Kehidupan terus berjalan, perlahan tapi pasti waktu membawa kita meninggalkan masa-masa pertumbuhan itu. Menjadikan masa-masa di sekolah sebagai masa (kenangan) yang paling indah dalam seumur hidup dan bisa kita kenang saat ini. Beruntung dan bersyukur sebesar-besarnya bagi yang dapat mengecap pendidikan selama masa hidupnya. Karena kita pada saat ini adalah buah dari apa yang kita tanam saat belajar (sekolah) di masa lalu.
Ternyata ada hikmah tersendiri menyadari aku lahir dari keluarga kurang mampu. Saat orangtua tidak mampu membiayai sekolah, sebaliknya aku justru mati-matian ingin mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Bersyukur aku masih diberi kesempatan untuk bersekolah meski harus loncat-loncat di tiga tempat.
Sekolah Dasar aku selesaikan di Kotamadya Bandung. Di Kecamatan Batununggal itu masa kecilku dihabiskan. Senang sekali mengenangnya meski aku termasuk anak miskin, tapi berkesempatan bermain dan bersahabat dengan anak gedongan di Jalan Martanegara, Kaveleri dan perumahan sekitarnya. Aku ingat, hanya aku dan adikku yang bersekolah di SDN Kridhawinaya III, Maleer. Sementara teman-teman sepermainanku semua sekolah di SD Terang, sekolah swasta yang terkenal bonafit, tempat orang kaya menitipkan putra-putrinya belajar, lokasinya di perempatan Jalan Gatot Subroto dekat Bandung Super Mall sekarang.
Pak Endang Sukmawijaya, Kepala Sekolah SMU Muhammadiah saat itu --beliau juga yang menampungku tinggal di rumahnya yang luas selama beberapa tahun-- mengatakan, tepatnya menasehatiku bahwa sekolah dimana saja mau di swasta atau negeri, mau di desa atau kota, keduanya tidak dapat menjamin masa depan murid-muridnya akan menjadi lebih baik, karena yang menentukan adalah semangat belajar dan kualitas pembelajaran si murid itu sendiri.
Hal itu beliau sampaikan manakala aku bertanya kepadanya, apakah sekolah yang bagus dan mahal itu akan menjamin masa depan muridnya? Lalu bagaimana nasib sekolahku yang murah dan terpinggirkan?
Mungkin pertanyaan yang tampak mengada-ada karena keluar dari mulutku, seorang bocah kampung kumuh di Jalan Gumuruh, murid sekolah negeri yang kelas dan jam belajarnya diroling setiap minggu; masuk pagi dan masuk siang karena keterbatasan sarana dan prasarana. Tapi pertanyaan itu aku pikir wajar saja, pertanyaan yang timbul karena realita: perbedaan serta kesenjangan sosial.
Memang ada perasaan minder menyadari perbedaan kelas sosial di lingkungan masyarakatku semakin dalam. Mulai dari seragam, kelengkapan sarana dan prasarana Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sampai penampilan para gurunya, tiga hal itu jelas mencolok mata dan mengusik pikiranku. Seragam kami murid SDN Kridhawinaya III jauh lebih sederhana daripada seragam murid SD Terang yang sudah tidak berwarna merah putih lagi (seragam mereka corak seperti batik). Kelas di sekolah negeri dipakai bergantian pagi dan siang karena memang tempat yang sempit tidak bisa menampung anak didik sekaligus, meja dan kursi banyak yang cacat, atap sekolah pun banyak yang bocor. Sementara gedung SD swasta itu megah dan kokoh dengan lantai mengkilap serta berpintu jati.
Pelajaran olahraga di sekolah kami cukup bola volley di lapangan tempat upacara yang sempit dan atau tenis meja yang satu kakinya harus diganjal bangku karena kayunya sudah lapuk. Selama enam tahun aku belajar di sana sampai lulus, meja tenis itu belum juga diganti. Kalau ada pelajaran lari, Pak Muhtar guru honor olahraga kami cukup memerintahkan kami lari di sepanjang Jalan Gumuruh, menyusuri perkampungan sampai di ujung jalan yang berupa tanah pekuburan.
Di samping kuburan umum itu ada lapangan sepak bola, di lapangan tanah itu kami sering numpang berlatih olahraga. Jelas jauh berbeda dengan fasilitas yang dimiliki SD Terang; lapangan luas yang berlantai semen dalam satu lingkungan sekolah, berbagai jenis olahraga pun bisa dilakukan sekaligus di sana. Belum lagi ada ekstra renang, elit banget pokoknya. Aku sering mengintip kegiatan ekstrakulikuler temanku dari balik pagar tembok yang atasnya disambung pagar besi. Mewah.
Melihat para tenaga pendidiknya saja berpenampilan wah dan necis, naik turun kendaraan pribadi pula. Sementara guru wali kelasku Pak Dikdik Waryadi setiap harinya harus bergelantungan di gerbong kereta api ekonomi dari rumahnya di dekat stasiun kereta Rancaekek ke stasiun terdekat sekolah negeri di Kiaracondong. Turun dari kereta yang menjadi alat transportasi murah meriahnya itu beliau masih harus jalan kaki ke Maleer, sesekali jika ada uang beliau naik angkot sampai Pasar Binong.
Sampai di kelas peluhnya nampak membasahi tubuh. Oh, kasihan guruku itu. Tapi beliau selalu semangat mengajar. Satu hal yang sangat beliau pinta dari murid-murid adalah Nilai Ebtanas Murni setinggi-tingginya, dan aku telah membuatnya bangga saat NEM-ku mencapai 47 koma sekian dari lima mata pelajaran yang di ebta-kan.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) aku tamatkan di daerah Salawu, Kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya yang mana Kampung Naga berada dalam wilayahnya. Saat itu di Salawu yang luas hanya ada satu SMP, berlokasi di Warung Peuteuy. Aku yang tinggal di Desa Neglasari setelah berjalan kaki sekitar 1 km dari rumah menuju jalan raya kemudian naik angkutan pedesaan dari Rancak (Terminal Pariwisata Kampung Naga) menuju sekolah di Warung Peuteuy.
Banyak pengalaman yang menyentuh aku alami saat sekolah di wilayah perbatasan antara Tasikmalaya dan Garut ini. Khususnya perjalanan para murid yang berasal dari berbagai desa yang waktu itu masih terisolir dalam menempuh perjalanan panjang ke sekolah demi bisa mengecap pendidikan. Walau ada angkutan pedesaan, tapi aku dan teman-teman sering terlambat sampai di sekolah. Masalahnya bukan kami terlalu siang menunggu angkutan, melainkan karena angkutan itu sendiri yang kadang tidak membawa anak sekolah. Ya, ongkos anak sekolah saat itu hanya Rp. 100 sementara ongkos dewasa sekali jalan Rp. 500. Tentu saja angkutan memilih menarik mereka penumpang dewasa yang hendak ke pasar Singaparna, daripada menarik anak sekolah yang hanya sampai Warung Peuteuy dan berongkos murah.
Jalan keluarnya, banyak anak sekolah yang mencegat mobil pribadi maupun truk angkutan barang, meminta keikhlasan mereka untuk memberikan tumpangan. Bahkan sampai mobil tengki pengangkut minyak dari Garut pun sudah lumrah dihadang dan dijejali anak sekolah. Aku termasuk diantaranya, sampai di sekolah aku dijuluki "wajah tengki".
Selama SMP aku selalu menjadi ketua kelas dan karenanya jika ada teman yang tidak masuk sekolah karena sakit, aku selalu menjadi salah satu yang menengoknya. Pulang sekolah, berbekal alamat dari wali kelas aku dan beberapa pengurus kelas lain pun berangkat. Sebelumnya aku berpikir akulah siswa dengan rumah terjauh dari sekolah, ternyata, masih banyak teman-temanku yang rumahnya lebih jauh dan lebih pelosok!
Temanku Nina dan Elis, mereka berasal dari Desa Nantang. Aku tidak percaya saat mereka bilang supaya tidak kesiangan sampai di sekolah, setelah sholat subuh mereka harus sudah berangkat. Tapi saat aku sendiri melakukan perjalanan dari sekolah ke Desa Nantang (saat menengok Nina yang sakit) baru aku bisa mempercayainya. Nina dan Elis harus berjalan kaki dari rumahnya menuju jalan raya sekitar 8 km. Mending kalau jalannya lurus dan rata, ini berbukit-bukit, naik turun, menyebrang sungai yang tidak berjembatan, bahkan harus melewati undakan curam di Kampung Naga dan bukit di dekat makamnya kalau mereka melewati jalan itu. Memang ada jalan lain yang lebih baik dan bisa menggunakan ojek, tapi lebih memutar karena keluarnya nanti dari Langkob, bukan di Rancak.
Tak terbayangkan bagaimana capeknya Nina dan Elis hari-hari melakukan perjalanan seperti itu. Tak terpikir pula untuk nge-kost dan saat itu pandangan mereka masih lain. Mereka telah terbiasa dan menganggap perjalanan dua jam jalan kaki itu satu hal yang kecil dan berjarak dekat! Salut atas kegigihan dan semangat belajar Elis dan Nina. Jika aku jadi mereka, entah bagaimana jadinya. Sekali melakukan perjalanan dari Nantang ke Rancak saja (pulangnya dari menengok) aku langsung sakit kaki, bagaimana kalau setiap hari? Ya Tuhan... benar-benar salut akan semangat belajar mereka. Sekarang, kedua temanku itu telah menjadi PNS, mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa pada almamaternya di desa.
Temanku yang lain, namanya Nita. Dia berasal dari Desa Jahiang, desa yang juga jauuuuuh dan bisa dibilang terisolir kala itu. Setiap hari dia berjalan kaki melewati jalan tanah merah yang jika musim kemarau tanah lempungnya mengepul bagai berjalan di padang tandus, sementara saat musim hujan tanah merah itu berubah laksana kubangan kerbau! berlubang-lubang dan air tergenang sepanjang jalan. Jika begitu, Nita berjalan nyeker tanpa sepatu. Dia bersepatu kalau sudah mendekati Jalan Raya Salawu, dengan terlebih dahulu mencuci kakinya di air selokan yang berwarna sama dengan tanah merah. Aku beberapa kali melakukan perjalanan dari rumah Nita ke sekolah dan sebaliknya, jadi aku sendiri bisa merasakan bagaimana capek dan kondisinya. Semangat Nita untuk belajar pun memang besar, dan semua itu dibuktikannya dengan cemerlang. Kini Nita mengajar di salah satu SLTA di Tasikmalaya.
Hal serupa juga dialami teman-teman SMP-ku yang berasal dari Desa Sundawenang, Ciawi Tali, Warung Cikopi, dan tempat-tempat lain yang aku sudah lupa. Intinya untuk sampai di sekolah teman-temanku harus berjuang mengarungi medan terlebih dahulu beserta lelah yang tidak terhingga menguras tenaga dan sesampainya di sekolah menguras pikiran pula.
Beruntung anak-anak sekolah jaman sekarang, dimana alat transportasi sudah semakin banyak, jalan-jalan aspal sudah diperluas, sekolah pun sudah semakin merata. Pengalamanku dan teman-teman di Salawu tahun 1993-1996 itu sepertinya tidak akan terulang dan diulang lagi mengingat di Salawu saja kini sudah ada empat SLTP Negeri yang lokasinya sudah diperhitungkan. Strategis.
Saat menginjak bangku SMA, aku menamatkannya di Sukanagara, Kecamatan di wilayah selatan Cianjur, dengan jarak 1,5 jam perjalanan menggunakan kendaraan dari Cianjur Kota. Jika orang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah, maka hal itu tidak berlaku untukku. Saat SMA aku justru disibukkan dengan usaha!
Demi bisa membiayai sekolah dan rasa tanggung jawabku yang nekat daftar de SLTA (padahal ibuku sudah terang-teragan tak sanggup membiayainya) maka aku banting tulang bekerja dan usaha, disamping belajar tentunya. Membantu jualan di Pasar Induk Sukanagara, membuat cemilan kecil yang disukai anak sekolah dan aku dagangkan di kantin, sampai menjadi buruh pemetik cabe rawit saat musim panen tiba. Aku selalu bekerja saat dini hari sebelum berangkat sekolah, dan sore hari sepulang sekolah. Malamya aku mati-matian belajar sambil membuat adonan untuk cemilan yang akan didagangkan keesokan harinya.
Aku tidak ingin peringkat juara kelas jatuh ke tangan orang lain hanya karena aku sibuk usaha. Sekuatnya aku menyeimbangkan waktu usaha dan belajar supaya nilaiku tidak turun dan juara itu tetap bisa kupertahankan. Satu-satunya hal yang sangat memotivasiku untuk tidak melepaskan predikat juara ialah: beasiswa!
Saat masuk SMA aku dan beberapa teman juara kelas lainnya mendapatkan beasiswa dari sekolah, istilahnya besiswa, arti sebenarnya mungkin uang penghargaan (baru kepikir sekarang) karena uang itu diserahkan setiap tiga bulan sekali bagi mereka yang prestasi belajarnya meningkat dan atau tetap (juara kelas). Jangan membayangkan beasiswa atau uang penghargaan itu besar nominalnya, karena uang yang diterima olehku dan siswa lainnya itu besarnya hanya Rp. 100. 000.
Tiga bulan sekali aku akan mendapat seratus ribu rupiah jika aku bisa mempertahankan prestasi di kelas. Dan jika tidak (nilaiku menurun) maka uang itu akan berpindah ke tangan siswa lain yang lebih berhak. Tentu saja aku tidak ingin hal itu terjadi padaku. Aku harus membayar iuran BP3 sekolah yang tiap bulannya harus lunas sebelum tanggal 25. Aku harus membeli buku lembar kerja siswa karena kalau tidak aku tidak akan bisa mengerjakan soal dan latihan. Aku harus bayar ini, bayar itu... makanya aku harus mendapatkan seratus ribu itu dengan acara mempertahankan nilai-nilaiku.
Seratus ribu adalah nilai yang sangat besar buatku. Tentu saja bila dibanding keuntungan dari berdagang di kantin yang hanya mengambil Rp. 50 dari setiap bungkus makanan yang aku jual. Atau membandingkannya dengan upah memetik cabe rawit yang bila aku memetik mendapat 20 kg, maka upah buatku sebanyak 1 kg. Cabe rawit 1 kg ini bisa aku bawa pulang cabenya, atau ditukar dengan uang yang saat itu harga cabe tidak lebih dari seribu rupiah!
Usaha. Usaha dan terus usaha, begitulah waktuku dihabiskan saat duduk di bangku SMA. Jika saat ini aku mengenangya, ada kebanggan yang tidak mampu terucap aku rasakan. Nekat, berjuang, bersungguh-sungguh dan selalu berdoa memohon kepada Tuhan adalah jalan yang membawa aku hingga aku bisa seperti ini, sekarang. Bukan berarti keinginanku telah tercapai maka perjuanganku pun ikut berakhir, justru kini perjuanganku baru dimulai disaat keinginan-keinginan baru lainnya mulai berdatangan. Dan aku tidak gentar. Selagi aku masih ada tekad, ada perjuangan, ada kesungguhan dan selalu memohon kepada Tuhan, aku yakin apapun keinginanku suatu saat bisa tercapai.
Mengingat kembali masa-masa sekolahku di tiga tempat, beruntung anak sekolah sekarang yang segala sesuatunya telah dimudahkan. Ku harap kesempatan belajar itu jangan pernah disia-siakan. Ayooooo.... belajar!
Nei Hu, 26 Mei 2011
dalam taifong
bersama hujan angin cukup menakutkan