“Itu karena bayarannya kecil biasanya, makanya pematerinya telat,” lanjutnya kemudian seolah tak ada henti-hentinya ingin menumpahkan kegelisahannya itu. Bapak-bapak berbaju biru tua itu kemudian sejenak memperhatikan materi seminar yang dipaparkan oleh pemateri yang duduk di depan. Seolah ingin kembali mengatakan satu hal namun langsung saya sela karena tidak ingin perbincangan semakin larut pada soal pemateri yang menurutnya dibayar kecil itu.
“Sebenarnya tadi sih bukan karena pemateri loh pak, memang tadi undangannya yang tidak kunjung hadir,” sela saya seraya ingin memancing pada satu fokus permasalahan saja, “jam karet” mahasiswa, ya itulah tema perbincangan yang hendak saya arahkan dengan bapak berambut pendek itu. Perkataan saya kepadanya tidak terlepas karena realitas mahasiswa dan kedisiplinannya dalam hal waktu yang hampir pasti tidak pernah ontime.
“Ya itu karena merekanya saja yang tidak beres,” jawabnya singkat. Ia juga menuturkan bahwa sebenarnya hal itu merupakan masalah sepele. Namun karena banyak mahasiswa yang tidak terlalu memperdulikan, ngaretpun menjadi kebiasaan. “Mereka asal jadi saja sih, asal terlaksana acara, selesai,” tukasnya dengan nada yang sedikit menampakkan rasa kesal bercampur jengkel.
Tidak dapat dipungkiri memang, hampir di sebuah seminar-seminar, diskusi-diskusi, ataupun rapat-rapat yang diadakan oleh mahasiswa saat ini tidak pernah bisa ontime. Semua kegiatan-kegiatan, apapun bentuknya ketika diorganisir oleh kelompok mahasiswa hampir bisa di pastikan jadwalnya molor atu “ngaret”. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan “ngaret” yang sudah membudaya dikalangan mahasiswa.
Salah seorang mahasiswi UIN, Intan Aini mengatakan, budaya ngaret memang abadi dalam keseharian mahasiswa. Menurutnya, hal itu sulit untuk dihilangkan akibat persepsi yang turun temurun mengatakan bahwa bukan mahasiswa kalau tidak ngaret. “Susah mas, saya saja kalau mau datang ke seminar atau diskusi-diskusi seperti itu mikir-mikir dulu, pasti ngaret, karena buktinya memang selalu ngaret, dan semua mahasiswa kebanyakan berfikir seperti itu,” tuturnya pada saya.
Inilah yang kemudian menurut Intan (sapaan akrabnya) menjadi penyebab “jam karet” masih digandrungi hingga saat ini. Jam karet sudah merebak bak jamur yang tumbuh setiap musim acara yang diadakan oleh mahasiswa bergulir. Lantas bagaimana hal tersebut dapat diiatasi oleh mahasiswa?
“Pernah suatu ketika saya dan teman-teman mengadakan suatu acara diskusi, agar peserta bisa ontime, yang biasanya jadwal pukul sembilan, di undangan kami tulis pukul delapan, memang diskusi berjalan tepat pukul sembilan, tapi mahasiswa yang datang pukul delapan pada protes, dan itu tidak enak,” ceritanya. “Pada akhirnya ya sudah, pada acara-acara selanjutnya berjalan apa adanya, seperti biasa, ngaret,” timpalnya.
Berbeda dengan si Bapak yang memperkenal namanya Agus itu, menurutnya “jam karet” itu ada dan akan selalu ada karena mahasiswa yang selalu tidak serius dalam mengadakan acara seperti itu. “Merekanya saja begitu, sok sibuk dan sebagainya, ya gak bisa nyalahin peserta, mereka kan juga punya kesibukan. Lagian mengikuti seminar-seminar seperti ini kan bukan kewajiaban bagi mereka,” tutur Bapak yang mengaku dirinya asli Jogja dan tinggal di dekat JEC itu.
Melihat realitas itu, sepertinya, time is money hanya menjadi jargon semata dalam kehidupan mahasiswa saat ini. Ditengah arus zaman modern yang menuntut kedisiplinan dan manajemen waktu yang baik, mahasiswa justru masih terlena dengan “jam karetnya” yang terus dipakai tanpa kenal zaman. Maka tidak heran, jika pada akhirnya budaya seperti itu terbawa hingga ke kursi jabatan. Wakil rakyat di senayan sebagai contohnya yang selalu molor dalam rapat, itu akibat dari “jam karet” yang masih abadi hingga saat ini.