Aku memanggilnya Uda.lelaki berperawakan tinggi dengan rambut tegak lurus seolah menantang langit. Aku pernah bertanya padanya , Kenapa rambutnya begitu pongah?. Dengan meraba rambutnya dia tertawa.lantas ia balik melontarkan pertanyaan padaku. kenapa kau tanyakan hal itu padaku? Aku menjawab dengan ringan bahwa karena aku heran dengan kekakuan rambutnya itu,Sementara hatinya selembut semilir angin yang menentramkan jiwaku.Hanya tertawa yang dia lakukan ketika mendengar alasan yang ku kemukakan. Aku menjadi heran.Adakah yang lucu? Apakah yang salah dari jawabanku?
Aku memanggil lelaki berumur tigapuluh tahun itu dengan sebutan Uda.Dengan kata tambahan di belakangnya ganteng. Ketika hatiku mulai merindukan tawa lepasnya yang renyah. Kemudian ada sesuatu yang kurang ketika setiap waktu yang terlewati tak ada kabar dari dia.Kemudian aku lebih sering mengiriminya pesan singkat. Atau menelpon untuk mengetahui apakah yang sedang di kerjakan di tempat kerjanya itu. Lelaki itu sedikit saja menanggapiku. Pesan singkatku yang kukirim tak di balasnya sama sekali. Hanya sesekali menelpon, untuk menanyakan keperkluanku ketika tadi menelpon,dan meminta maaf karena tak bisa menjawab.Aku sama sekali tak perduli dengan sikapnnya yang setengah hati melayaniku. Aku tetap memanggilnyna Uda dan seringkali selalu aku tambahi dengan kata ganteng di belakangnya.
Aku tetap memanggil lelaki itu dengan sebutan Uda, ketika ia mulai menanyakan sikapku yang berlebihan padanya.
"Aku harus bersikap bagaimana terhadapmu?"
"Biasa saja." jawabku singkat.
"Mengapa sikapmu tak biasa kepadaku?"
"Karena Uda memang bukan lelaki biasa untukku." Jawabku lagi dan berharap dia mengerti.
Sejak itu dia tak pernah bertanya bermacam - macam lagi kepadaku. Sikapnya masih sama. Tak membalas pesan yang aku kirim, tak menelpon kalau tak ada tulisan panggilan tak terjawab di layar selularnya.Sementara hatiku sudah berkembang entah sampai mana. Aku telah membiarkan lelaki itu menjadi penghuni hatiku yang kerontang. Merindukannya setiap detik yang terlewat. bahkan aku berani berimajinasi dengan liar tentang lelaki itu.
"Kamu adalah perempuan satu-satunya yang pernah datang ke rumahku." katanya suatu hari ketika aku memasuki kamarnya yang lega.
"Aku tersanjung Uda.Tetapi mengapa?"
"Karena aku tak suka dengan perempuan datang kerumah lelaki."
Aku terdiam. Rupanya ia sedang memberitahuku suatu isyarat. Dia tak memberiku kehormatan dengan datang ke rumahnya, tetapi memberi isyarat bahwa ia tak suka aku.Hatiku sedikit perih, begitu lembut lelaki itu mengungkapkan perasaannya kepadaku. Ia tak ingin aku terluka dengan keterus terangannya.
"Aku tahu maksud Uda." lirih aku mngucapkan kalimat itu seraya memandang matanya yang jernih.
Aku tetap memanggil lelaki itu dengan kata Uda.Tanpa berkurang rasa yang bersemayam di hatiku,merindukannya siang malam,bersikap manja, sesekali merajuk jika ia tak memenuhi keinginanku.Padahal aku juga tahu lelaki itu sedang menjalin tali asmara dengan seorang gadis.seolah buta, aku tak mempermasalahkan semua itu.
"Aku hanya ingin mmenuruti apa yang menjadi keinginan hatiku. Mencintai Uda tanpa ada keinginan untuk memaksa Uda Merasakan hal yang sama ."
"Kau tak keberatan jika aku menjalin kasih dengan seorang gadis?"
"Tak akan."
"Bukankah kau mencintaiku? Apakah kau tak iri atau cemburu?"
