Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Ke Tegal Naik Kereta Api Ekonomi

20 Februari 2014   14:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 608 0
Interior dalam gerbong. Cukup bersih. Pas penumpang. Gak ada yang berdiri. (foto-foto:TS) *

NAIK Kereta api menjadi pilihan bijak, kurasa. Ya, di saat hujan deras, banjir dan mengakibatkan jalan-jalan Pantura (Pantai Utara Jawa) di banyak wilayah ambrol: berlubang dan macet di banyak titik. Sulit untuk membayangkan jarak Jakarta-Cirebon ditempuh lebih dari sepuluh jam, seperti berita yang kuikuti di berbagai media, mainstream maupun sosial. Jadilah, ke Pemalang dengan Kereta api.

Persoalan naik kereta api, tidak bisa seperti sebelum era 2014 sekarang ini. Di mana kuota tempat duduk menjadi penting. Maka ke jasa penjualan tiketlah saya, ke sana. Kereta-kereta api pun dijelajah oleh operator mini market. Dan ketemunya: Tegal Ekspress. Jadi, nanti mesti nyambung ke arah timur, Pemalang. Juga naik KA yang musti berangkat dari Stasiun Senen. Padahal, rumahku di Pondok Gede. Tak bisa menawar naik dari Stasiun Jatinegara, misalnya. Mana berangkatnya pukul 6 pagi lebih sedikit lagi. Tak apalah. Ini karena darurat. Mendadak.

Apa boleh buat. Jadilah dari Stasiun Bekasi, naik commuterline – ke Stasiun Senen – ketika hari baru terang tanah. Transit di Stasiun Jatinegara, dan disambung ke Stasiun Senen, cukup dengan membayar Rp. 3. 000, 00. Tibalah di sana, dan menukar struk dari penjual jasa di mini market ke loket di Stasiun itu. Waktu mepet, tak sempat membeli bekal. Langsung masuk ke dalam, di mana perlu mengacungkan tiket plus KTP segala.

Eh, ternyata kereta api belum ada. Masih saja lelet alias nggak on time. Dan itu kugunakan untuk ke luar sebentar untuk mendapatkan minuman plus roti untuk mengganjal perut Jawa ini. Ya, mengingat di dalam tak ada lagi yang namanya kantin, warung apalagi pedagang asongan. Diperbolehkan petugas, dengan catatan mesti menitipkan tiket dan nanti bisa diambil dengan memperlihatkan KTP lagi. Hm. Ribet. Tapi, ah, biasalah. Ini sebuah aturan bagus, kok. Dan baru.

Penumpang khas KA ekonomi. Barang bawaan memberengkut. (foto:TS)

Tegal Ekspress, sebuah KA ekonomi. Namun jangan membayangkan kumuh seperti tiga-empat tahun lalu. Setidaknya, dengan tiket rata-rata Rp. 60. 000, berpendingin AC. Walau, ini belum bisa mengubah banyak perilaku penggunanya. Ini, misalnya masih gemeruduk, bingung mencari tempat duduk – yang mestinya nggak bakalan tertukar – karena sudah menggunakan system on line. Celoteh yang ramai, dan barang yang digondol para penumpangnya menjadi pemandangan khas kereta jenis ini. Ya, saya faham betul perihal kereta api, mengingat tempat tinggal saya hanya sepelemparan batu dengan Stasiun KA di Pemalang. Bahkan saya sempat menuliskan novel “Anak-anak Kereta Api” pada tahun 1984.

Saya yang ringkas bawaan, meletakkan tas berisi lap top di bagasi di atas kepala. Lalu duduk dengan mendengar celoteh khas bahasa pesisir tengah Jawa Tengah, “Bapane nang kene, kiyeh” – Bapaknya di sini, kok. Maksudnya ketika ada wanita terpisah dan kepreh-kepreh alias heboh kebingungan.

Aku tersenyum.

Lalu muncul empat lelaki berhidung mancung dengan kulit keling, rada-rada hitam. Entah kenapa, ia menjujuknya ke saya. Sambil memperlihatkan tiket, ia, “excuse me … number nine a,b, c, d ….”

Penumpang dari India. Tepekur, tertidur. Nehi-nehi. (foto:TS)

Kubenarkan, dan lalu kutunjukkan di mana bangku di depanku. Tapi, mereka yang mestinya di seberang seorang (tiket 9 d), diduduki dua orang (tiket e). Dan dua orang lainnya (a,b,c) di depanku. Bukan tiga. Kuberitahu agar berpindah pun, tak digubris. Mungkin ia tak paham, seraya asyik berceloteh dengan bahasa yang asing di telinga – meski mirip-mirip pelakon di film Bollywood.

“Excuse me … number nine e?” kata seorang wanita berjilbab kepadaku.

Haduuuh. Dikira aku kawan mereka, ya Mbak?

Namun kujawab dengan sebaik-baiknya. Juga dengan bahasa Inggris, terpaksa. Dan wanita yang membawa sekotak donat dari produk terkenal itu, terpaksa bertukar dengan para India yang berusia antara 25-30 an itu.

Glung-glang, glung-gleng. Kereta mulai bergerak. Tidak dengan kepanasan. Ada AC. Aku sempat membaca Koran dan majalah TEMPO yang kubawa dari rumah. Sesekali mengudap roti yang kubeli di mini market di Stasiun Senen serta kutenggak minuman kaleng. Ah, ini sudah bukan era es teh di gelas yang dijual secara asongan atau pegawai restorasi KA.

First aid Box, petunjuk atau peta tujuan dan larangan-larangan di KA. (foto:TS)

Banyak perubahan dari KA ekonomi yang kunaiki ini. Termasuk ada kotak PPPK atawa first aid box di dekat pintu sambungan kereta. Lalu, kulongok paturasan (baca: WC), yang relatif lumayan. Lha, sudah ber-AC masak masih mampet krannya. Ada tisu di situ.

Waktu tempuh Cirebon pun, relatif mulus. Mengingat rel ganda sudah lama berfungsi, sehingga hanya di bilangan 3 jam lebih sedikit. Hanya, berhentinya di Stasiun Prujakan, bukan di Stasiun yang difungsikan untuk naik-turun KA bisnis dan eksekutif.

KA bergerak ke timur, dan sesekali berbincang dengan wanita berjilbab. Tidak dengan bahasa Inggris lagi, tentu. Sementara empat jagoan India dengan tata krama Bollywood, minta ke wanita muda berjilbab untuk mensetting HP-nya. Caranya pun “kasar”, semisal, “Hello … face book …!” Maksudnya agar si Mbak berjilbab itu membantu mensetting FB di HP-nya.

Ternyata empat India-man itu sampai ke Tegal. Dengan terus bertanya ke aku. “Two hours ...  more,” kataku sekenanya. Mereka egois. Dengan menyetel lagu-lagu nehi-nehi dari negerinya keras-keras. Tanpa peduli penumpang di depannya, ada anak balita.

Tiba juga di Tegal, kota Jepangnya Indonesia. Lalu aku bergegas naik becak. Untuk nyambung ke Pemalang 29 km lagi. Kurang dari sejam. “Ah, naik KA ekonomi sekarang. Dalam keadaan mendesak, beginilah,” desisku. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun