Buku SBY: Melawan Lupa Dirinya
Oleh Thamrin Sonata
SEPERTINYA pas, jika Jumat ini Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan sebuah buku. Di mana ia menyebutkan, bahwa bukunya ditulis sendiri. Judulnya? Selalu Ada Pilihan, SAP.
Apa isi buku yang menurut kata-kata Latin: Nescit vox missa reverti (kata yang telah dilontarkan tidak dapat ditarik kembali)? “Anggaplah buku ini hak jawab saya terhadap gunjingan, kritik, cemooh, bahkan fitnah yang saya alami selama memimpin (Indonesia) lebih dari sembilan tahun.”
SAP, mungkin akan menjadi sebuah cara untuk melawan lupa sebagai sebuah buku SBY. Meski persoalan penting, bahwa dalam menulis buku perlu sebuah kehati-hatian yang sangat kendati ini era yang lebih hebat: digital. Namun sebagai cara untuk merekam, melalui teks – walau sebenarnya bisa digantikan dengan cara digital: direkam dengan suara dan gambar lalu disebarkan. Ini era teknologi informasi yang massif.
Buku yang sebenarnya dijanjikan diterbitkan tahun lalu, 2013, baru di Januari 2014 saat sudah memasuki Tahun Politik, ada Pemilu dan Pilpres. Jika apa yang dicuplik penulisnya di atas sebagai counter ia selama menduduki Kursi RI Satu: melawan yang disebut sebagai hak jawab, tentu menarik. Bahwa selalu ada pilihan bagi penulisnya. Selalu ada iringan sebuah jawaban “politis”. Dan itu, sah. Mengingat ia Ketua Umum Partai Demokrat.
Mungkin Anas Urbaningrum, AU, pun perlu diingat. Sebab, ia saat awal masuk ke Demokrat atas tawaran SBY, (sudah) menulis buku, “Bukan Sekadar Presiden – Daya Gugah SBY Sebagai Seorang Pemimpin”. Jelas, beda AU saat itu dengan saat ia sudah ditetapkan sebagai tersangka KPK dalam Proyek Hambalang dan, ia kemudian menjadi Ketum yang digantikan oleh SBY. Jika saat itu AU begitu “memuja” SBY dan sekaligus KPK, kali ini tentu tidak. Kenapa? Sebab, kali ini AU sudah melontarkan, bahwa buku dirinya barulah halaman awal dan akan ada halaman dua dan seterusnya. Akan berjilid-jilid. Apakah itu sebuah ancaman? Entahlah. Meski bisa jadi, ya. Buktinya, SBY sekarang akan menebarkan perlawanan dalam sebuah buku sepertinya disebutkan sendiri: sebagai hak jawab.
Perang buku? Mestinya lebih menarik. Apa pun pasalnya. Sebab ini menyangkut masalah intelektualitas. AU disebut-sebut sebagai politikus cerdas, sehingga berani melawan Gajah di tahun-tahun SBY punya kekuasaan penuh. Atau justru sebaliknya? Mengingat kekuasaan SBY sudah di ambang habis. Entahlah pula.
Buku SBY, SAP, akan menjadi penanda. Bahwa negeri ini belum juga lepas dari bayang-bayang kekuasaan dari luar negeri ini. Sehingga pertentangan-pertentangan di dalam negeri ini semestinya “kecil” bila dibandingkan dengan tekanan dari seorang AU politikus cerdas sekalipun. Atau siapa pun, ketika menulis buku politik. Namun, apa pun baguslah kalau seorang pemimpin tertinggi Negara – yang menyebut menulis di sela-sela keheningan malam atau dalam penerbangan tugas Negara – membuahkan buku sebagai rujukan bagi yang membacanya. Sebagai melawan lupa. Sebab, lima tahun lalu ia dengan mudah untuk meraih kursi RI-1 walau ia “dikeroyok”. ***
catatan: cover buku sebagai ilustrasi, di mana penulis menuliskan tentang SBY menjelang Pilpres 2009