Keberpihakan Ribka terhadap konsumen kesehatan nampak dalam berbagai statement-nya di media massa. Ribka bertekad, bila dia menjadi menteri kesehatan, tidak boleh ada penyedia layanan kesehatan, dokter ataupun rumah sakit, yang menolak merawat pasien. Menurutnya, penyedia layanan kesehatan yang menolak pasien dapat diancam pidana.
Seperti telah menjadi keniscayaan trend yang makin menguat belakangan ini yang menunjukkan bahwa penyedia layanan kesehatan dan masyarakat berada di dua ujung pertarungan yang berbeda, berhadap-hadapan. IDI menganggapnya menghina profesi kedokteran. Salah satu statement-nya yang mengundang reaksi keras IDI adalah ketika dia mengatakan bahwa dalam banyak hal dan kesempatan dokter lebih jahat dari polisi lalu lintas. Ribka juga mengkritik para dokter yang dikatakannya telah menjadi pedagang dan kehilangan idealisme sumpah dokter.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada sebagian kandidat Menteri Kesehatan yang juga muncul, yang salah satunya juga guru saya di UGM, seperti Prof. Ghufron, Prof. Akmal dan Prof. Fasli, Ribka memberi warna tersendiri dalam diskursus calon MenKes ini karena kontroversi-nya yang marak di tengah masyarakat. Ketiga calon lainnya nampak "lurus-lurus saja", sejalan dengan mainstream, sehingga kurang menarik dibahas.
Tulisan ini berusaha mengupas berbagai isu dan kontroversi diseputar Ribka dan mengaitkannya dengan kelayakannya menjadi MenKes. Sebagian saya ambil dari diskusi yang saya mulai di wall facebook saya (www.facebook.com/teguhharyo.sasongko). Terima kasih untuk teman-teman yang sudah urun rembug dalam diskusi tersebut.
1. Ribka bercita-cita membuat peraturan pemerintah yang dapat mempidanakan Rumah Sakit dan penyedia layanan kesehatan lainnya yang menolak merawat pasien. Landasan hukum atas ide peraturan pemerintah ini terdapat dalam UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009. Ide ini menjadi favorit masyarakat umum pengguna layanan kesehatan, tentunya. Sejalan dengan ide ini, Ribka perlu memberi evaluasi yang adil dan obyektif mengenai kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia kesehatan. Tidak adil memberi ujian phytagoras pada seorang murid taman kanak-kanak. Lelucon.
2. Beberapa statement-nya terkesan sangat memojokkan dokter, sehingga membuat berang IDI. Dokter pedagang, dokter kehilangan idealisme sumpahnya, dokter lebih jahat dari polisi lalu lintas, dsb. Jika ini saya bundle jadi satu dengan kecenderungan ideologi dan ide-ide kerakyatannya (saya tidak akan mengatakannya "komunis"), Ribka seolah-olah ingin mengatakan bahwa dokter dan seluruh sistem kesehatan di Indonesia seharusnya diposisikan semata-mata sebagai alat negara, atau alat produksi. Sampai sini, paham ini kelihatan sangat Marxis, jika benar ini posisi yang diambil Ribka.
3. Paham ini, jika benar konsep ini dianut Ribka, tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Di Indonesia, sebagian besar dokter membiayai sendiri biaya kuliahnya hingga menjadi spesialis atau sub-spesialis. Beberapa diantaranya bahkan dengan biaya yang fantastis. Situasi ini diketahui publik secara umum. Negara hampir-hampir tidak punya andil dalam membiayai pendidikan dokter hingga spesialis. Sehingga wajar saja jika dikatakan bahwa negara juga hampir-hampir tidak punya hak meng-klaim layanan penuh dari seorang dokter, atau menjadikan dokter secara penuh sebagai alat negara. Dalam konteks ini sesungguhnya para dokter memiliki hak penuh untuk menetapkan tarif layanannya atau menyerahkannya pada mekanisme pasar. Kerelaan para dokter melalui organisasi profesinya untuk menegosiasikan tarifnya dalam skema sistem kesehatan nasional patut diapresiasi sebagai itikad baik para dokter untuk turut serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
4. Ribka tersandung masalah ketika memimpin panitia kerja DPR yang menyusun RUU Kesehatan. Dia dituduh menghilangkan salah satu ayat yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR ketika naskah RUU tersebut akan dimasukkan dalam Lembaran Negara. Ayat tersebut berisi statement mengenai tembakau sebagai salah satu zak adiktif. Berkaitan dengan hal ini, merebak pula sinyalemen keterkaitannya dengan industri rokok dan petani tembakau. Tentu dia membantah, tapi itu tidak begitu penting. Sempat beredar kabar bahwa dia ditetapkan sebagai tersangka. Berita ini dengan segera dibantah Bareskrim Polri. Insiden ini juga membuat BK-DPR melarangnya dari memimpin panitia kerja atau panitia khusus. Pun, LSM sekelas ICW turut menudingnya melakukan perbuatan ini. Saya sendiri setuju bahwa jika dia terbukti melakukan perbuatan ini maka dia tidak layak menjadi pejabat publik. Tapi ini juga tidak begitu penting, sebab kalau dia terbukti melakukan hal ini, tentunya dia sudah masuk penjara sehingga memang tidak bisa memegang jabatan publik. Saya melihat tuduhan ini sulit di-verifikasi kebenarannya, selain bahwa lembaga sekelas BK-DPR dan ICW mengamini-nya.
5. Ada yang menuduhnya seorang perokok berat sehingga tidak pantas menduduki kursi pejabat tinggi publik yang sepatutnya bekerja mempromosikan hidup sehat. Pada tahun 2012 sebuah berita menunjukkan bahwa Ribka mengaku DULU merokok tapi sekarang (2012) tidak merokok lagi. Sulit melakukan verifikasi mengenai hal ini, apakah dia sekarang masih merokok atau tidak. Tapi yang jelas, memang kelihatan sekali janggal menjadikan seorang perokok sebagai Menteri Kesehatan, jika benar Ribka sekarang masih merokok. Bisa jadi bahan lelucon secara internasional.
6. Statement-statementnya di media massa terlihat mendukung petani tembakau. Tapi belum saya lihat dia punya kepentingan bisnis dengan industri rokok. Saya lebih melihat statement dukungannya itu sebagai manifestasi ideologi-nya yang “keburuh-buruhan”. Setiap jiwa yang waras tentu mudah saja melihat bahwa “petani” dan “tembakau” adalah dua hal yang bisa dipisahkan dengan strategi kebijakan yang tepat dan kesabaran. Selain itu, toh, petani tembakau dan keluarganya adalah kelompok dengan risiko kesehatan dan ekonomi paling tinggi dalam mata rantai industri rokok. Hal ini sudah diketahui orang banyak. Saya pernah menulis mengenai hal ini disini : http://health.detik.com/read/2013/06/24/104437/2282001/763/rusaknya-dna-akibat-tembakau-risiko-terbesar-pada-petani-dan-keluarga?l771108bcj. Ribka perlu lebih jernih melihat persoalannya. Tidak perlu terlalu fanatik “keburuh-buruhan”.
7. Ribka dituding meremehkan pentingnya air susu ibu (ASI), ketika dia memberikan statement bahwa PP mengenai layanan kesehatan (yang dapat mempidana RS jika menolak pasien) jauh lebih penting dari PP ASI. Dalam kesempatan lain dia juga diberitakan memberikan statement bahwa ASI adalah sumber gizi terpenting bagi bayi dan tidak tergantikan. Dari kedua situasi ini cukup jelas bahwa Ribka bukannya meremehkan pentingnya ASI, tapi mendukung urgensi PP layanan kesehatan. Ini kelihatan seperti statement yang konteks-nya dipelintir.
8. Masyarakat (konsumen maupun penyedia layanan kesehatan) secara umum ngeri dengan buku Ribka yang berjudul "Aku bangga menjadi anak PKI". Sebagian hanya pernah melihat judulnya. Tapi, bukankah PKI masih jadi organisasi terlarang ? Tangkap saja Ribka kalau dia PKI. Gitu aja kok repot. Jika diatas saya sebut terdapat kemungkinan pahamnya yang nyerempet Marxism, dalam situasi Indonesia yang sekarang ini nama itu tinggal sekedar label yang lumpuh. Kalau tidak suka, tinggal diganti saja namanya yang terdengar nyaman, 'kerakyatan' misalnya. Dan sekali lagi, tangkap saja Ribka kalo dia komunis Marxis.
9. Jika dilihat pilihan politik penentangnya dari kalangan profesi-profesi kesehatan, mereka berasal dari kedua kubu Capres. Jadi profesi kesehatan yang menentang Ribka sebagai MenKes berasal dari mereka yang mencoblos Jokowi maupun mereka yang mencoblos Prabowo. Hampir menyeluruh.
Akhirnya, saya fikir, Ribka adalah calon MenKes yang menarik untuk diberi kesempatan. Saya tidak akan mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa dia LAYAK. Tapi saya fikir isi kepalanya menarik, diluar mainstream dan ada harapan sesuatu yang baru dan lebih baik didalamnya. Mirip-mirip dengan premise kenapa sebagian besar rakyat memilih Jokowi sebagai Presiden. Dalam kaitan ini, ide debat antara Ribka dengan IDI adalah ide yang bagus sekali. DBI, Dokter Indonesia Bersatu, juga perlu diikutsertakan dalam debat ini.
Saya fikir Jokowi memiliki "cadangan" politik yang cukup besar untuk bereksperimen dengan posisi Menteri Kesehatan ini. Perhitungan risiko dan manfaatnya untuk saat ini menunjukkan feasibilitas menempatkan Ribka sebagai MenKes, asalkan Jokowi bisa cukup sensitif dan aktif mengenali dinamika masyarakat dari waktu ke waktu.
Toh, mengganti seorang MenKes tidak susah susah amat. Toh, juga, bukankah keseluruhan ide dari sistem demokrasi adalah suatu permainan kucing dalam karung? Berapa gelintir manusia yang masuk bilik pencoblosan dan memiliki pemahaman yang baik mengenai kandidat yang dicoblosnya ? Kalau kita berani melakukan itu untuk Presiden dan Wakil Presiden, kenapa tidak untuk sekedar Menteri Kesehatan yang bisa mudah saja diganti dalam hitungan hari, minggu atau bulan ?
Kota Bharu, 1 Agustus 2014