Langkahnya pasti, menyusuri ramainya manusia, seakan tidak peduli ia tampak yakin dan percaya apa yang dikerjakannya. Diantara banyaknya pengunjung dia tampak sangat berbeda, menyusuri berbagai lapak dan aneka barang, terkadang ia berhenti dan menyodorkan botol berisi air hitam yang ia bawa. Sesekali ada yang tertarik dan berhenti, serta bertanya-tanya. Tak jarang juga beberapa lembar uang tertukar dengan botol botol yang ia bawa. Baju hitam-hitam, sorban di kepala, rambutnya yang tidak tersisir, ditambah ia berjalan tanpa mengenakan alas kaki. Mungkin yang membuatku tertarik adalah tas yang ia gunakan, ia gunakan tas jaring yang terbuat dari akar.
Sekilas itulah yang kutangkap dari seorang Samin. Samin adalah nama dari seorang laki laki 45 tahun suku Badui Luar. Sebenarnya sudah lama aku mengenal sosok ini, namun minggu kemarin aku beranikan diri untuk bertanya dan berbincang lebih jauh. Ya, setiap hari minggu pagi dari pukul 5 pagi aku dan istriku berjualan di pasar kaget STEKPI kalibata sampai siang hari. Pasar kaget ini berada di depan kampus Universitas Trilogi yang dahulu dikenal dengan nama STEKPI. Dan sering kutemui sosok diatas, namun belum pernah aku membelanjakan uangku untuk barang yang dibawa oleh Samin.
Lelaki Badui ini hanya seminggu sekali ada di pasar kaget STEKPI Kalibata. Terkadang di beberapa minggu ia tidak terlihat di sini untuk berjualan madu botolan yang ia bawa.
“Apa ini?”, tanyaku kepadanya. “Madu,” jawabnya sepatah kata. Memang berkomunikasi dengannya agak sulit, karena Samin sangat hemat dalam berbicara. Ia hanya berbicara ketika ditanya, sembari menghisap rokok kreteknya. Raut mukanya lugas, dan bagiku tak ada keraguan untukku bahwa ia akan berbohong. Ia cukup murah senyum sebenarnya, namun mungkin karena sosoknya yang berbeda sehingga banyak orang ragu untuk mendekat.
Samin terkadang membawa putranya yang berumur 17 tahun bersamanya. Penampilan sang anak tak berbeda jauh dengannya, sama seperti Suku Badui yang kita pernah tau, pakaian yang sama warna, sorban dikepala dan juga tas dari akar. Bedanya sang anak lebih bongsor dan lebih besar dari sang ayah. Menurut pengakuannya, samin mempunyai 3 orang anak. Anak keduanya perempuan berumur 12 tahun dan terakhir umur 8 tahun juga seorang perempuan.
Aku bertanya-tanya bagaimana bisa seorang laki-laki Badui Luar ikut serta berdagang di pasar kaget di kota besar seperti Jakarta ini. “Naik kereta,” ujar Samin singkat. Jalur yang ia pilih melalui kereta Tanah Abang kemudian menuju ke Rangkas Bitung yang dilanjutkan menggunakan kendaraan umum, sisanya Samin berjalan kaki. “Berapa lama sampai kesini?”, tanyaku kepada samin. Ia kemudian menjawab, “Satu hari”. “Berapa biaya habis untuk diperjalanan?” kembali aku bertanya kepada Samin. “100 ribu rupiah, pulang pergi”, ujarnya hemat. “Belum sama makan dan minum,” Samin menambahkan.
Ia menjual madu hutan sebotol seharga 50 ribu rupiah, sedangkan madu hitam 75 ribu rupiah. Dibandingkan madu yang ditawarkan di toko serba ada dengan botol kecil yang berkisar di kisaran 50 ribu rupiah. Harga madu yang ditawarkan Samin sebenarnya cukup murah. Terlebih botol yang ia gunakan lebih besar dari botol madu yang ditawarkan beberapa toko serba ada. Rasanya sebanding, terlebih aku menjamin madu ini asli dari hutan dimana Samin tinggal yaitu di Badui Luar.
Namun Samin hanya membawa beberapa botol untuk dijualnya di Jakarta, paling banyak 8 botol. Botol madu yang ia gunakan dari bekas sirup, dimana terkadang dibalut pelepah kering batang pisang. Aku pun bertanya sambil menunjuk pelapis di botolnya, “Apa gunanya ini?”. “Botolnya biar gak pecah, karena beradu saat di jalan”, ia menjawab. Cukup masuk akal juga menurutku, memang sifat pelepah pisang ini sama seperti kardus, pengaman ketika botol itu berbenturan. Mungkin karena resiko dijalan juga maka samin tidak membawa banyak madu dagangannya, terlebih jalur yang ia tempuh tampaknya cukup berat juga. Padahal jikalau ia dapat membawa lebih banyak bisa jadi keuntungan dan rezeki yang ia dapatkan juga lebih besar.
Sejenak aku terbayang biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan Samin dibandingkan dengan harga madu yang ia tawarkan ke pada pelanggannya. Dari jualan madu Samin mungkin dapatkan uang 500 ribu, dikurangi ongkos 100 ribu rupiah belum ditambah makan dan minum selama perjalanan. Kurang lebih 400 ribu rupiah ia akan bawa pulang kerumahnya untuk menafkahi keluarganya di Badui sana.
Madu ini jadi berkah Samin dan keluarganya. Terlebih berkah ia menjual obat yang bermanfaat bagi manusia. Semoga rezeki Samin berkah, karena berkah buatku adalah cukup dan tidak kurang. Dan manfaat yang Samin bawa ke kita semua.
Tak lama setelah itu selembar uang pun berpindah ke Samin, dan aku putuskan membeli madu hitam bawaannya. Sebelum mengakhiri perbincangan ini aku mengambil beberapa foto dari Samin dan foto madu yang ia tawarkan. Siapa tau ada teman-temanku yang berniat membeli, bisa langsung sambangi di hari minggu pagi bertempat di Bazar STEKPI Kalibata. Siapa tau bisa langsung bertemu dengan Samin sang penjual madu Badui Luar. Atau mau yang berniat pesan dan menitipkan kepadaku juga boleh.