Menurut Theodora J.Erlijn pula,bahwa lembaganya telah melakukan suatu penelitian selama delapan bulan di 12 propinsi temapa terjadiya berbagai kasus penghilangan secara paksa tersebut.Daerah-daerah yang pernah mengalami kebiadaban itu adalah Aceh,Sumatera Utara,Lampung,Jakarta,Jawa Tengah(Solo dan Boyolali),Yoyakarta,Jawa Timur(Blitar),Sulawesi Selatan(Makasar),Sulawesi Tengah(Palu),Bali,Papua dan Timor Timur.
Dalam konteks ini,Theodora J.Erlijn menyebutkan bahwa terjadinya berbagai kasus penghilangan paksa itu yang sering berulang kali terjadi karena dua motifnya,yaitu motof ekonomi dan politik.Menurut Theodora Erlijn pul, bahwa rejim yang melakukan penghilangan secara paksa itu telah menyebabkan ratusan ribu warga menjadi korban kebiadabannya dengan beragam latar belakanganya selama periode tersebut.
Theodora Erlijn mengungkapkan terdapat sejumlah pola dalam penghilangan paksa yang muncul ,seperti para korban yang dianggap berseberangan dengan politik rejim kala itu secara diam-diam di culik kemudian dibunuh.Selain itu para korban di tahan di suatu tempat rahasia,selanjutnya di eksekusi mati secara rahasia pula.Namun ada juga yang mata para korban kebiadaban tersebut ditutup sepanjang waktu, dan ditawan disuatu tempat rahasia lalu di bebaskan ataupun di serahkan ke penjara.
Proses penghilangan bisa dilakukan dengan membuang mayatnya ke laut,danau,sungai ataupun dikuburkan secara massal atau di kuburkan daerah-daerah terpencil. Kemudian Theodora Erlijn mengatakan kepada VOA pula, yang terlibat dalam berbagai kasus penghilangan secara paksa itu di duga kuat terlibat adalah institusi militer,baik yang dilakukan oleh pasukan tempur maupun kesatuan teritorial.
Pada peristiwa sekitar tahun 1965 misalnya hal tersebut terjadi secara terbuka terhadap warga masyarakat yang tidak pernah di adili melalui suatu pengadilan.Hal serupa terulang lagi terhadap warga di Talang Sari , Lampung .Meskipun dengan jelas di ketahui para pelakunya ,akan tetapi sampai sekarangpun mereka masih bebas berkeliaran diluaran .Begitu pula terhadap para pelaku kekerasan terhadap ratusan warga Tanjung Priuk,Jakarta.
Sedangkan yang bergerak secara tertutup terjadi dalam kasus penculikan para aktifis pro demokrasi antara tahun 1997-1998,sementara penghilanga paksa di Papua banyak dilakauakan oleh Brimob,ujar Theodora Erlijn kepada VOA tersebut.Lalu sampai kapan pemerintah bisa menutupi borok-borok tersebut,padahal Indonesia sudah meratifikasi konvensi HAM internasional.
Berbagai kasus tersebut telah mencoreng wajah Indonesia di forum internasional,sehingga beberapa kali kepentingan nasional Indonesia terganjal isu-isu itu.Pembelian ratusan unit Tank Leopard dari Belanda , Jerman terhambat oleh soal-soal HAM.Bahkan sekelompok orang pimpinan Geert Wilders ketua partai PVV pernah menganjurkan supaya SBY ditangkap dan di adili ketika berkunjung ke negeri Belanda,dan karena soal itu pula sehingga SBY mengurungkan niatnya mengadakan kunjungan ke negeri kincir angin tersebut.
Lalu beberapa waktu yang lalu hal serupa terjadi lagi di Inggris,dimana sekelompok orang simpatisan OPM juga menuntut Pemerintah Inggris supaya mennagkap SBY saat mengunjungi negara tersebut.Sekiranya kasus-kasus penghilangan secara paksa sudah diselesaikan ,maka Indonesia tidak akan lagi dipermalukan semacam itu.Belanda saja mengabulkan tuntutan keluarga korban kebiadaban tentara Belanda tahun 1947 terhadap ratusan warga masyarakat Rawa Gede,dan Belanda meminta maaf kepada keluarga korban karena kebiadaban pasukan Belanda tersebut.Jika Belanda bisa ,masak Indonesia tidak ?