Mohon tunggu...
KOMENTAR
Gaya Hidup

Selfie itu Candu Baru, Mengikis Egois, Menumbuhkan Optimis

5 Juni 2015   07:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:21 143 0

Selfie itu Candu Baru, Mengikis Egois, Menumbuhkan Optimis

 

"Besok ngaji foto-foto lagi ya, Bu..." Permintaan anak-anak sebelum pulang mengaji.

Waduh! Ternyata anak-anak malah ketagihan difoto. Saya merasa bersalah, merasa harus tanggung jawab bagaimana memberikan pengertian kepada anak-anak seusia pelajar PAUD/TK  yang masih polos dan lugu itu? Mereka kecanduan selfie!

 

Selfie antara minder dan optimis

Berawal dari ajakan saya kepada mereka --anak tetangga sekitar rumah yang mengaji di rumah setiap habis magrib-- berfoto bersama untuk mendokumentasikan kegiatan serta sebagai kenang-kenangan mereka setiap perayaan Hari Besar Islam dan jelang bulan Ramadhan, mereka ternyata jadi suka foto-foto juga.

Padahal sebelumnya mereka malu-malu dan susah untuk diajak bergaya. Terkesan kaku saat saya bidik dengan kamera. Namun siapa kira suasana drastis berubah jadi ramai setelah mengajak mereka foto bareng dengan gaya selfie/wefie.

Saya yang merasa malu berat kalau di depan anak-anak harus bergaya selfie, demi membuat anak-anak senang dan ceria akhirnya malah mencontohkan diri melakukannya. Anak-anak tertawa-tawa dan menirukan gaya saya saat saya miringkan kepala, memonyongkan mulut, dan gaya lain yang sebenarnya terkesan alay atau kekanak-kanakan. Ternyata demi selfie/wefie rasa tidak percaya diri bisa terkalahkan, ya... Dengan kekuatannya selfie sudah mengikis rasa malu dan minder ini.

Selfie sudah masuk menjadi bagian hidup tidak hanya bagi orang dewasa, tapi juga anak-anak. Meski anak belum mempunyai ponsel berkamera sendiri, tapi coba lihat, anak-anak sudah pintar dan pandai ngotak-ngatik gadget para emak bapaknya. Dengan selfie, anak-anak jadi semangat. Terbukti keesokan malam harinya, anak-anak kembali ramai datang ke rumah meski hujan cukup besar.

“Assalamualaikum. Fahmi, mana Ibu? Ayo ajak lagi selfie yok...” terdengar suara anak-anak yang kedatangannya disambut Fahmi di depan pintu.

Hah? Jadi mereka hujan-hujanan semangat datang rupanya bukan mengutamakan mau mengaji, tapi lebih karena(ketagihan) mau selfie lagi!? Selfie sudah memberikan kekuatan kepada mereka untuk bersemangat datang (mengaji). Itu terjadi pada anak-anak didik di rumah. Bagaimana dengan para remaja dan dewasanya yang sudah pegang smartphone sendiri dan bisa selfie dengan lebih ekstrim lagi?

 

 

Selfie langgar kaidah foto?

Dalam bahasan seputar foto yang pernah dibahas pakar photografer senior Kompas, di acara yang bertempat di Taman Honda, Tebet Jakarta, dikatakan bahwa salah satu ketentuan sebuah foto yang baik ialah foto yang jelas, tidak blur. Mungkin, aturan tidak tertulis itu perlahan akan luntur seiring dengan maraknya foto selfie dan atau wefie.

Moment selfie atau wefie ibarat dua sisi undian keberuntungan. Satu kesempatan bisa menghasilkan momen pas dengan tampilan yang memuaskan, tapi di sisi lain bisa juga hasil selfie atau wefie justru tidak memuaskan dan blur. Padahal kesempatan yang sudah lewat tidak bisa diulang lagi! Karenanya sejelek apapun hasil foto selfie dan atau wefie tetap disimpan baik-baik sebagai kenangan dan sejarah hidup orang-orang di dalamnya. Selfie sebagai dokumentasi keberadaan tempat atau peristiwa special.

Setuju atau tidak, tapi saya tetap menyimpan foto selfie/wefie hasil jepretan Kompasianer Mas Agung Han sesaat sebelum melakukan aktivitas acara Tour bareng JNE di Yogyakarta. Tampak gambar saya, Mbak Khaerunisa Maslichul dan Mba Grace Melia paling jelek. Malah “penampakan” Pak Al Johan “sulit dikenali” sama sekali.

Ih, tidak adil rasanya jika melihat tampang kece Mbak Pungky, Mba Riana , Mas Agung Dan Pak Hendi. Mereka tampak normal dalam gambarnya. Namun nasib yang menimpa gambar saya, Mbak Nisa, Mba Grace dan Pak Johan di foto itu menjadi hal yang sangat berharga karena moment itu tidak bisa saya (atau kami) ulang lagi.

 

Kekuatan Selfie

Selfie sudah merubah gaya hidup manusia baik di kota maupun di desa. Selfie mampu merubah sikap dan perilaku seseorang, termasuk orang yang tertutup sekalipun. Gaya selfie/wefie mampu mencairkan rasa ego yang sebelumnya membeku kuat menjadi lumer. Menyulap susana yang tidak akrab menjadi hangat dan nyaman.

 

 

Saya dan suami termasuk kedalam type orang yang tidak pedean kalau disuruh difoto. Malah saya akan memilih jadi orang yang pegang kamera saja daripada yang menjadi objek si kamera. Tapi saat coba-coba melakukan selfie/wefie keluarga kecil kami, ketika melihat hasilnya saya dan suami tersenyum-senyum sampai tertawa-tawa sendiri. Entah kenapa, hanya melihat kelucuan gambar kami, serta tingkah laku kami, rasanya gimana... gitu. Tidak menyadari dengan selfie/wefie yang sudah kami lakukan kedekatan dan kebersamaan dalam keluarga semakin terasa.

Saya rasa tidak ada salahnya selfie/wefie bersama keluarga jika memang terasa banyak manfaatnya. Tidak perlu bersikap psycopathy (sifat impulsif yang berlebihan dan kurang empati) terhadap teman di jejaring sosial kita yang kerap mengupload foto selfie/wefie mesra dengan keluarganya, tapi coba ambil hikmah serta pelajarannya. Selama tidak merugikan kenapa harus dipermasalahkan?

 

Selfie dan dunia anak

Perlu kesabaran yang lebih saat ingin mengabadikan foto selfie dengan anak yang masih belum mengerti betul, apa itu difoto. Sebagian baby mungkin sudah familiar dengan kamera apapun jenisnya. Tapi tidak bagi Fahmi, putra sulung saya. Seharian berada di Dusun Bambu, dari puluhan sampai ratusan kali selfie/wefie dengannya, hanya foto di bawah ini yang bisa dibilang lumayan, cukup memuaskan. Selebihnya, kami dalam gambar ibarat orang musuhan!

 

Sudah saya arahkan harus begini, harus begitu, berharap menghasilkan gambar yang bagus selama seharian di lokasi wisata alam yang ciamik ini. Eh, namanya juga batita, belom ngerti apa yang saya sampaikan itu maksudnya apa. hasilnya yaitu tadi kekeuh hasilnya saya dan dia seperti orang musuhan.

Disini sebagai orangtua perlu memahami bahwa dunia anak lain dengan orang dewasa. Salah-salah saya sedikit kesal, eh, anaknya malah nangis dan ngambek. Jadi saat ngajak foto selfie/wefie sama anak, baiknya biarkan anak bergaya dengan natural. Kita harus ekstra kesabaran dan banyak doa; ada keajaiban datang membuat anak mau berpose seperti yang kita harapkan.

 

Selfie dan kepuasan diri

Syukuri apapun bagaimana hasil foto selfie kita. Memang segala sesuatu itu tergantung dari niat dan usaha. Tapi bila hasil jepretan foto kita masih terasa “begitu-begitu” saja, tidak memuaskan harapan, ya sudah legowo wae lah. Lapangkan dada terima apa adanya. Walau usaha sudah maksimal; seperti menggunakan tongsis, berkali-kali ambil foto dan memeriksa hasilnya apakah sudah cocok dengan keinginan, sampai tangan pegal memegangi tongkat narsis dan berkali ganti posisi tapi hasil foto tetap begitu-begitu saja.

Bivak yang saya buat saat pelatihan Burscharf di Ranca Upas Kab. Bandung tetap tidak tampak semua bagiannya. Padahal bivak itu yang ingin saya tampilkan dalam foto. Akhirnya puas tidak puas saya harus puas dengan hasil foto di bawah ini. Kekurangan bukan pada usaha saya melainkan mungkin dari kamera foto ponsel yang saya pakai yang memang memiliki keterbatasan. Seandainya selfie memakai kamera ponsel Smartfren dengan layar lebar, mungkin hasilnya akan lebih sempurna. Bagian bivak akan tampak keseluruhannya.

Sah-sah saja menjadi pribadi yang self-objectification namun tentu harus sadar diri juga dengan kondisi serta kemampuan. Tidak ada yang sempurna.

 

Etika Selfie

Tidak aturan baku berkaitan dengan berfoto sendiri. Selfie itu bebas, namun tentu saja tetap ada batasnya lho! Beberapa hal yang harus diperhatikan saat selfie:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun