***
***
.
Langit. Tetap sama. Masih bertabur bintang disangga oleh dingin malam ini. Aku terbaring di sini menatap langit.
***
“Rey...”
Hening.
“Rey...”
Suara lirih itu kembali lagi. Dan dia di situ. Seorang perempuan bergaun biru melirihkan namaku. Rambutnya yang melambai seakan menarikku untuk menghampirinya. Wajahnya tak asing bagiku. Sepertinya aku mengenalnya di suatu waktu dan tempat. Entahlah.
“Apakah ini sebuah kejutan untukku, Rey?” dia mendekat.
“Aku..........”
“Aku senang kau kembali,” potongnya.
Semua penggalan ingatan kususun sebisaku untuk mengingat siapa dia. Aku gagal. Genggamannya di tanganku membuat aku mengikuti langkahnya melintasi hamparan rumput luas di perbukitan ini.
“Aku merindukanmu. Sebenarnya aku berniat datang padamu tapi kau tahu, tak mungkin aku meninggalkan tempat ini. Aku harus selalu berada di sini.” tuturnya.
Bulan yang hanya sepotong membuatku sulit melihat wajahnya. Tiada lagi hamparan rumput luas. Kami telah sampai di tepi ngarai terjal. Ngarai yang kukenali lebih dari aku mengenal telapak tanganku. Di sini aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku.
Sebersit kesadaran memecutku, “Maaf, aku tidak mengenalmu... Aku mungkin lupa....”
“Tahukah kau, Rey, betapa aku merindukanmu?” dia melangkah ke tepi ngarai, “Aku selalu mencintaimu...”
“Kau...”
“Sejak pertama kali aku mengenalmu,” dia mengabaikanku, “aku telah jatuh cinta kepadamu. Sampai saat ini pun aku masih mencintaimu betapapun kau telah menyia-nyiakanku.”
Aliran kata-katanya menyusup ke relung ingatanku, menarik satu kenangan.
“Oh Tuhan...” aku tercekat.
Dia adalah Vina, perempuan yang kunikahi sembilan tahun yang lalu. Perempuan yang setia mendampingiku sepanjang waktunya. Dia masih saja menunduk memandangi dasar ngarai yang gelap. Tangannya menggapai, menarikku ke sampingnya.
“Adakah kau masih mencintaiku, Rey? Adakah kali ini kau kembali untukku?” dia melirih kembali.
Genggaman tangannya yang semakin erat mengalirkan gelombang yang mendobrak kenanganku. Hari ini tepat sembilan tahun yang lalu aku menikah dengannya. Selepas acara pernikahan kami, aku membawanya ke sini. Juga di setiap ulang tahun pernikakan kami.
Pernikahan laksana perahu di tengah samudra. Terkadang badai hadir menyapa. Demikian juga pernikahanku. Badai menyapa seiring hadirnya seorang perempuan lain dalam pernikahan kami. Perempuan yang memabukkanku hingga aku mendorong pernikahanku ke garis akhir. Seperti aku mendorong Vina, istriku, ke dasar ngarai ini.
“Kau ingat semuanya, Rey,” desisnya.
Aku tersentak kembali dari kenanganku.
“Aku mencintaimu. Aku ingin kau selalu di sampingku. Selamanya,” dia mulai terisak.
Cahaya bulan terpantul dari matanya yang berkaca-kaca.
“Malam ini kau takkan pernah lagi meninggalkanku, Rey.”
Penyesalan mengambang di dadaku. Aku masih mencintainya. Lima tahun lalu aku melepasnya. Kali ini, adalah dia yang melepaskan genggamannya dari jemariku. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku. Bulir air matanya jatuh menitik. Air mata itu tumpah meninggalkan lubang besar di kedua matanya. Setiap titik air mata yang mengalir meluruhkan kulit pipinya, merontokkan daging wajahnya, meninggalkan tulang tengkorak yang putih. Tetesan air matanya jatuh di rerumputan bersama kedua bola matanya. Aku limbung ketika jemarinya yang kini tinggal belulang melepaskan jari-jariku.
***
Aku terbaring di dasar ngarai ini. Di atas batu di mana dulu dia terbaring dengan tubuh remuk. Aku diam dalam kubangan darah dan pecahan tulang-tulangku. Aku berusaha menatap langit meski pandanganku perlahan kian mengabur. Lalu gelap menyelimuti semuanya.