"Tidak. Karena aku tak berhasrat untuk memiliki Uda. Karena aku tahu di mana aku berdiri."
"Maksudmu?"
"Aku berdiri di depan pintu hati Uda. Hanya untuk melihat dan menikmati keindahan dan kelembutan hati uda."
"Kau perlu mngetuknya untuk melihat dalamnya."
"Pintu hati Uda telah terbuka. dan aku tak berniat melangkahkan kakiku ke dalamnya.
Lelaki yang aku panggil Uda itu terdiam. Mungkin bingung. Tetapi Mungkin juga tidak.
"Terserah apa maumu, Yang penting hatimu tak lagi gersang."
Dan kisahpun terus berjalan sesuai dengan keinginanku. Lancar semakin indah dan tak memaksakan kehendak antara satu dengan yang lain. Orang menyebut kami sepasang kekasih. Padahal kami bukan kekasih yang tengah di landa asmara.Kami tak perduli. Terlebih aku. Sangat tak perduli. Pun ketika saudara - saudara Uda mulai melontarkan sindiran untuk segera menikah, kami menanggapi dengan ringan bahkan sesekali dengan tawa.Ya kami tak akan menikah karena kami bukan sepasang kekasih.
Lelaki itu masih aku panggil dengan panggilan Uda, ketika tak terasa setahun sudah aku memuja dan menyimpan bara rindu untuknya. Ketika aku bersiap meninggalkan pelataran hatinya, ketika aku bersiap menyambut dunia baru yang memberi janji manis kepadaku tanpa luka yang bernanah- nanah.
"Apakah kamu yakin?"
"Sangat yakin."
"Bagaimana denganku?"
"Akan baik-baik saja."
"Tapi aku telah terbiasa denganmu."
"Tak akan lama rasa kehilangan itu."
"Benarkah?"
"Benarkah kau tak akan melangkahkan kakimu di hatiku?" tanyanya lagi
"Tak akan."
"Tak akan?" tanyanya seraya memelukku erat.Aku merasakan pelukan yang sangat hangat dan menentramkan jiwaku. Hingga aku kembali tenggelam dalam indahnya mencintai lelaki itu.
"Terimakasih Uda ganteng?" bisikku lirih.
"Untuk apa?"
"Untuk kelembutan hatimu yang telah menyembuhkan hatiku."
Lelaki itu tak menyahut apapun selain menciumi anak rambut di keningku.
"Apakah ini pertemuan terakhir kita?"
"Mungkin?"
Apakah suatu saat buat kita akan bertemu?"
"Mungkin?"
"Aku senang mendengar itu."
Kemudian aku benar- benar pergi meninggalkan lelaki yang ku panggil dengan sebutan Uda itu. Pergi tanpa pernah mengetuk pintu hatinya. Tanpa pernah berniat melangkah masuk kedalam ruang hatinya yang menjanjikan keindahan cinta.Hati yang telah menberiku kesembuhan dari luka yang tergores menahun, yang memberiku kekuatan untuk bangkit dari kerapuhan. Kekuatan yang sangat aku butuhkan untuk bertarung dengan kepongahan suamiku. Lelaki yang telah menikahiku selama duabelas tahun. Yang mempermainkan harga diriku dengan semena- mena. Yang menganggap aku hanya perempuan bodoh yang bisa di kelabui dengan sesuka hatinya. Yang berkeyakinan aku tak akan berani meninggalkannya karena anak semata wayangku berada dalam gengamannya.Dan kemudian aku berhasil membuat lelaki itu meraung menyesali nasibnya karena telah menghinaku. Hingga lelaki itu menciumi lututku dengan uraian air mata memintaku untuk pulang ke rumah.dan aku tak bergeming dengan muka memohonnya yang selalu dia tunjukan ketika ia selesai menyakitiku.Kali ini aku berhasil menuruti kata hatiku dengan meninggalkan lelaki yang telah menjadikan aku perempuan tanpa cinta.Dengan memberikan pelajaran bahwa akupun layak dan pantas untuk di cintai karena aku juga punya cinta.
4/1/10