Mengacu pada data yang disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2019 lalu, jumlah pemilih perempuan mencapai 93.994.722. Namun, tingginya angka pemilih perempuan itu masih belum diikuti oleh peningkatan kualitas caleg perempuan yanga akan dipilih. Disadari atau tidak, meski sudah mencapai kuota 30 persen sebagaimana diamanatkan oleh undang undang pemilu, secara kualitas para caleg perempuan itu masih jauh dari harapan. Adanya nama nama caleg tersebut terlihat hanya untuk memenuhi persyaratan administratif belaka.
Saat ini, jumlah keterwakilan perempuan di DPR RI adalah 118 atau lebih kurang 20 persen dari total anggota DPR yang beranggotakan 575 orang. 118 anggota DPR RI perempuan itu berasal dari berbagai daerah pemilihan dan latar belakang partai politik. Saya sendiri berasal dari Partai Keadilan Sejahtera dan Daerah pemilihan Sumatera Barat 2. Namun jika ditotal jumlah anggota parlemen perempuan di DPR dan DPD RI saat ini, total jumlah anggota parlemen perempuan adalah 167 orang.
Berbicara mengenai partisipasi politik perempuan, tentulah tidak bisa dilepaslan dari banyak hal termasuk membahas tentang kinerja poltisi perempuan di parlemen untuk memperjuangkan hak dan kekhususan bagi kaum mereka. Namun demikian, pekerjaan rumah yang utama adalah masih adanya "kekerasan dan diskriminasi politik" yang masih dialami oleh calon dan anggota legislatif perempuan yang justru menghambat mereka untuk memberikan lebih banyak warna dan perubahan pada dinamika politik Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah langkah yang terukur untuk mengatasi diskriminasi dan kekerasan politik tersebut.
Pekan lalu, dalam sebuah diskusi yang bertajuk "Aksi Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan" yang digelar di Jakarta saya menekankan pentingnya penghentian kekerasan berbasis gender di politik. Saya berpandangan bahwa untuk menciptakan keseteraan politik bagi perempuan yang perlu dan mendesak dilakukan adalah sesegera mungkin memenuhi hak politik mereka termasuk memberikan ruang berpolitik yang lebih ramah, lapang dan akomodatif.
Oleh sebab itu, adanya deklarasi "Anti Kekerasan Politik dan Kekerasan Pada Perempuan di Ranah Politik" mestilah dijadikan sebagai agenda utama yang harus sama sama didukung. Salah satu cara untuk mewujudkan dukungan itu adalah dengan menghilangkan instrumen regulasi  yang selama ini menjadi hambatan bagi perempuan Indonesia berpolitik.
Tanpa bermaksud melemahkan peran kaum lelaki dalam mengatasi persoalan perempuan, namun seyogyanya hak hak dasar kaum perempuan harus ditindaklanjuti oleh kaum perempuan itu sendiri. Itulah kenapa penambahan jumlah kursi bagi anggota leislatif perempuan mendesak direalisasikan.
Deklarasi itu juga memberikan pesan khusus bahwa kekerasan kepada perempuan baik dalam kehidupan sehari harus dilawan dengan segala cara termasuk menggunakan jalur politik dan penyusunan kebijakan. Perlindungan terhadap perempuan di dunia politik mesti dijaga terutama dari segala bentuk tindak kekerasan yang menafikan peran dan keberadaan mereka sebagai warga negara yang turut aktif berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilkada.
Tentu saja menyelesaikan pekerjaan rumah itu menjadi tugas kita bersama. Namun demikian, jauh lebih penting saat ini adalah meningkatkan kapasitas anggota DPR/DPRD agar mampu aspirastif dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat di semua level lembaga perwakilan.
Keputusan politik untuk meratifikasi aturan terkait pemberian peran yang lebih besar kepada kaum perempuan sudah dilakukan oleh Pemerintah RI sejak tahin 1984 dengan terbitnya Undang undang Nomor 7 Tahun 1984 ini. Dengan keberadaan UU tersebut, Indonesia telah mengesahkan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Namun harus pula diakui bahwa keberadaan aturan yang sudah lama ditetapkan itu hanya bersifat instrumentalis semata. Pada kenyataannya, keterwakilan perempuan di pentas parlemen dan pemerintahan sangat ditentukan oleh kualitas dan kekuatan kaum perempuan dalam meyakinkan publik dan pemilih bahwa meski menyandang kodrat sebagai Ibu, kaum perempuan juga bisa dan mampu menjalankan peran dan fungsi yang jamak dijalanka oleh kaum Adam.
Pada dasarnya, ada banyak faktor pendorong saat ini yang dapat dijadikan sebagai penyemangat Kaum Hawa bahwa mereka juga mampu dan sudah banyak diberi kepercayaan untuk menduduki jabatan publik mulai dari anggota parlemen di tingkat nasional maupun daerah.
Kaum perempuan Indonesia patut berbangga hati dengan adanya nama semisal Puan Maharani (Ketua DPR RI), Retno Lestari Priansari Marsudi (Menteri Luar Negeri), Siti Nurbaya Bakar (Meneg Kehutanan dan LH) , serta Sri Mulyani Indrawati yang menduduki posisi sebagai Menteri Keuangan selama beberapa periode kepemimpinan di tanah air.
Saya teringat pernyataan Direktur Pusat Gender dan Demokrasi di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES, Julia Suryakusuma PhD yang  mengatakan bahwa meski banyak dan secara kuantitatif serta kualitatif sudah lebih baik, berbagai aturan hukum yang dibuat itu tidak serta merta menambah jumlah perempuan atau menambah jumlah kebijakan pro-perempuan.
Oleh sebab itu penghapusan kekerasan kepada perempuan tidaklah menjadi domain dan ranah bagi satu kelompok saja. Penghapusan kekerasan bagi perempuan adalah ranah bersama dan harus dilakukan secara berkesinambungan dalam kerangka kerjasama untuk memberikan kaum perempuan haknya memperjuangkan nasib tanpa melupakan kodrat sebagai perempuan/Ibu dan Isteri.
Legislasi Lemah Karena Jumlah Anggota Parlemen Perempuan Sedikit ?
Sebelumnya, Lembaga penelitian The Indonesian Institute pada tahun 2021 silam mengeluarkan hasil kajian dan penelitiannya yang menemukan fakta bahwa representasi kaum perempuan di panggung parlemen masih jauh dari ideal. Dalam sebuah diskusi daring yang dilaksanakan lembaga riset tersebut terungkap data bahwa selama tiga periode pelaksanaan Pemilu Legislatif keterwakilan Kaum Perempuan dalam Parlemen masih dibawah 21 persen dan belum ada yang ditempatkan sebagai komponen strategis. Barulah pada periode 2019 - 2024 ini, beberapa nama nama kaum hawa menempati posisi sebagai Ketua DPR-RI dan Ketua Komisi yaitu Yang Terhormat Ibu Puan Maharani (FPDI-P) sebagai Ketua DPR dan Ibu Meuthia Hafidz (FPG) sebagai Ketua Komisi I.
Saya mengakui bahwa komposisi kaum perempuan di parlemen masih jauh cukup. Hal itu kemudian menyebabkan banyak fungsi fungsi keterwakilan perempuan tidak berjalan secara maksimal. Sehingga dalam penyusunan regulasi yang berkaitan dengan hak hak politik kaum perempuan harus sering terhambat.
Namun keterbatasan dan kekurangan itu tidak akan menyurutkan arah dan perjuangan kaum perempuan untuk memberi dan melayani rakyat semaksimal mungkin. Secara khusus, kami dari Partai Keadilan Sejahtera sendiri telah memberikan kesempatan yang sama kepada caleg laki laki untuk bersosialisasi kepada pemilih dan meraup dukungan sebanyak banyaknya dengan menyampaikan program kerja partai kepada pemilih di dapil masing masing.
PKS telah memberikan porsi yang sesuai kepada kaum perempuan dan anggota legislatif mereka untuk kaum perempuan. Pemenuhan kuota perempuan dalam daftar caleg PKS serta peran peran yang diberikan serta diamanahkan sudah memadai dan disesuaikan dengan amanat Undang undang.
Yang paling penting adalah jika membahas peran serta kaum perempuan dalam politik tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah setengah. Perempuan dalam konteks gender didefinisikan sebagai sifat yang melekat. Akan tetapi, pembagian peran dan fungsi dalam memperjuangkan dan memenuhi hak-hak perempuan tentunya juga tidak bisa semuanya dilakukan oleh kaum laki laki. Ada hal hal khusus yang hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan dan mereka adalah representasi yang paling mas untuk menyuarakan hak bagi kaum mereka sendiri.
Penutup, di tahun 2022 ini, saya mengajak kaum perempuan dimanapun dan khususnya di Sumatera Barat untuk mengambil peran sekaligus menyadari bahwa sebagai perempuan kita memiliki hal dan kewajiban yang sama dengan laki laki, namun demikian, sebagai hamba Allah, kita adalah isteri dan ibu bagi anak anak dan mengurus keluarga. Perempuan Minang kuat, Indonesia maju dan tangguh.
Ada amanat penting bagi kaum perempuan di legislatif adalah ketika membangun basis sosial dalam bekerja di daerah pemilihan dalam bentuk aksi aksi nyata yang harus dirasakan rakyat banyak. Insya Allah.***