Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial

BBM Tidak Perlu Naik, yang Mendesak Benahi Pola Subsidi Energi

3 September 2022   09:39 Diperbarui: 3 September 2022   09:44 200 0
Diskusi tentang rencana Pemerintah Pusat untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kembali menguat beberapa pekan terakhir. Rencana pemerintah yang konon akan menaikkan harga BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Bio Solar disebut sebagai langkah pamungkas pemerintah untuk mengurangi beban subsidi energi secara keseluruhan di APBN yang berdasarkan versi pemerintah mencapai Rp. 500 Trilyun

Dalam sidang tahunan bersama DPR dan DPD RI pada 16 Agustus silam di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Presiden menyebutkan bahwa beban subsidi yang harus dialokasikan oleh pemerintah dalam APBN Tahun 2022 yang tengah berjalan mencapai Rp.502 Trilyun. Angka ini terus meningkat dari tahun sebelumnya yang disebabkan fluktuasi harga minyak mentah di pasaran dunia. Patut diketahui pula bahwa harga minyak di pasaran ekspor impor dunia cenderung berfluktuasi dan tidak stabil karena berbagai faktor termasuk konflik bersenjata Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung lebih dari delapan bulan.

Kini mari kita kembali membahas wacana pemerintah yang (masih) berencana menaikkan harga BBM. Sudah banyak sekali suara penolakan disampaikan. Kami - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR RI sudah beberapa kali menyampaikan baik secara formal dalam forum forum rapat komisi bersama mitra maupun dalam rapat dengan Menteri Keuangan di Badan Anggaran serta dalam berbagai komentrar kepada media massa.

Penolakan itu bukan tanpa sebab dan atau juga dilakukan asal asalan. Sebagai oposisi di parlemen, tentu saja PKS memiliki kesempatan yang sangat luas untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah. Akan tetapi kritik yang kami, termasuk saya dan kawan kawan anggota Fraksi PKS dan Pengurus DPP PKS adalah kritik yang dimaksudkan untuk mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki pola pemberian subsidi serta pengelolaan keuangan yang lebih tepat sasaran dan akuntabel.

Data yang kami miliki menyebutkan bahwa 80 persen penerima subsidi energi adalah kelompok masyarakat yang mampu untuk membeli energi non subsidi. Arti kata, selama ini pengelolaan subsidi energi kita baik BBM, Listrik dan Gas tidak tepat sasaran. Pertanyaannya adalah kemana fungsi pengawasan pemerintah ? bukankah subsidi ini diberikan kepada golongan masyarakat yang tidak mampu. Subsidi adalah bentuk kepedulian negara kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu membeli BBM, Gas dan Listrik sesuai harga pasar.

Rasanya ramai sekali berita di media baik, cetak dan online serta beberapa postingan di sosial media yang menyebutkan bahwa kendaraan dengan CC besar malah ikut antrian membeli BBM bersubsidi serta masyarakat golongan menengah keatas yang justru membeli gas ukuran 3 KG yang seharusnya menjadi hak rakyat miskin.

Saya juga pernah dan sering melihat pengguna motor yang kurang berkesempatan untuk menikmati konsumsi BBM bersubsidi. Padahal, pengguna motor inilah yang semestinya mendapat kesempatan seluasnya untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi baik dari jenis pertalite maupun solar.

Padahal sudah ada aturan bahwa selain kendaraan di bawah 1500 cc sudah tidak lagi dapat menikmati BBM bersubsidi kecuali kepada kelompok prioritas seperti para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dimana kendaraan logistiknya perlu dapat sokongan untuk mengembangkan bisnis mereka.

Perlu kita ingatkan agar Pemerintah Pusat bahwa dampak langsung dari isu kenaikan BBM ini memicu kenaikan harga bahan pokok yang makin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Sudah menjadi hukum alam ketika BBM naik, maka harga bahan poikok dan onghkos produksi akan ikut naik.

Bahkan saat isu kenaikan ini masih menjadi wacana di ruang publik, kenaikan harga bahan pokok sudah terjadi dan ongkos produksi sudah ikut ikutan naik. Dengan kondisi perekonomian yang masih belum normal akibat pandemi, tentu saja kenaikan ini akan memicu peningkatan inflasi yang sangat besar. Bahkan, daya beli masyarakat akan semakin jatuh yang menyebabkan angka kemiskinan semakin melonjak.

Saya mendapatkan informasi bahwa bahwa dampak dari kenaikan harga Pertalite diprediksi akan mendongkrak tingkat inflasi hingga mencapai 6-6,5 persen year on year. Ini akan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015.

Disisi lain saya dapat memahami bahwa kuota BBM jenis Pertalite yang disediakan untuk tahun anggaran 2022 ini akan segera habis pada bulan September ini. menjadi masalah dan sesuatu yang luar biasa karena pandemi Covid-19 berakhir lebih cepat dari prediksi konsumsi yang disusun oleh DPR dan Kementerian ESDM pada tahun anggaran 2021 silam. Namun realisasi penggunaan subsidi yang tepat sasaran hanya 20 persen saja. Artinya, jika kuota sebesar 23,05 juta kiloliter itu dimangfaatkan dengan baik, maka justru kuota BBM subsidi akan mampu bertahan hingga Akhgir tahun 2022 yang akan datang.

Karena itu, dalam kami di Fraksi PKS sudah bersepakat bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan BBM harus ditolak dan kami minta untuk ditunda sampai kondisi kondusif sambil terus memperbaiki pola pengawasan penyaluran subsidi baik berupa gas, listrik dan BBM.

Kenapa kami menolak kenaikan ini, karena dengan menaikkan BBM, akan menyakiti hati rakyat. Pemerintah harus sensitif terhadap penderitaan rakyat yang baru saja terdampak pandemi, banyak yang di PHK dan usahanya bangkrut.

Apabila harga pertalite dan solar naik, sudah pasti akan menyulut kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, memperburuk daya beli masyarakat, dan memperberat beban rakyat.

Meski sebagai kelompok opisisi, kami bukan tidak memahami bahwa beban APBN sudah sangat berat. Namun Subsidi BBM ini ada solusi dengan mendisiplinkan penggunanya. Tidak perlu lagi kendaraan mahal mengkonsumsi BBM subsidi. Sudah banyak dampak tingginya BBM ini yang mengakibatkan usaha kerakyatan gulung tikar termasuk pada segmen petani dan nelayan. Untuk itu, kami meminta pemerintah bijak untuk tidak menaikkan BBM bersubsidi.***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun