Selama tiga tahun yang lalu, semenjak pemerintahan Aceh (Irwandi-M.Nazar) dilantik menjadi menjadi kepala pemerintahan di Aceh, sampai hari ini belum menunjukkan perubahan yang signifikans apalagi sesuai dengan visi-misi pada saat mencalonkan diri sebagai calon gubernur.
Perubahan yang signifikan sebagaimana yang dijanjikan dan juga harapan dari seluruh rakyat Aceh, belum terlaksana secara maksimal dalam kurun waktu tiga tahun ini. Kondisi inilah yang telah melahirkan berbagai catatan yang semakin berserak di setiap sudut kota dan lorong-lorong desa. Catatan-catatang keresahan, dan protes yang terus terjadi tidak pernah direspon secara positif oleh pemerintah, malah catatan ini dijadikan momok bagi pemerintah. Kondisi ini telah melahirkan sikap paranoid dan anti kritik dari pemerintah yang kemudian mengkristal menjadi sikap yang cendrung anti demokrasi.
Protes dan kritik semakin terasa, setelah jumlah pengangguran mulai meningkat kembali, hal ini sejalan dengan teori bernegara, dimana protes dan kritik akan semakin mengkrital, jika warga Negara semakin tidak bisa mendapatkan kepuasan dalam bernegara, bahkan merasa di diskriminasi dalam bernegara, karena ada warga Negara kelas satu dan warga Negara kelas dua.
Meningkatnya pengangguran, di Aceh semakin terasa, setalah BRR, NGO Internasioan dan UN mulai menutup kantor atau berakhir masa tugasnya di Aceh. Kondisi ini telah mengakibatkan begitu banyak tenaga kerja kontrakan, yang harus di PHK khususnya yang berasal dari Aceh. Peningkat jumlah pengangguran yang selama ini tidak pernah di selesaikan secara konperehensif oleh pemerintaha Aceh, melalui pembukaan lapangan kerja.
Lapangan kerja sekarang tidak jauh berbeda dengan Aceh sebelumnya, yaitu PNS, Kontraktor, Petani, Nelayan dan perdagangan biasa lainnya, yang sedikit berbeda paska pemerintahan IRWANDI-NAZAR adalah adanya Polisi Hutan, walaupun pola perekrutannya penuh dengan berbagai masalah. Dari kondisi yang saya gambarkan diatas jelas menunjukan belum ada perubahan yang signifikan.
Apalagi kalau kita milihat kondisi pertaniaan, malah banyak masyarakat desa yang tidak mau menyebut sektor pertanian sebagai lapangan kerja, hal ini mengingat penghasilan di sektor ini sangat kecil malah sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk kepentingan yang lebih luas. Pada hal hampir semua kita mengetahui, kalau kondisi global sekarang sedang mengalami krisis pangan.
Seharusnya kondisi ini bisa menguntungkan Aceh, bukan menjadi masalah. Hal ini dikarenakan masih banyaknya lahan pertanian-lahan tidur. Keadaan ini berbeda dengan Negara lain, dimana lahan pertaniannya telah terkonversi ke industri. Namuan pemerintahan Aceh tidak melihat ini sebagai sebuah peluang dalam menggerakkan perekonomian Aceh. Sehingga sektor pertanian tidak di jadiakan leading sector. Malah yang lebih mengherankan sampai saat ini selain sektor pertanian, sektor lain pun tidak dijadikan leading sector. Ibarat orang baru sembuh dari sakit " semua makan enak dan semuanya mau di coba-dan hasilnya tidak ada yang habis dimakan", itulah kondisi atau kebijakan ekonomi Aceh saat ini.
Hal ini tercermin dalam politik anggaran selama empat tahun ini, yang tidak memiliki prioritas. Padalah kalau dilihat dari jumlah populasi di Aceh, mayoritas adalah petani dan nelayan, maka seharusnya alokasi anggaran yang paling besar adalah untuk sektor pertanian dan perikanan, namuan faktanya, alokasi anggaran yang besar adalah untuk belanja apparatus Negara (pejabat)-padahal kalau mau jujur jumlah pejabat di Aceh tidak melebihi 10 persen jumlah penduduk Aceh.
Kondisi inilah yang telah melahirkan berbagai celotehan baik dari sudut kota maupun dari lorong-lorong desa. Sampai hari ini pemerintahan Irwandi-Nazar belum memberikan sebuah perubahan yang signifikan dan nyata bagi rakyat Aceh. Malah kondisi saat ini secara ekonomi masih sama seperti sebelumnya.
Pengangguran yang masih tinggi, telah secara otomatis akan mengakibatkan kemiskinan yang semakin meluas. Akibat tingginya angka pengangguran, maka tidak mengherankan kalau setiap tahun begitu banyak masyarakat Aceh yang memperebutkan kursi PNS dalam berbagai formasi. Hal ini menunjukkan belum adanya lapangan kerja baru di Aceh di luar PNS. Kalau dilihat secara makro, sistem ekonomi yang diterapkan saat ini sama saja dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah sebelumnya yaitu pro pasar, bukan pro poor, pro keadilan dan pro pemerataan.
Dari gamabaran diatas telah menunjukkan belum ada satu perubuhan atau terobosan yang baru dari pemerintah Irwandi-Nazar. Kalaupun politik balas budi kita anggap terobosan baru, maka politik balas budi melalui Kredeit Peumakmu Nanggroe (KPN)-kredit untuk kemakmuran negri, juga mengalami banyak masalah, hal ini juga terjadi di berbagai Negara yang menerapkan politik balas budi. Atau ada yang mengatakan terobosan pemerintah Aceh adalah memberikan beasiswa kepada mahasiswa dan siswa kurang mampu (miskin), ini bukan terobosan baru, mengingat pemerintahan sebelumnya juga melakukan hal yang sama. Jadi apa terobosan baru pemerintah Irwandi-Nazar atau apa kesuksesan pemerintahan Irwandi-Nazar yang patut dibanggakan. sampai saat ini belum terlihat, atau memang kita tidak mengetahuinya, kalau memang kita tidak mengetahuinya, maka seharusnya tugas pemerintah memberikan informasi kepada publik.
Karena yang diketahui publik saat ini adalah daya serap anggaran yang lemah, rendahnya harga beli hasil pertnian rakyat, banyaknya sekolah yang kondisi fisik tidak layak, kuwalitas pendidikan masih rendah, malah lulusan di unsyiah lebih banyak dari luar Aceh, kondisi kesehatan masih meprihatinkan. Masih kurangnya energy di Aceh, dan masih banyak infastruktur jalan dan irigasi yang belum selesai. Itulah kondisi umum yang dipahami oleh publik Aceh?
Keadaan ini telah melahirkan protes dan kritik dari berbagai sudut kota dan lorong-lorong desa, terhadap kinerja pemerintahan Aceh saat ini. Kritik ini tidak pernah dijawab dengan kerja nyata untuk melakukan perubahan. Namun kritik ini di jawab dengan teror putih sebagai pledoi pembelaan. Kalaupun pemerintah telah banyak melakukan perubahan, yang tidak diketahui oleh rakyat di sudut kota dan lorong-lorong desa, berarti pemerintah Aceh telah gagal dalam membangun komunikasi publik, khususnya dengan berbagai elemen yang selama ini terus memberikan kritikan.
Akhirnya suara kritis dari sudut kota dan lorong-lorong desa, harus dijawab dengan tindakan yang sedikit anti demokrasi, dan membiarkan perekonomian Aceh stagnan, tanpa perubahan.