mesin yang bertenaga besar sehingga daya jelajahnya lebih jauh dan kecepatannya lebih tinggi dibanding pesawat kecil seperti yang disewa Pemerintah RI guna membawa pulang MN.

Di sejumlah media diberitakan bahwa pesawat yang digunakan membawa pulang MN adalah Gulfstream G550 yang berdaya jelajah hingga 6.750 nmi atau 12.501 Km dan berkecepatan jelajah 850 Km/h (lihat http://nasional.vivanews.com/news/read/240441-foto--jet-mewah-pembawa-nazaruddin, http://www.tribunnews.com/2011/08/14/gulfstream-g550-hanya-butuh-18-jam-kolombia-indonesia dan http://gulfstream.vo.llnwd.net/o36/assets/pdf/brochures/G550%20Specifications%20Sheet.pdf). Namun, setelah pesawat tersebut mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, saya iseng cek nomor registrasi pesawat yang disewa Pemerintah RI untuk memulangkan MN tersebut (N913PD) melalui internet. Ternyata, pesawat tersebut bukan Gulfstream G550, melainkan Gulfstream G-1159A buatan tahun 1982 (lihat http://www.airport-data.com/aircraft/N913PD.html) yang daya jelajahnya hanya 4.100 nmi atau 7.600 Km, sedangkan kecepatan jelajahnya hanya 818 Km/h. Sebagai perbandingan, pesawat yang lazim digunakan untuk penerbangan komersial seperti Boeing 777-200LR memiliki daya jelajah hingga 9.395 nmi atau 17.395 Km dan kecepatan jelajah hingga 950 Km/h (lihat http://www.boeing.com/commercial/777family/longer_range/index.html dan http://en.wikipedia.org/wiki/Boeing_777). Artinya, sebuah Boeing 777-200LR dapat terbang sejauh lebih dari 17.000 Km dalam waktu sekitar 18,5 jam tanpa perlu mengisi bahan bakar, sementara sebuah G-1159A harus mengisi bahan bakar setidaknya setiap 7.600 Km. Apabila jarak antara Bogotá dan Jakarta hampir 20.000 Km, sebuah G-1159A tentu harus mengisi bahan bakar (dengan cara melakukan transit di sebuah kota antara) sebanyak 2 atau 3 kali.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun