Melanjutkan bincang kita kemarin sore, dari mulai koruptor dan kekayaan budaya tanah air, saat ini saya akan menyentil soal bandara. Tempat yang paling menakutkan bagi kami kaum buruh, saat menjelang kontrak habis dan mau tidak mau harus kembali ke tanah air (lain lagi kalau di Hongkong --dulu-- tidak perlu pulang ke Indonesia, cukup dengan mengunjungi negara lain semisal Macau. Entah kalau sekarang masih berlaku apa tidak).
Secara umumnya lokasi pariwisata tingkat daerah maupun internasional ujungnya pasti berasumsi pada pendapatan yang dihasilkan atau uang. Pemasukan yang tentu saja berasal dari pengunjung, baik turis domestik maupun turis asing. Biasanya pemasukan akan lebih besar jika pengunjung yang datang berupa rombongan, group atau kedatangannya dikelola oleh travel tour.
Turis secara rombongan ini tentu saja memiliki modal yang besar, berfasilitas mapan, dan berkelas internasional (setidaknya walaupun domestik masih memenuhi standar). Satu fasilitas yang penting dan mutlak untuk menghadirkan turis masal ini adalah: bandara bertaraf internasional. Tanpa bandara bertaraf internasional, sampai kapanpun jangan berani bermimpi lebih jauh. Secara kasarnya, sebaik apapun lokasi pariwisatanya tanpa adanya bandara internasional lokasi pariwisata yang bersangkutan tidak akan diperhitungkan!
Saya ada teman --asal Indonesia-- yang saat ini menetap di Swiss. Siapa yang tidak ngeh, Swiss terkenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan yang tinggi dan mengagumkan untuk sektor pariwisata. Berhubung teman ini tajir, memungkinkan dalam segi finansial maupun waktu, berpariwisata sudah menjadi agenda rutinnya. Bagaimana pendapatnya mengenai pariwisata Indonesia?
Hanya Pulau Bali yang dilihatnya sebagai tujuan wisata. Bali bagus. Tapi bagaimana Indonesia? landskapnya, biasa saja. Kalaupun bagus, masih ada tempat lain yang sejajar kedudukannya seperti Thailand dan Malaysia. Jadi daripada ke Indonesia (bukan ke Bali) ia memilih ke Thailand dan atau Malaysia saja. Toh bukankah kebudayaannya hampir sama (malah ada yang mirip sekali cuma berbeda nama saja).
Meski teman ini sesekali mengunjungi Indonesia, tapi bukan untuk liburan! Liburan dan berpariwisata baginya tetap ke tempat-tempat yang original indah dan murni tanpa birokrasi. Jadi meski ia tidak melupakan Indonesia, bukan karena Indonesia terbaik di matanya, melainkan karena ada terikat pertalian darah saja! Tidak lebih.
Pernah mendengar (atau tepatnya pernah membaca dan melihat) katanya tahun 2009 adalah tahun (yang kesekian kalinya) untuk Visit Indonesia Year . Tapi kok nyatanya "gak ada apa-apanya", ya? Tidak ada bebas visa, tidak ada pembenahan disana-sini (kalaupun ada cuma dipermukaannya saja, tidak maksimal) Kalau begitu sama saja dengan tahun-tahun biasa, iya kan?
Pernah teman (bukan WNI) turun di bandara Soekarno Hatta dan Ngurah Rai-Bali, apa yang menjadi kesan dimatanya? Sangat memalukan saya yang notabene berpaspor Indonesia. Yang dipamerkan ketidakefesienan pihak bandara (yang katanya bertaraf internasional) dalam melayani turis (bayangkan, apalagi melayani saya dan teman-teman yang bervisa pekerja, kaum buruh...) Untuk pengurusan visa saja, harus melalui beberapa pos (orang); ada tukang stempel, tukang nyobek kwitansi, ada tukang terima uang, dll. Belum lagi di pelataran bandara sudah dirubung orang-orang yang entah apa maksudnya. Mereka tak jelas, petugas bandara, sopir, calo, atau penjemput penumpang?
Teman itu menjadi turis backpacker yang bagi orang-orang kita hanya dianggap turis kere atau turis bermodal ransel. Turis yang berkesan jorok, tak berduit, dan dikhawatirkan saat berinteraksi langsung dengan penduduk lokal. Sepertinya untuk turis seperti ini tak ada perhatian apapun dari pemerintah. Padahal, saat kami (yang saya alami saja ketika melancong dengan gaya backpackeran) dengan menjadi backpacker, saat itu justru kita bisa mengendus langsung bagaimana kehidupan sesungguhnya di suatu lokasi pariwisata. Beda dengan turis masal yang diarahkan pada lokasi yang diiklankan indah saja, sebagai backpacker, saya malah bisa leluasa nyelundup ke rural area yang kadang sama sekali tidak disentuh. Dibiarkan saja meski tak jarang berbahaya dan bisa menelan korban karena mungkin menurutnya tempat rural itu tak akan didatangi turis (masal).
Tentu lain lagi kalau yang datang secara masal (turis rombongan) apalagi perjalanannya melalui biro travel yang berkelas. Semua sudah diatur sedemikian rupa, dipilih dan dipilah supaya yang terlihat yang baik dan bagusnya saja. Sehingga hasilnya bukan saja rapih, indah tapi juga sesuai dengan yang diharapkan .
Indonesia, dengan Zamrud Khatulistiwanya, mungkin memang menarik dan indah bagi turis sekelas Andreas Altmann, Pico Iyer, dan lainnya (lupa dech, maklum tahunya juga sekilas dapat baca, gak kenal langsung ma orangnya) sekadar untuk direportase masalah luar biasanya . Sedangkan bagi turis backpacker, maaf. Tidak (atau mungkin belum) lah yaw!
Para turis mungkin menjadi sasaran utama sebagai pihak yang bisa diandalkan dalam meningkatkan pendapatan. Tapi jangan lupa, turis juga bisa menjadi perpanjangan tangan media baik yang mempromosikan positif maupun promosi negarif. Jangan pernah sekali-kali memandang sebelah mata apalagi menyepelekan keberadaan turis backpacker, karena mereka bisa saja mempunyai argumen yang kuat tentang baik buruknya pelayanan, birokrasi atau kondisi lokasi pariwisata suatu tempat yang disertai bukti baik berupa rekaman maupun foto hasil karyanya sendiri langsung.
Jadi, kembali kepada topik awal bandara internasional yang saya bincang diluar konteks sudut pandang para buruh (TKI) yang saya yakin dari sudut pandang mereka membicarakan bandara diskriminasi ini akan jauh lebih ekstrim lagi, untuk sementara waktu, selama negara (pemerintahnya dan juga warga negaranya) masih terlena dalam slogan Kebersihan Sebagian Dari Iman tapi sampah pada kenyataannya berserakan di setiap sudut kota; Rajin Pangkal Pandai, tapi yang dapat kerjaan/posisi bagus adalah mereka yang punya koneksi dan backing kuat; Rumahku Adalah Surgaku, sementara bagaimana mau pulang ke rumah jika di bandaranya saja kita sudah enggan dan ketakutan mengingat adanya sistem diskriminasi dan pungutan liar di sana-sini? Untuk sementara waktu, lupakanlah keinginan dan mimpi-mimpi menyaingi negara tetangga menjadikan Indonesia Truly Asia itu.
Ya, begitulah keadaannya, mau bagaimana lagi? Kecuali terus bangga dengan bineka tunggal ika, zamrud khatulistiwa dan tetap bermimpi di siang hari.
Tamat, ah! Besok bagiannya buat "cermin" lagi :-)