PPKM Darurat menjadi solusi yang dipilih oleh pemerintah demi menurunkan angka penyebaran virus Covid-19. Peraturan yang ketat ini diharapkan bisa menekan dan menertibkan kerumunan-kerumunan yang berpotensi untuk jadi tempat penyebaran virus. Restoran, warung, pedagang kecil di jalan sampai pekerja kemudian merasakan dampak dari diberlakukannya PPKM ini.
Dikunjungi di Kampung Nelayan Marunda, Jakarta Utara, Tumiran (56) menceritakan perjuangannya bertahan hidup dengan menjadi nelayan. Pria paruh baya yang sedang memperbaiki perahunya itu bercerita bagaimana awalnya ia bisa menjadi nelayan.
"Saya ini perantauan dari Sulawesi sejak 35 tahun lalu, pengin sekali hidup di Jakarta karena banyak mata pencaharian. Namanya rantau, hidup saya tidak terus-terusan mudah. Namun saya juga tidak mau kemana-mana." Ucap Tumiran.
Tumiran mengaku bahwa ia tak mampu sekolah tinggi, maka itu ia memilih menjadi nelayan.
"Saya berhenti sekolah dari sekolah dasar dan memutuskan menjadi nelayan. Kalau di darat saya harus sekolah tinggi, tapi kalau di laut yang penting punya nyali. Hehehe." Ujarnya.
"Ini kapal pribadi saya, punya sendiri ini. Dulunya punya abang saya, karena saya merantau ikut beliau. Begitu dia meninggal, yaudah saya teruskan jadi nelayan." Jelas Tumiran.
"Tuh mbak liat saja, namanya kapal tua ada aja penyakitnya. Perlahan-lahan saya jadi paham mesin kapal begini, karena kalau dibawa ke bengkel gak ada biayanya. Yang penting saya ngerti apa yang harus diperbaiki atau diganti." Ucap pria paruh baya itu.
"Apalagi pandemi begini mbak. Dikeseharian saja saya pas-pasan. Ditambah ada penyakit seperti ini sekarang. Selain itu, hasil menjaring saya juga tidak banyak, karena laut ini ada di sekitar Ibukota. Laut yang menjadi matapencaharian saya sering terkena imbas limbah pabrik. Ikan pada keracunan, tidak bisa dijual apalagi dikonsumsi. Kalau melaut lebih jauh lagi saya juga butuh biaya untuk bensin kapal." Jelasnya.
"Kalau nyelam juga saya pakai alat seadanya, akal-akalan si miskin saja, seperti rantai untuk pemberat biar bisa menyelam, dan alat bantu napas pakai selang seadanya. Hehehe. Yang penting ada tangkapan dan bisa jadi uang." Ungkapnya.
Alat selam tradisional yang digunakan Tumiran mampu bertahan hingga 1 - 3 jam. Sedangkan kedalamannya mampu hingga 10 meter.
"Saya menyelam cari ikan paling rendah dikedalaman 5 meter dan paling dalam dikedalaman 10 meter."
"Kalo saya takut, saya makan darimana? Cuma dengan begini saya bisa makan. Kalau di bawah laut, pagi itu terang airnya dan tidak ada gelombang. Itu memudahkan saya untuk mencari kerang." Lanjutnya.
Tumiran mengatakan bahwa pendapatan yang ia dapatkan di masa pandemi seperti ini tak sampai 100 ribu.
"Pendapatan sebagai nelayan kerang kalau lagi enak bisa sampai 500 ribu, kalo lagi pandemi begini paling 100 ribu sampai 50 ribu." Tegasnya.
"Kalau sudah selesai kerja ya saya tidur di perahu, kalau teman mampir ya ngobrol sama teman. Cari makan naik ke darat." Tambah Tumiran.
Tumiran mengaku senang menjalani profesinya sebagai nelayan kerang hijau, tanpa menyalahi takdir dan jalan hidupnya.
"Saya senang menjalani pekerjaan saya, kalau gak senang pasti sudah cari pekerjaan lain lagi. Karena senang, jadi jalanin aja, ikhlas jadi kuncinya." Tutupnya. (TA)